Rekam jejak Soeharto sebagai panglima atau komandan satuan, memberi andil pada perilakunya di ranah politik. Seperti apa? Simak opini Aris Santoso.
Iklan
Bisa jadi apa yang dialami Soeharto sepanjang Mei 1998adalah "hukum karma”, akibat dari tindakannya lebih dari tiga dekade sebelumnya, ketika Soeharto naik menuju singgasana kekuasaan melalui strategi yang kemudian populer dengan sebutan kudeta merangkak. Tidak seperti model kudeta pada umumnya, seperti biasa kita saksikan di Thailand, Filipina, atau negara-negara Amerika Latin, dimana kudeta hanya berlangsung dalam hitungan hari, bahkan jam, layaknya operasi cepat khas militer.
Sementara kudeta versi Soeharto, dilakukan secara bertahap, dengan durasi hampir setengah tahun, terhitung sejak 1 Oktober 1965, dan mencapai puncaknya saat turunnya Supersemar (Maret 1966). Karena operasi yang dilakukan Soeharto relatif lama, melalui fase berliku, hingga memperoleh sebutan "merangkak”. Beda dengan kudeta yang kita pahami selama ini, ketika sepasukan tentara merangsek ke simbol-simbol negara, seperti istana atau gedung parlemen, dengan dukungan kendaraan lapis baja.
Hukum karma seolah terjadi, ketika strategi kudeta merangkak itu diadopsi oleh sejumlah anggota kabinetnya. Dengan dimotori Ginandjar Kartasasmita (Menko Ekuin), mereka balik menentang Soeharto, pada hari-hari genting pertengahan Mei 1998. Tentu saja tidak sama persis, setidaknya dari segi waktu. Kudeta merangkak versi anggota Kabinet 1998 hanya dalam hitungan jam. Gerakan yang dilakukan Ginandjar dkk tersebut, termasuk yang mempercepat pengunduran diri Soeharto.
Manual menuju kekuasaan
Membahas figur Soeharto dari aspek politik mungkin sudah mencapai titik jenuh. Sementara membicarakan Soeharto sebagai figur militer, justru acapkali terlewatkan, padahal itulah habitat awal Soeharto. Rekam jejak Soeharto sebagai panglima atau komandan satuan, memberi andil pada perilakunya di ranah politik. Solusi gaya komandan satuan militer, banyak dipraktikkan Soeharto ketika menjadi Presiden, setidaknya memberinya inspirasi
Konsep ”kudeta merangkak” sebenarnya diadopsi Soeharto dari taktik satuan infanteri dalam operasi lawan gerilya. Dalam operasi lawan gerilya, pihak yang menguasai ketinggian (seperti perbukitan), dianggap lebih unggul. Itu sebabnya dalam operasi tempur, pasukan infanteri selalu berusaha merebut posisi ketinggian. Apabila posisi ketinggian sedang dalam penguasaan pihak lawan, maka harus direbut dengan cara "merangkak”. Maksudnya naik perlahan dengan cara menyusup, bukan melalui serbuan frontal.
Pada bulan-bulan terakhir 2016, istilah "kudeta merangkak” sempat muncul kembali, sehubungan rumor adanya pihak tertentu yang berupaya menghentikan pemerintahan Presiden Jokowi di tengah jalan. Aksi jalanan yang masif seperti Gerakan 411, Gerakan 212, dan seterusnya, yang kemudian memunculkan spekulasi adanya gerakan "kudeta merangkak”.
