1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikGabon

Kudeta Gabon: Presiden Terpilih Ali Bongo Jadi Tahanan Rumah

31 Agustus 2023

Sekolompok perwira militer di Gabon membubarkan lembaga pemerintahan negara dan menempatkan Presiden Bongo sebagai tahanan rumah. Pemimpin yang terguling itu menyerukan untuk “buat keributan” kepada para pendukungnya.

Seorang warga Gabon terlihat bahagia sambil memeluk seorang tentara
Beberapa warga di ibu kota terlihat tengah merayakan aksi kudeta militer, setelah mengambil alih kekuasaanFoto: Desirey Minkoh/Afrikimages/IMAGO

Para perwira tinggi militer di Gabon muncul di televisi pada hari Rabu (30/08) untuk mengumumkan pembatalan hasil pemilihan umum (pemilu) baru-baru ini di negara itu, dengan alasan kurangnya kredibilitas.

Suara tembakan terdengar di pusat ibu kota Gabon, Libreville, tak lama setelah komite pemilu negara Afrika Tengah itu mengumumkan pada Rabu (30/08) pagi bahwa Presiden Ali Bongo, 64 tahun, memenangkan pemilu dengan perolehan suara sebanyak 64,27%.

Presiden terpilih jadi tahanan rumah

Para pemimpin kudeta militer itu kemudian menjadikan Presiden Bongo sebagai tahanan rumah, atas alasan "pengkhianatan", sementara tokoh-tokoh pemerintah lainnya juga telah ditahan atas berbagai tuduhan.

"Presiden Ali Bongo menjadi tahanan rumah, dikelilingi oleh keluarga dan dokter," ungkap para perwira militer Gabon dalam sebuah pernyataan yang dibacakan di televisi milik pemerintah.

Putra Presiden Bongo, Noureddin Bongo Valentin, yang juga merupakan penasihat presiden, termasuk di antara mereka yang ditangkap.

Presiden Bongo pun muncul dalam sebuah unggahan video di media sosial dan mengatakan bahwa, "saya mengirim pesan kepada semua teman di seluruh dunia, untuk memberikan suara mereka kepada ... orang-orang di sini yang menangkap saya dan keluarga saya."

"Saya berada di rumah dan baik-baik saja, tetapi saya tidak tahu apa yang sedang terjadi, saya meminta kalian semua untuk membuat keributan," kata presiden berusia 64 tahun itu.

Kudeta militer di Gabon menempatkan Presiden Ali Bonggo menjadi tahanan rumahFoto: TP advisers on behalf of the President's Office/AP Photo/picture alliance

Semua lembaga pemerintahan dibubarkan

"Atas nama rakyat Gabon ... kami telah memutuskan untuk mempertahankan perdamaian dengan mengakhiri rezim saat ini," tegas para perwira militer itu dalam sebuah pidato sebelum fajar.

Kelompok yang tampil di televisi itu terdiri dari belasan kolonel angkatan darat, anggota pasukan elit Garda Republik, tentara reguler, serta anggota polisi dan pasukan keamanan lainnya.

Dengan mengklaim bahwa mereka mewakili semua suara pasukan keamanan dan pertahanan Gabon, para perwira itu menyatakan pembubaran "semua institusi republik" di negara itu.

Kudeta militer di Gabon bertujuan untuk mengakhir rezim pemerintahan saat iniFoto: AFP/Getty Images

Ketegangan semakin meningkat sejak pemilu

Setelah pemilu pada hari Sabtu (26/08), ketegangan menjadi semakin meningkat, di mana Presiden Bongo terpilih melanjutkan kekuasaan keluarganya yang telah berlangsung selama 55 tahun di tengah-tengah seruan oposisi untuk melakukan perubahan di negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi miskin secara ekonomi.

Kekhawatiran mengenai transparansi pemungutan suara pun meningkat, karena tidak adanya pengamat internasional, penangguhan siaran asing, hingga pemadaman internet secara nasional dan jam malam yang diberlakukan oleh pihak berwenang.

Pada tahun 2019 lalu, tentara militer Gabon juga mengumumkan di radio pemerintah bahwa mereka telah "membentuk dewan restorasi nasional" untuk menggulingkan Presiden Ali Bongo. Upaya kudeta militer itu telah berlangsung kurang dari seminggu, setelah pasukan militer menyerbu stasiun radio dan menangkap delapan komplotan, bahkan membunuh sedikitnya dua orang. 

Perkembangan situasi terkini di Gabon itu telah terjadi hampir satu bulan, setelah pasukan pemberontak di Niger juga menggulingkan pemerintah terpilih secara demokratis.

Reaksi pemimpin dunia

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan bahwa dia "dengan tegas" mengutuk upaya kudeta militer tersebut dan menegaskan kembali "penentangannya yang kuat terhadap aksi kudeta militer," menurut juru bicaranya.

Kecaman lain juga datang dari Uni Afrika, dengan mengatakan bahwa pengambilalihan kekuasaan secara paksa merupakan pelanggaran terhadap piagamnya. Pemerintah Jerman juga mengkritik kudeta ini, seraya menambahkan bahwa ada kekhawatiran yang sah atas pemilihan umum di negara itu.

"Bukan hak militer untuk mengintervensi proses politik dengan paksa. Masyarakat Gabon harus dapat secara otonom dan bebas menentukan masa depan mereka," kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Jerman.

Selain itu, Inggris juga turut prihatin terhadap pelaksanaan pemilu di Gabon baru-baru ini, seraya mengutuk kudeta militer tersebut sebagai tindakan yang "tidak konstitusional".

"Inggris mengutuk pengambilalihan kekuasaan oleh militer di Gabon yang tidak konstitusional dan menyerukan pemulihan pemerintahan yang konstitusional. Kami sadar adanya keprihatinan yang muncul terkait proses pemilihan umum baru-baru ini, termasuk pembatasan kebebasan media," ungkap Kemlu Inggris dalam sebuah pernyataan.

Prancis, salah satu negara bekas penjajah Afrika Barat, juga mengatakan pada hari Rabu (30/08) bahwa pihaknya mencerna insiden kudeta di sana "dengan penuh perhatian". Seorang juru bicara pemerintah kemudian mengatakan bahwa Prancis mengutuk kudeta militer di Gabon.

Presiden Ali Bongo terlihat terakhir kali saat memberikan suaranya dalam pemilu baru-baru iniFoto: Gerauds Wilfried Obangome/REUTERS

Analis: Keluarga Bongo 'merongrongkan' demokrasi selama bertahun-tahun

Leonard Mbulle-Nziege, seorang ahli ekonomi politik dan mahasiswa doktoral di Universitas Cape Town, mengatakan kepada DW bahwa keluarga Bongo terus merongrongkan demokrasi selama lebih dari lima dekade berkuasa.

"Gabon adalah apa yang bisa disebut sebagai rezim otoriter pemilu," kata Mbulle-Nziege. "Meskipun pemilihan multi-partai dilakukan secara teratur, yaitu setiap tujuh tahun sekali, lembaga-lembaga demokrasi, supremasi hukum, semuanya telah ditumbangkan oleh kekuasaan keluarga Bongo."

Mbulle-Nziege juga mengatakan bahwa kegagalan untuk merespons secara signifikan terhadap kudeta militer di Afrika, yang baru-baru ini juga terjadi di Niger, membuktikan bahwa militer Gabon telah mampu mengambil keuntungan dari situasi itu.

Namun tidak seperti di Niger, "Rusia hanya memiliki pengaruh yang sangat kecil" di Gabon.

Sementara itu, Wartawan Gabon Jocksy Ondo Louemba menyebut pemilu Sabtu (26/08) lalu itu sebagai pemilu yang "tidak adil dan tidak masuk akal".

Dia mengatakan kepada DW bahwa keberhasilan kudeta militer ini bergantung pada ketidakpuasan yang mendalam di kalangan para militer. Louemba juga menambahkan bahwa menggulingkan rezim saat ini akan gagal, jika tidak mendapat dukungan luas.

Louemba juga menjelaskan bahwa mantan Presiden Omar Bongo telah "membeli lawan-lawan politik," putranya, Presiden Ali Bongo saat ini, untuk "menentang dialog," seraya menambahkan kepada DW bahwa, "dia (Presiden Omar Bongo) pikir, dia bisa mencapai segalanya dengan kekerasan dan kekuatan polisi."

kp/ha (AFP, Reuters)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait