Kunjungan Gus Yahya ke Israel Kembali Tuai Kecaman
12 Juni 2018
Kontroversi seputar kunjungan anggota Wantimpres Yahya Cholil Staquf ke Israel masih berlanjut. Kini organisasi pro Palestina BDS mengecap lawatan tersebut serupa pengakuan terhadap Israel.
Iklan
Kunjungan Yahya Cholil Staquf ke Israel memicu hujan kritik seputar simbolisme lawatan yang diyakini serupa dengan pengakuan terhadap negeri Yahudi. Pria yang akrab dipanggil Gus Yahya itu hadir di Yerusalem atas undangan organisasi lobi American Jewish Committee.
Setelah Hamas di Jalur Gaza, kini giliran gerakan boikot Israel, Boycott, Divestment and Sanctions Movement (BDS) yang mengritik Nahdlatul Ulama. Seperti dilaporkan Middle East Monitor, NU berencana menindaklanjuti kunjungan Gus Yahya dengan mengirimkan delegasi ke Palestina untuk mempromosikan perdamaian.
Namun niat tersebut dikecam lantaran mengabaikan nilai simbolik kunjungan tersebut, karena dinilai "memberikan legitimasi atas pendudukan Israel dan menutupi eskalasi serangan terhadap warga Palestina, untuk mengontrol mereka dan menghalangi akses terhadap hak paling dasar sekalipun," tulis organisasi tersebut lewat kantor berita Quds Press.
Pria yang juga menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu sebaliknya meyakini keputusannya untuk datang ke Israel sudah benar. "Beberapa orang di sini terheran-heran dengan keputusan saya untuk datang, karena mereka berpikir orang ini pasti berada dalam bahaya karena banyak kaum muslim yang pasti mengancam akan membunuhnya," kata dia kepada Associated Press.
Ketika Palestina Belajar Mencintai Kemakmuran
Melalui kota Rawabi milyarder Bashar Masri mengajak warga Palestina menikmati kehidupan sebagai bahasa perlawanan. Kota yang baru berusia sembilan tahun itu menjadi oase kemewahan di tengah tandusnya medan perang.
Foto: Getty Images/AFP/A. Gharabli
Mengubah Wajah Muram Palestina
Selama ini Tepi Barat Yordan lebih dikenal lewat adegan kekerasan dan perang, ketimbang damai dan kemakmuran. Namun citra muram tersebut gugur oleh keberadaan kota Rawabi, metropolitan pertama milik Palestina. Adalah milyarder Bashar Masri yang pertama kali menggagas proyek raksasa senilai 1,4 milyar Dollar AS tersebut.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. Nasser
Perlawanan Lewat Pembangunan
Melalui Rawabi, Masri ingin melawan aneksasi lahan demi pemukiman Yahudi. Namun bukannya mengangkat senjata, ia memilih menawarkan oase kemakmuran yang dilengkapi infrastruktur kelas dunia untuk menyaingi kota dan pemukiman buatan Israel. Kini warga Palestina tidak perlu lagi pergi ke Israel untuk menikmati kehidupan yang layak.
Foto: Getty Images/AFP/T. Coex
Oase Kemewahan di Tepi Barat Yordan
Tata kota Rawabi memang serupa kota metropolitan modern Eropa. Selain pemukiman, penduduk juga dimanjakan lewat adanya pusat perbelanjaan mewah, bioskop, restoran, perkantoran, cafe, sekolah, rumah sakit dan arena hiburan Wadina seluas 135.000 meter persegi yang diharapkan bakal menyedot 100.000 wisatawan lokal setiap harinya. "Kami ingin melawan dengan bata, bukan peluru," kata Masri.
Foto: Getty Images/AFP/A. Gharabli
Minim Penduduk
Namun meski telah sembilan tahun berdiri, baru sekitar 4.000 penduduk menetap di Rawabi. Pengembang meyakini kota ini bisa menampung hingga 40.000 penduduk dan telah memiliki rancangan tata kota untuk perluasan lebih lanjut. Sayangnya sikap acuh pemerintah Palestina dan keengganan Israel melihat keberhasilan pembangunan Rawabi mempersulit upaya Masri.
Foto: Getty Images/AFP/T. Coex
Musuh di Dua Sisi
Salah satu kegagalan pemerintahan Fatah di Tepi Barat adalah menuntaskan pembangunan infrastruktur listrik dan air untuk Rawabi. Akibatnya aliran air dan ketersediaan listrik di kota tersebut bergantung sepenuhnya dari Israel yang berulangkali memblokir pasokan untuk Palestina. Akibatnya banyak calon pembeli rumah atau penyewa ruang usaha yang membatalkan niatnya.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Ehl
Rencana Perluasan di Masa Depan
Untuk menampung lonjakan penduduk, pengembang sudah menyiapkan rancangan 22 pemukiman dengan masing-masing 8.000 rumah dan 25.000 penduduk. Masri juga menyambut warga Kristen Palestina dan bahkan Yahudi untuk tinggal di Rawabi, selama mereka bukan penduduk pemukiman ilegal. Toleransi diyakini bakal menjadi pondasi kemakmuran Palestina.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. Nasser
Normalisasi Kehidupan di Tengah Perang
Rawabi mewakili pergeseran paradigma di Palestina - sebuah perlawanan damai. "Kami akan berusaha menjalankan kehidupan normal, sampai kehidupan kami benar-benar menjadi normal," kata Masri. Menurutnya Rawabi menandakan gelora hidup bangsa Palestina. "Kota ini menunjukkan bahwa kami adalah bangsa beradab dan menginginkan yang terbaik," ujarnya.
Foto: Getty Images/AFP/A. Gharabli
7 foto1 | 7
Selain berbicara pada Konfrensi AJC, Gus Yahya juga dijadwalkan mengunjungi Universitas Ibrani dan berbicara dengan tokoh Yahudi, Kristen dan Muslim lokal. Dia tidak direncanakan bertemu dengan politisi Israel dalam kunjungannya kali ini.
Gus Yahya mengaku konflik Israel dan Palestina bukan satu-satunya agenda lawatan, melainkan juga kerjasama lintas agama sebagai jalan penyelesaian konflik, termasuk untuk kasus Rogingya di Myanmar. "Kita menghadapi masalah peradaban dan ini berkaitan dengan agama," katanya, "kami ingin ikut memberikan sumbangan dalam kaitannya dengan agama kami."
Dalam pidatonya dia mengritik pendekatan politik dan keamanan dalam konflik Israel-Palestina yang selama ini gagal menyudahi penderitaan warga sipil. Ia merujuk pada pandangan bekas Presiden Abdurrachman Wahid yang menilai agama bisa ikut berperan menuntaskan konflik tersebut.
Tujuh Dekade Israel: Perayaan yang Kontroversial
"Israel kaya akan berbagai budaya. Bersamaan dengan itu, negara ini dilanda masalah sosial dan politik," kata Corinna Kern. Lihat peringatan 70 tahun Israel melalui lensa fotografer yang bekerja di Tel Aviv ini.
Foto: DW/C. Kern
Perayaan besar: Mandi dalam gelembung sabun
Ketika menginjak usia 70 tahun, semua warga Israel bersama-sama merayakannya. Perayaan berlangsung, seperti di sini di Rabin Square, Tel Aviv, akan mencapai puncaknya di pesta pantai besar-besaran. 14 Mei 1948, David Ben-Gurion, perdana menteri pertama Israel, mengumumkan kemerdekaan Israel di Tel Aviv.
Foto: DW/C. Kern
Kembang api menandai perayaan di seluruh negeri
Sesuai dengan kalender Ibrani, perayaan Hari Kemerdekaan Israel tahun 2018 dimulai pada tanggal 18 April. Perayaan ulang tahun itu, bagaimanapun, telah dibayangi oleh ketegangan di perbatasan utara Israel, dan kekerasan baru serta protes di Gaza.
Foto: DW/C. Kern
Status kultus: 'Bapak Israel'
Di Tel Aviv, perdana menteri pertama Israel, David Ben-Gurion, selalu "membayangi." Patung ini menunjukkan dia melakukan aksi berdiri di atas tangan. Di lokasi dengan pose yang sama ketika dia difoto oleh fotografer Paul Goldman pada tahun 1957.
Foto: DW/C. Kern
Tel Aviv: Sebuah metropolis modern
Tel Aviv adalah kota Ibrani modern pertama. Garis langitnya kontras dengan rumah-rumah tua di Neve Tzedek. Pada tahun 1887, jauh sebelum deklarasi kemerdekaan Israel, kawasan itu adalah lingkungan Yahudi pertama yang dibangun di luar kota tua Jaffa.
Foto: DW/C. Kern
Neve Tzedek: Di mana hipster bertemu
70 tahun setelah pendirian Israel, Neve Tzedek adalah salah satu tempat paling keren di kota - lingkungan yang trendi berpadu dengan budaya Yahudi lama. Sementara kaum muda Israel dan turis berduyun-duyun ke bar, kafe, dan toko, sisi historis Israel selalu hadir.
Foto: DW/C. Kern
Waktupun berubah: Generasi pertama
Zion Howav dua tahun lebih tua dari usia Israel. Dia telah tinggal di Neve Tzedek sejak dia muda. "Lima puluh hingga 60 tahun yang lalu Anda tidak akan melihat orang-orang di jalanan pada hari Jumat sore, mereka semua akan pergi ke sinagoga," kata pria berusia 72 tahun itu.
Foto: DW/C. Kern
Kebijakan pemukiman Israel
Sejak Israel menandai pendiriannya, perselisihan atas permukiman Tepi Barat selalu membayangi. Maaleh Adumim, yang dikelilingi oleh Gurun Yudea, adalah salah satu yang jadi masalah. Bagi hak politik Israel, inilah salah satu prestasi utama negara. Bagi kaum kiri, mereka sangat merusak reputasi internasional Israel.
Foto: DW/C. Kern
Bangga dengan prestasi negaranya
Neri Ureli, 60 tahun usianya, tinggal di Maaleh Adumim. "Israel adalah negara yang telah melakukan begitu banyak hal dalam 70 tahun. Saya bangga karena [itu mulanya] dari nol. Untuk membangun di gurun juga sesuatu yang bersifat ideologis, bukan dalam arti politik, namun mengambil tanah yang tidak memiliki apa pun di atasnya dan menciptakan sesuatu dari ketiadaan."
Foto: DW/C. Kern
Seni ideologis Maaleh Adumim
Theodor Herzl, sering disebut sebagai "bapak spiritual Negara Yahudi," menghiasi dinding ini di Maaleh Adumim. Kota, rumah bagi 40.000 orang ini, adalah salah satu permukiman Israel terdekat ke Yerusalem di Tepi Barat yang diduduki. Tahun lalu, pemerintah mengumumkan rencana untuk memperluas kota.
Foto: DW/C. Kern
Kota dalam perselisihan
Sejak pemerintah Israel mengintensifkan kebijakan permukimannya, Maaleh Adumim telah menjadi titik konflik antara Palestina dan Israel. Ada rencana untuk menjadikannya salah satu pemukiman pertama yang secara resmi dianeksasi Israel, sehingga menyebabkan seluruh proses perdamaian Timur Tengah terancam. (Penulis Corinna Kern, ap/ml)
Foto: DW/C. Kern
10 foto1 | 10
Dalam hal ini dia mengimbau umat muslim harus mengembangkan "diskursus baru" atas dasar pengakuan bahwa umat muslim dan non muslim adalah setara dan bisa hidup berdampingan. Menurutnya keyakinan bahwa umat non-muslim merupakan musuh bagi Islam "adalah problematis karena tidak searah dengan realita kekinian peradaban kita," ujarnya.
"Jika ditengah perseteruan ini kita terus ngotot memandang pihak lain sebagai musuh, bagaimana mungkin kita mampu melihat peluang bagi perdamaian? Apa gunanya berbagi ini dan itu, menyepakati ini dan itu, mengatakan ini dan itu, jika kita tak pernah bersedia melepaskan cita-cita untuk membasmi lawan? Apakah kita akan terus bertarung sampai salah satu pihak musnah, walaupun harus selama-lamanya hidup dalam kesengsaran?"
Gus Yahya bukan tidak memahami kontroversi kunjungannya. Dalam sebuah surat yang ia kirimkan ke Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dia menyerahkan kepada pemerintah untuk "membatalkan" kunjungannya jika dianggap mencederai kepentingan negara. "Tapi jika ada manfaat, mari lanjutkan agar menjadi keuntungan yang nyata," tulisnya.
Foto Kontras Duka dan Tawa Antara Gaza dan Israel
Ketika Israel merayakan 70 tahun kemerdekaan dan pemindahan kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem, penduduk di Jalur Gaza menghadapi kematian di ujung laras senapan.
Foto: Reuters/M. Salem
Amarah Menjelang Nakba
Sebanyak 60 demonstran tewas saat mengikuti aksi protes terhadap pembukaan kedutaan besar Amerika Serikat di Yerusalem. Penduduk di Jalur Gaza menyantroni perbatasan untuk menolak kebijakan Presiden Donald Trump yang mengubur klaim Palestina atas Yerusalem. Pemindahan tersebut bertepatan dengan peringatan 70 tahun pendirian negara Israel yang sekaligus menandakan hari pengusiran buat Palestina
Foto: Reuters/I. Abu Mustafa
Goretan Trump di Yerusalem
Ketika korban pertama di Jalur Gaza mulai berjatuhan, penasehat senior Gedung Putih Ivanka Trump dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin meresmikan gedung baru kedutaan AS di Yerusalem. Acara yang dihadiri oleh pejabat tinggi Israel dan sejumlah negara lain itu berlangsung hangat dan meriah.
Foto: Reuters/R. Zvulun
Termakan Jebakan Hamas?
Israel menuding organisasi teror Hamas sengaja menjebak warga untuk mendorong bentrokan yang menelan korban jiwa. Di antara korban tewas terdapat seorang bocah perempuan meregang nyawa usai terpapar gas air mata. Bentrokan di perbatasan menyisakan lebih dari 2.700 korban luka. Organisasi Palang Merah mengkhawatirkan kapasitas rumah sakit di Gaza tidak mencukupi.
Foto: Reuters/M. Salem
Pesta dan Elegi Seputar Yerusalem
Ketika warga Palestina meratapi Yerusalem, kelompok geng kendaraan bermotor di Israel merayakan pengakuan Amerika Serikat atas ibukotanya tersebut. Status Yerusalem yang sejak lama bermasalah diklaim sebagai ibukota abadi oleh penganut kedua agama. Bahkan Arab Saudi yang notabene sekutu AS di kawasan mengritik kebijakan Trump memindahkan kedutaan besar Amerika.
Foto: Reuters/A. Awad
Hari Paling Berdarah
Aksi demonstrasi pada hari Senin (14/5) di Gaza merupakan hari tunggal paling berdarah sejak perang Israel dan Hamas pada 2014 lalu. Dari 2.700 korban luka, lebih dari 1.300 terkena peluru dan 130 berada dalam kondisi kritis. Termasuk korban yang tewas adalah delapan anak di bawah umur, klaim Kementerian Kesehatan Palestina.
Foto: Reuters/I. Abu Mustafa
Bertabur Puji dan Sanjungan
Selama acara pembukaan kedutaan AS, perwakilan kedua negara saling melemparkan sanjungan dan pujian. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu misalnya menilai langkah presiden Trump sebagai sebuah "keberanian." Sementara menantu Trump, Jared Kushner, mengatakan suatu saat umat manusia akan membaca sejarah ini dan mengakui, "perdamaian diawali dengan keputusan Amerika menerima kebenaran."
Foto: Reuters/R. Zvulun
Menyambut Hari Kematian
Sejak aksi demonstrasi menyambut hari Nakba dimulai 30 Maret lalu, setidaknya 97 penduduk Palestina dinyatakan tewas, termasuk 12 anak-anak. Sementara angka korban luka bahkan melebihi jumlah korban pasca operasi militer Israel selama 51 hari di Gaza pada 2014, yakni 12.271 orang berbanding 11.231 orang. Situasi ini menyisakan ketegangan diplomasi antara Israel dan sejumlah negara lain.
Foto: picture-alliance/ZUMAPRESS.com/A. Amra
Kisruh Diplomasi
Sebagai reaksi - Turki dan Afrika Selatan menarik duta besarnya dari Tel Aviv. Sementara Uni Eropa, Jerman, Perancis dan PBB menyesalkan penggunaan kekerasan oleh militer. Adapun pemerintah Irlandia memanggil duta besar Israel untuk dimintai keterangan. Dari semua negara hanya Amerika Serikat dan Australia yang mengutuk Hamas atas jatuhnya korban jiwa di Jalur Gaza. (rzn/vlz - rtr,ap,afp)