Kuliner dan Kerajinan Indonesia Disambut Warga Frankfurt
29 Agustus 2018
Aneka makanan tradisional dan kerajinan tangan khas Indonesia kembali menarik perhatian pengunjung pada festival tahunan Mainuferfest di kota Frankfurt am Main, Jerman.
Iklan
Festival tahunan ini diikuti oleh 23 museum di Frankfurt dan diramaikan dengan ratusan stan di sepanjang tepi sungai Main.
Festival yang berlangsung pada 24 - 26 Agustus 2018 ini dibuka oleh Walikota Frankfurt Peter Feldmann guna mempromosikan Frankfurt sebagai kota internasional.
Dalam festival ini, stan Indonesia menempati lokasi utama sehingga menarik banyak pengunjung.
Stan-stan ini menjual aneka makanan khas Indonesia seperti sate ayam dan sate vegetarian sebagai alternatif bagi pengunjung yang tidak memakan produk hewani.
Selain itu, ada juga stan yang memamerkan dan menjual kerajinan perak, serta kerajinan kayu asal Lombok dan Bali. Semakin malam, stan sate dan kerajinan tangan ini pun kian ramai dikunjungi.
Stan lain ada juga yang menyediakan informasi tempat tujuan wisata serta peluang bisnis dan perdagangan di Indonesia.
Para pengunjung menunjukkan antusiasme dan keingintahuan tentang kisaran biaya untuk berwisata ke Indonesia serta moda transportasi yang cocok untuk mengunjungi kota-kota di Indonesia.
Kota penting bagi dua negara
Pada saat pembukaan, Konsul Jenderal RI Frankfurt, Toferry P. Soetikno, menjelaskan kepada Walikota Frankfurt bahwa festival ini adalah ajang yang tepat untuk mempromosikan Indonesia di wilayah selatan Jerman. Konjen RI juga mengundang Walikota Frankfurt untuk mengunjungi booth Indonesia.
Musik Indonesia di Tepi Sungai Main, Frankfurt
Yang tampil di Uferfest, 28-30 Agustus 2015 antara lain: Dira Sugandi, Kua Etnika (Djaduk Ferianto), Dwiki Dharmawan & Friends, Barong dan Gandrung Banyuwangi, Bonita & the hus-BAND, Tiara, Sri Hanuraga, JFlow, DJ Cream.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Kua Etnika
Kua Etnika garapan pemusik kondang Djaduk Ferianto menampilkan penggalian musik etnis dengan pendekatan modern.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Kua Etnika
Hentakan musik Kua Etnika langsung membuat penonton riuh rendah.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Kua Etnika
Koordinator Komite Nasional Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 Slamet Rahadjo pun didaulat naik panggung.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Bonita & The hus-BAND
BONITA & The hus-BAND, kuartet akustik dari Jakarta dengan musik bercorak folk dan soul.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Bonita & the hus-BAND
Dan suara lantang vokalis Bonita yang tak terlupakan.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Dira Sugandi
Yang membuat pejalan kaki menghentikan langkah, untuk mendengar suara jazz-nya.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Dira Sugandi
Sering diajak tampil oleh Incognito, sering manggung di Java Jazz Festival, dan sekarang tampil di Frankfurt.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Dwiki Dharmawan & Friends
Dwiki Dharmawan mengajak kawan-kawan Eropanya memainkan Jazz kolaborasi Indonesia dan Eropa.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Dwiki Dharmawan & Friends
Kelincahan jari-jari Dwiki di atas tuts piano Steinway & Sons.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Orkes Gandrung Banyuwangi
Kelompok Barong Osing dan Gandrung dari Banyuwangi menyedot perhatian penonton.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Orkes Gandrung Banyuwangi
Para penari asal Banyuwangi mengajak penonton ikut bergoyang di atas panggung.
Foto: DW/H. Pasuhuk
JFlow beraksi
Komponis dan rapper JFlow membakar semangat penonton dengan gayanya yang enerjik.
Foto: DW/H. Pasuhuk
JFlow beraksi
Dan para penonton perempuan pun maju mendekat ke panggung.
Foto: DW/H. Pasuhuk
DJ Cream
DJ Cream melakukan solo performance yang memukau dan membuat penonton setengah tersihir.
Foto: Hendra Pasuhuk
DJ Cream
Kecekatan tangan dan kemampuan multitasking melayani beberapa mesin sekaligus.
Foto: Hendra Pasuhuk
Mian Tiara (vokal) dan Sri Hanuraga (piano)
Mian Tiara (vokal) dan Sri Hanuraga (piano) menampilkan musik syahdu dengan alunan yang membuai.
Foto: Hendra Pasuhuk
Mian Tiara
Memukau penonton yang terpaku di terang matahari sore.
Foto: Hendra Pasuhuk
Mian Tiara
Penguasaan teknik dan pembawaan lagu yang mempesona dan penuh penghayatan.
Foto: Hendra Pasuhuk
18 foto1 | 18
Area bagian selatan Jerman memang memegang peran penting bagi hubungan kedua negara. Wilayah selatan adalah adalah pusat ekonomi bagi Jerman dan lebih 60 persen ekspor Indonesia ke Jerman ditujukan ke wilayah ini.
Dari 260 ribu turis Jerman ke Indonesia, hampir 50 persen berasal dari wilayah selatan Jerman. Sementara dari seluruh warga Indonesia yang tinggal di Jerman, lebih dari 50 persennya bermukim di wilayah ini.
Mainuferfest adalah salah satu festival terbesar di Jerman Selatan dan menarik hampir 300 ribu pengunjung, baik domestik maupun wisatawan asing.
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.