Saya sendiri berpandangan, meniru kudeta merangkak dengan segala modifikasinya, akan sia-sia belaka, mengingat strategi "kudeta merangkak” copyright-nya ada di tangan Soeharto.Jadi tidak bisa ditiru sembarang, dan lagi peristiwa besar itu tidak bisa diulang. Namun satu catatan penting, strategi itu telah memberi inspirasi bagi sekelompok orang di negeri ini yang ingin menggapai kekuasaan, mulai dari jabatan rendahan di tingkat kabupaten, sampai elit pemerintahan tingkat pusat.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Bagi yang sedikit mengikuti perilaku politisi di negeri ini, tentu pernah mendengar istilah "gerpol” (gerilya politik). Ini adalah sebuah tindakan terselubung untuk merebut jabatan atau kekuasaan yang bisa terjadi di lembaga mana saja. Gerpol sendiri bisa dianggap miniatur kudeta merangkak, mengingat karakternya yang mirip, seperti manuver terselubung para pelakunya dan dipenuhi intrik, sehingga pihak yang menjadi sasaran sama sekali tak menyadarinya, sampai suatu saat jabatan itu benar-benar lepas dari dirinya.
Petruk menjadi raja
Strategi atau konsep kudeta merangkak akan sulit ditiru orang lain, selain karena sudah menjadi hak sejarah Soeharto, para epigon secara umum kelasnya masih di bawah Soeharto. Kaum "plagiat” itu cuma terpesona pada hasil akhir Soeharto, ketika Soeharto sudah tiba di Istana, kemudian diikuti dengan hidup sejahtera. Acapkali kita melihat adalah gerakan instan "gerpol” di sebuah kantor atau lembaga lainnya, ketika proses dan hasilnya kurang mulus, sehingga meninggalkan jejak beruba aib memalukan.
Sebagaimana sedikit disinggung di atas, tahapan kudeta merangkak di lapangan, Soeharto membutuhkan waktu sekitar enam bulan. Namun sebenarnya prosesnya sudah dirintis, sejak dirinya masih menjadi Panglima di Jawa Tengah (Kodam Diponegoro), pertengahan tahun 1950-an, dan mungkin bisa lebih jauh dari itu. Ada peristiwa yang kelihatannya sepele, namun sangat bermakna dalam memahami aspirasi Soeharto terhadap (khususnya) kesejahteraan.
Soeharto dibesarkan dalam keluarga sederhana di daerah Godean, Yogyakarta. Pernah suatu kali di masa masih kanak-kanak, baju lebaran yang sudah menempel di badan harus dilepas kembali, untuk diberikan pada adiknya, sebagai kakak Soeharto harus mengalah. Bisa kita bayangkan, kesedihan macam apa yang dirasakan Soeharto kecil ketika itu. Sudah barang tentu, pengalaman batin seperti itu tidak mungkin pernah dirasakan oleh Bapak Bangsa yang lain, seperti Bung Karno, Bung Hatta, atau Gus Dur, yang berlatar belakang keluarga mampu.
Artinya, obsesi terhadap kekuasaan (termasuk kesejahteraan) sudah dimulai sejak Soeharto belia, dan dia merencanakannya secara terukur bagaimana mencapai semua itu. Sangat jauh berbeda dengan situasi kekinian, ketika banyak orang berlomba-lomba memburu kekuasaan dan harta, tanpa perencanaan yang matang, dibanding Soeharto, kelas mereka masuk kategori abal-abal (mediocre). Seperti anggota kabinet yang membangkang pada pertengahan Mei 1998 tersebut, termasuk dalam kategori ini.
Kita bisa paham sekarang, apa yang nyaris tiap hari kita lihat soal OTT oleh KPK terhadap pejabat publik dan pengusaha, begitulah perilaku manusia kelas abal-abal dalam memburu kekayaan. Jadi apa yang kita saksikan hari ini sejatinya bukanlah 'Soeharto-Soeharto kecil' namun tak lebih sekadar (jawa) Petruk dadhi ratu (Petruk menjadi raja).
Metafora "Petruk menjadi raja” adalah ajaran moral untuk menjelaskan fenomena keterkejutan seseorang ketika memperoleh jabatan atau kesejahteraan secara tiba-tiba, biasanya lebih karena keberuntungan, bukan hasil kerja keras sebelumnya. Di Jakarta hari ini sangatlah mudah mencari orang-orang seperti itu, yang umumnya berhimpun di sekitar kekuasaan, yang sebelumnya bukanlah siapa-siapa, kini perilakunya cenderung snob.
Misteri Di Balik Supersemar
Supersemar mengubah wajah Indonesia dalam sekejap. Tidak banyak yang diketahui tentang surat sakti yang membuka jalan kekuasaan Suharto itu. Sang diktatur sendiri memilih membawa rahasianya itu hingga ke alam baka
Foto: Public Domain
Sejarah di Surat Palsu
Saat ini arsip negara menyimpan tiga versi Surat Perintah Sebelas Maret. Salah satunya berasal dari Sekretariat Negara, yang lain dari Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat dan terakhir cuma berupa salinan tanpa kop surat kenegaraan. Ketiga surat tersebut dinyatakan palsu oleh sejarahawan. Hingga kini tidak jelas di mana keberadaan salinan asli Supersemar.
Foto: Public Domain
Tiga Diutus Suharto
Misteri juga menggelayuti penandatanganan Supersemar. Awalnya Sukarno dilarikan ke Bogor setelah sidang kabinet 11 Maret 1966 di Jakarta dikepung oleh "pasukan liar" yang kemudian diketahui adalah pasukan Kostrad. Di Bogor Sukarno disantroni tiga jendral utusan Suharto. Sejarah lalu mencatat buram apa yang terjadi di Istana. Yang jelas pulang ke Jakarta ketiga jendral telah mengantongi Supersemar
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Sebuah Pistol dan Amuk Massa
Tidak jelas bagaimana Sukarno mau menandatangani surat yang praktis melucuti kekuasaannya itu. Kesaksian pengawal presiden, Sukardjo Wilardjito, menyebut Sukarno ditodong pistol oleh seorang jendral utusan Suharto. Catatan lain menyebut Sukarno terpaksa membubuhkan tandatangannya karena saat itu istana Bogor telah dikepung tank-tank TNI dan ribuan massa yang berunjuk rasa.
Foto: picture-alliance/dpa
Serah Kuasa Jendral Bintang Lima
Supersemar diyakini tidak menyebut secara eksplisit penyerahan kekuasaan kepada Suharto seperti yang dipropagandakan oleh TNI. Dalam pidato Sukarno pada 17 Agustus 1966 ia mengecam pihak yang telah menghianati perintahnya. "Jangan jegal perintah saya. Jangan saya dikentuti!" pekiknya saat itu. Sukarno kembali menekankan Supersemar bukan "transfer of authority, melainkan sekedar surat perintah"
Foto: picture-alliance/dpa
Surat Istana Berkop Militer
Sejumlah orang mengaku mengetik Supersemar, antara lain Letkol (Purn) Ali Ebram, seorang perwira Cakrabirawa. Menurutnya ia mengetik naskah Supersemar dengan didampingi langsung oleh Sukarno. Namun sejahrawan Irlandia, Benedict Anderson mencatat kesaksian perwira lain bahwa Supersemar ditulis di atas kertas berkop Markas Besar Angkatan Darat. Artinya naskah Supersemar tidak disusun oleh Sukarno
Foto: Bartlomiej Zyczynski/Fotolia.com
Gerak Cepat Suharto
Hanya 24 jam setelah terbitnya surat sakti itu Suharto membubarkan PKI, menangkapi anggota kabinet dan orang-orang tedekat Sukarno. Menurut adik Suharto, Probosutedjo, surat itu tidak secara eksplisit memerintahkan pembubaran PKI. Sebab itu pula Sukarno menerbitkan surat perintah 13 Maret buat menganulir Supersemar. Serupa Supersemar, naskah asli surat perintah itu hingga kini lenyap tanpa bekas
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Terbenamnya Sang Putra Fajar
Setelah kekuasaannya dilucuti, Sukarno diasingkan dari kancah politik di Jakarta. Ia dilarang membaca koran atau mendengar radio. Kunjungan keluarga dan layanan kesehatan dibatasi. Sementara itu Suharto mulai membangun kekuasaan dengan membentuk kabinet dan membujuk parlemen untuk mengesahkan Supersemar dalam TAP MPRS No. IX/MPRS/1966.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/A. Priyono
Membisu Hingga ke Alam Baka
Supersemar pada akhirnya digunakan oleh Suharto untuk melahirkan rejim orde baru. Hingga kematiannya sang diktatur tidak berniat membuka tabir sejarah gelap tersebut, begitu pula dengan orang-orang terdekatnya. Berbagai upaya yang dilakukan Arsip Nasional untuk menemukan naskah asli Supersemar terbentur sikap diam pejabat orba. Saat ini semua saksi kunci Supersemar telah meninggal dunia.
Foto: Public Domain
8 foto1 | 8
Kesabaran Soeharto
Ada satu nilai dari Soeharto, yang rasanya akan sulit diulang pihak lain, yakni soal kesabarannya. Sebagaimana sudah dijelaskan secara gamblang oleh sejarah, bahwa Soeharto terobsesi untuk menundukkan dua jenderal senior AD, yakni Ahmad Yani dan AH Nasution. Dengan kesabarannya yang khas, Soeharto bisa lepas dari bayang-bayang dua jenderal tersebut.
Menonjolnya figur Ahmad Yani menjadikan Soeharto selalu berada di bawah bayang-bayang Ahmad Yani. Selama masih ada figur Ahmad Yani, Soeharto masih harus bersabar menanti pemunculannya. Membandingkan perjalanan karir keduanya menjadi menarik, karena Soeharto-lah yang menggantikan Yani sebagai Pangad (KSAD), setelah Yani ditemukan gugur di Lubang Buaya dalam Peristiwa 1965. Seolah Soeharto merupakan antitesis dari figur Yani.
Sekadar mengingatkan kembali, antara Yani dan Soehartoada ikatan kultural (bersama perwira-perwira asal Jateng lain), yang dikenal sebagai "Rumpun Diponegoro”. Dalam perjalanan waktu kita bisa melihat, antara Soeharto dan Yani terjadi sedikit perberbedaan sikap, dalam pengamalan tradisi rumpun Diponegoro. Tradisi rumpun Diponegoro yang acapkali diasosiasikan dengan nilai-nilai kebatinan Jawa (kejawen), tetap dipegang teguh Soeharto hinga akhir hidupnya. Tidak demikian dengan Yani, yang lebih kosmopolitan, sepulangnya mengikuti pendidikan Seskoad di Amerika (Fort Leavenworth).
Kemudian dalam menghadapi Nasution, kesabaran Soeharto lebih dahsyat lagi, hampir empat dekade. Sebagaimana sudah diketahui, memang sempat terjadi ketegangan antara Soeharto dengan Nasution, pada tahun 1950-an, saat Soehartomasih Pangdam Diponegoro, sementara Nasution adalah KSAD. Nasution mempersoalkan bisnis ilegal yang dilakukan Soeharto beserta kroninya saat itu.
Kesabaran Soeharto untuk menanti hari yang pas untuk "membalas” tindakan Nasution dahulu, ibarat seorang sniper (penembak runduk). Akhirnya saat yang ditunggu datang, pada penggal terakhir kekuasaannya, Soeharto memberi anugerah jenderal besar (lima bintang) pada Nasution.
Ini sebenarnya adalah parodi bagi Nasution. Bagi tokoh sekaliber Nasution, anugerah jenderal besar sebenarnya tidak terlalu berarti. Bila tidak diberikan pun, tidak mengurangi nama besar Nasution. Tampaknya Soeharto sengaja memberi pangkat ini di hari senja Nasution, ketika secara psikis dan fisik Nasution sudah melemah, sehingga tak kuasa menolaknya.
Penulis: Aris Santoso (ap/vlz), sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
G30SPKI: Dusta di Ujung Nyawa Pahlawan Revolusi
Adegan penyiksaan di film G30SPKI terhadap pahlawan revolusi bertentangan dengan otopsi yang diperintahkan Soeharto sendiri. Tapi demi kampanye anti komunis, bagian tersebut dihilangkan. Inilah hasil otopsi tim forensik
Foto: Davidelit
Kabar Burung di Halaman Muka
Adalah dua harian milik ABRI, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang pertamakali melayangkan tudingan "penyiksaan barabarik" terhadap para jendral korban kudeta Partai Komunis Indonesia, termasuk bahwa mata korban "ditjungkil" dan "kemaluannya dipotong." Suharto sendiri dikutip membenarkan adanya "indikasi penyiksaan" di tubuh korban. Padahal hasil otopsi berkata lain.
Otopsi Dr. Kertopati
Selama delapan jam tim forensik yang dipimpin Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Sutomo Tjokronegoro bekerja hingga dini hari buat mengungkap penyebab kematian ketujuh jendral pahlawan revolusi. Hasil otopsi yang dilakukan atas perintah Suharto sendiri itu kemudian ditemukan lagi oleh sejahrawan Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson.
Foto: Getty Images/Three Lions
Jendral Ahmad Yani
Jendral Ahmad Yani dikabarkan tewas di kediaman pribadinya setelah diberondong peluru oleh pasukan Tjakrabirawa pimpinan Lettu Doel Arief. Hasil otopsi hanya membenarkan separuh klaim tersebut. Tim forensik cuma menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Yani diyakini meninggal dunia seketika sebelum jenazahnya diangkut oleh Tjakrabirawa.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral D.I. Panjaitan
Hal serupa terjadi dengan Brigade Jendral Donald Isaac Panjaitan. Hasil pemeriksaan menyebut dia mendapat tiga tembakan di bagian kepala dan sebuah luka kecil di lengan. Tidak ada bukti penyiksaan pada tubuh seperti yang ditudingkan oleh mabes ABRI kala itu.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral M.T. Haryono
Adapun laporan kematian Letnan Jendral Mas Tirtodarmo Haryono masih menimbulkan teka-teki karena tercatat tidak memiliki luka tembakan. Dokter hanya menemukan luka tusukan di bagian perut yang diduga disebabkan oleh bayonet. Luka serupa yang ditengarai tidak fatal juga ditemukan pada punggung dan pergelangan tangan korban yang diduga muncul ketika jenazah dilemparkan ke Lubang Buaya.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral Siswondo Parman
S. Parman menderita lima luka tembakan, termasuk dua di kepala yang menyebabkan kematiannya. Tim forensik juga menemukan luka atau retakan pada tengkorak, rahang dan bagian bawah kaki kiri yang disebabkan oleh trauma. Tidak ada yang bisa memastikan penyebab trauma tersebut. Ben Anderson menulis pukulan popor senjata atau benturan pada lantai dan dinding sumur bisa menjadi penyebabnya.
Foto: Davidelit
Letnan Jendral Soeprapto
Letjen Soeprapto meninggal dunia akibat sebelas luka tembakan di berbagai bagian tubuh. Serupa S. Parman, dia juga menderita keretakan tulang di bagian tengkorak dan tiga luka sayatan yang diduga disebabkan oleh bayonet. Keretakan pada tulang korban diyakini sebagai akibat benturan dengan benda tumpul seperti popor senapan atau batu.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral Sutoyo Siswomiharjo
Brigjend Sutoyo adalah sosok yang paling ramai dikaitkan sebagai korban penyiksaan PKI. Di dalam film G30SPKI anggota Gerwani ditampilkan menyungkil salah satu matanya. Namun hasil otopsi berkata lain. Sutoyo menderita tiga luka tembakan, termasuk satu luka fatal di kepala, dan trauma di bagian lengan kanan.
Foto: Davidelit
Kapten Czi. Pierre Tandean
Serupa yang lain, Pierre Tandean meninggal dunia akibat empat tembakan oleh pasukan Tjakrabirawa. Dia juga menderita luka dalam di bagian kening dan lengan kiri, serta "tiga luka terbuka akibat trauma di kepala." Tidak seorangpun dari tim dokter forensik bisa memastikan indikasi penyiksaan seperti yang ditudingkan Suharto kala itu.