1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kudeta Militer di Myanmar Menyatukan Etnis Minoritas

26 Februari 2021

Pegawai negeri, tenaga kesehatan dan pekerja transportasi di Myanmar lancarkan aksi mogok. Sementara aksi protes etnis minoritas juga semakin berkembang. Mampukah kudeta menyatukan mereka menentang kudeta militer?

Etnis minoritas di negara bagian Shan melakukan aksi protes anti-kudeta
Etnis minoritas di negara bagian Shan melakukan aksi protes anti-kudetaFoto: Calito/AFP/Getty Images

Tiga minggu setelah kudeta militer Myanmar, protes di kota-kota di seluruh negeri berkembang lebih besar dari sebelumnya dan telah menyebar ke ibu kota provinsi-provinsi dengan populasi etnis minoritas yang signifikan.

Ribuan pengunjuk rasa sambil membawa bendera turun ke jalan-jalan seperti di Lashio di negara bagian Shan, Myitkyina di negara bagian Kachin, ataupun di Hpa-An di negara bagian Kayin.

Pemimpin kelompok dari beberapa etnis di Myanmar yang mendukung perlawanan terhadap kepemimpinan militer juga mendukung gerakan pemberontakan sipil, di mana pegawai negeri, tenaga kesehatan, dan pekerja transportasi di seluruh negeri melancarkan aksi mogok.

Siapakah etnis minoritas Myanmar?

Myanmar adalah negara multietnis, di mana populasi etnis minoritas di sana sepertiga dari 54 juta penduduk negara itu.

Mereka hidup di daerah perbatasan yang membentuk tapal kuda di sekitar persawahan subur di jantung Myanmar, yang didominasi oleh mayoritas etnis Bamar. Selama beberapa dekade, beberapa dari etnis ini telah memperjuangkan lebih banyak otonomi.

Peta persebaran kelompok etnis Myanmar

Kelompok paramiliter etnis Myanmar termasuk Serikat Nasional Karen (KNU) yang berpengaruh, Tentara Negara Bagian Wa Bersatu yang berkekuatan 30.000 orang, dan Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA).

Setidaknya ada 21 organisasi kelompok paramiliter etnis Myanmar seperti Serikat Nasional Karen (KNU), Tentara Negara Bagian Wa Bersatu yang berkekuatan 30.000 orang, dan Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA). Pasukan minoritas ini tidak hanya berperang melawan pemerintah pusat, tetapi dalam beberapa kasus melawan satu sama lain.

Perselisihan mengenai partisipasi politik dan ekonomi dari kelompok etnis yang berbeda telah menjadi ciri Myanmar sejak merdeka pada tahun 1948. Hal ini menyebabkan perang saudara yang terus berkobar selama 70 tahun.

Menurut sebuah studi Asia Foundation, sekitar satu dari empat orang Myanmar terkena dampak konflik kekerasan pada tahun 2017.

Pasukan Myanmar khawatir akan aliansi

Militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, selalu mengkhawatirkan aliansi antara kelompok etnis minoritas ini dan oposisi sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi.

Pada hari kudeta, para jenderal Myanmar menawarkan kepada kelompok paramiliter untuk menangguhkan semua operasi militer hingga 28 Februari dan melanjutkan dialog perdamaian.

Tawaran itu ditolak sejumlah pihak, termasuk Tim Pengarah Proses Perdamaian (PPST). PPST menyatakan mendukung aksi unjuk rasa sipil.

Tim tersebut mewakili 12 pasukan etnis minoritas yang menandatangani Perjanjian Perdamaian Nasional (NCA) pada tahun 2015 silam.

Kelompok paramiliter Serikat Nasional Karen (KNU)Foto: Pornchai Kittiwongsakul/AFP/Getty Images

Faktor penentu ke depan adalah seberapa kuat solidaritas antara kelompok etnis minoritas ini dan gerakan protes anti-kudeta.

Saw Kapi, direktur lembaga think tank Myanmar, Salween Institute for Public Policy, mengatakan pada sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, bahwa para demonstran dan etnis minoritas saat ini bersatu dalam menentang militer, tetapi berbeda dalam apa yang mereka inginkan untuk masa depan: Generasi Z yang memimpin gerakan protes ingin demokrasi dan etnis minoritas mencari otonomi.

Saat ini berlaku prinsip "musuh dari musuhku adalah temanku", karena kedua kelompok menolak kekuasaan militer. Namun, ada perbedaan tentang siapa yang harus memerintah Myanmar.

Ini ditunjukkan dari banyaknya spanduk penolakan Suu Kyi yang terpampang di Yangon atau Mandalay.

Namun, apakah Tatmadaw memerintah dengan atau tanpa Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi, memberikan sedikit perbedaan bagi minoritas.

Harapan etnis minoritas bahwa proses rekonsiliasi dan negosiasi politik tentang pembagian kekuasaan akan dimulai dengan pemerintahan sipil NLD pupus setelah 2015.

Pakar independen konflik Myanmar, Ashley South mengatakan kepada DW bahwa kelompok minoritas merasa "kecewa" terhadap pemerintah NLD.

"Mereka memiliki sedikit pengalaman positif dengan pemerintah NLD. Ketidakmampuan NLD untuk membuat kemajuan dalam proses perdamaian telah membuat frustrasi banyak orang," katanya.

Militer Myanmar khawatir kelompok etnis dan gerakan pro-demokrasi membentuk aliansiFoto: Thet Aung/AFP/Getty Images

Etnis minoritas menginginkan otonomi

Konflik etnis Myanmar sebagian besar berpusat pada masalah federalisme. Namun, mendefinisikan federalisme selalu menjadi kontroversi di sana.

Hingga tahun 2014, militer membungkam setiap diskusi yang bahkan menyebut kata federalisme, karena itu dipahami sebagai separatisme.

Definisi federalisme saat ini berkisar dari membiarkan kelompok minoritas membatasi penentuan nasib budayanya sendiri, hingga negara bagian berbasis etnis dengan otonomi ekstensif.

"Rincian negara federal di masa depan masih belum jelas dan diskusi seputar perincian ini telah menghasilkan pertikaian yang mengakar yang pada akhirnya menyebabkan kebuntuan dalam negosiasi perdamaian saat ini," tulis Michael Siegner dalam studi baru-baru ini tentang proses perdamaian Myanmar dari keluarga Hanns Seidel Foundation.

Ashley South juga mengatakan posisi NLD sejauh ini lebih dekat dengan militer daripada etnis minoritas.

Selain itu, setiap kelompok minoritas juga menginginkan hal yang berbeda dari federalisme.

Kelompok paramiliter berpengaruh Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan (RCSS), mengatakan akan mendukung rakyat dalam melindungi transisi demokrasi dan mendirikan persatuan federal, menurut laporan surat kabarThe Irrawady.

Bagi kelompok paramiliter dari negara bagian Shan tersebut, dan bagi kelompok paramiliters lainnya, masalah terpenting untuk masa depan adalah otonomi yang lebih besar bagi kelompok minoritas, dan bukan kembali ke demokrasi di bawah Suu Kyi.

Mampukah pendukung NLD dan etnis minoritas bekerja sama?

Kelompok minoritas dan pendukung pro-demokrasi juga masih waspada untuk saling percaya.

"Masalah besarnya bukan tentang benar dan salah, tapi juga tentang kepercayaan ... Kepercayaan telah tergerus dengan buruk. Jika mereka bisa melakukannya satu sama lain, mereka juga bisa melakukannya untuk kita," ujar Khuensai Jaiyen dari Tim Pengarah Proses Perdamaian (PPST).

Yang dimaksud dengan "mereka", menurut Jaiyen adalah etnis mayoritas Bamar, yang bertanggung jawab baik di militer maupun di NLD; yang dimaksud dengan "kita" adalah kelompok etnis minoritas. Perbedaan antara "kita" dan "mereka" masih dominan.

Namun demikian, menurut Ashley South, ada peluang nyata untuk menantang institusi militer yang kuat.

"Tatmadaw menghormati kekuatan angka," kata South.

"Jika ada koalisi yang cukup kuat, maka saya pikir hanya politik riil yang akan memastikan setidaknya bahwa kepemimpinan militer Myanmar menganggapnya serius dan mungkin merasa mereka tidak punya banyak pilihan selain bernegosiasi," tambahnya.

Sebaliknya, ini juga berarti bahwa jika militer berhasil memecah-belah gerakan protes dan etnis, seperti yang terjadi di masa lalu, militer akan tetap berkuasa.

(rap/hp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait