1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kunjungan PM Israel Benjamin Netanyahu ke Berlin

16 Maret 2023

Perubahan politik di Israel dengan pemerintahan ultra kanan menimbulkan kekhawatiran di Berlin. Baik Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier maupun Kanselir Olaf Scholz harus meniti jembatan diplomasi yang rumit.

PM Israel Benjamin Netanyahu di Knesset
PM Israel Benjamin Netanyahu di KnessetFoto: Ohad Zwigenberg/AP Photo/picture alliance

Pidato Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier minggu lalu di Universitas Haifa sebenarnya dimaksudkan sebagai sambutan untuk peringatan 50 tahun berdirinya Universitas itu. Tetapi Presiden Jerman akhirnya memberikan sambutan yang sangat politis dan kritis.

Dia berbicara tentang "meningkatnya kebencian dan kekerasan" dalam beberapa bulan terakhir, sehubungan dengan "rencana restrukturisasi aturan hukum" oleh pemerintah Israel. Frank-Walter Steinmeier, yang lama menjabat sebagai menteri luar negeri, menyebut bagaimana orang Jerman "selalu kagum dengan kekuatan dan sifat dinamis dari aturan hukum Israel, justru karena kami tahu betapa pentingnya kekuatan dan semangat ini."

Rekan Steinmeier, Presiden Israel Isaac Herzog, berdiri di sampingnya. Pria berusia 62 tahun, yang disebut Steinmeier sebagai "teman dan kolega" dan dipujinya sebagai "suara cerdas dan penyeimbang dalam debat Israel", menjabat sejak 2021. Dia adalah salah satu suara terkenal yang rajin memperingatkan pemerintahan ultra kanan Netanyahu, dan kini berada di bawah tekanan politik.

Pemrotes di bandara Ben Gurion, Tel Aviv, menjelang keberangkatan Netanyahu ke JermanFoto: Tsafrir Abayov/AP Photo/picture alliance

Reformasi sistem peradilan yang bermasalah

Reformasi peradilan yang direncanakan pemerintah Israel saat ini akan secara radikal mengubah karakter demokrasi negara itu. Jika diterapkan, itu akan memungkinkan parlemen Israel Knesset untuk membatalkan keputusan Mahkamah Agung. RUU itu saat ini sedang melalui proses legislatif untuk disahkan menjadi undang-undang.

Hubungan Jerman-Israel memang tidak seperti hubungan bilateral lainnya, mengingat bayang-bayang Holocaust—yang berakhir tiga tahun sebelum Israel berdiri. Kedua negara baru menjalin hubungan formal pada tahun 1965. Sejak itu, hubungan bilateral terus berkembang dan makin erat, dengan dibentuknya konsultasi secara reguler antara kedua parlemen.

Dari konsultasi pertama pada tahun 2008 di Yerusalem, enam putaran berikutnya sudah dilakukan sampai 2018 — tempatnya selalu bergilir antara Berlin dan Yerusalem. Namun sejak 2018, konsultasi skala besar antara kedua belah pihak menjadi lebih sulit, karena meningkatnya ekstremisme dan pembentukan koalisi pemerintahan Israel yang goyah dan seringkali bubar.

Ancaman terhadap demokrasi dan solusi dua negara

Juru bicara pemerintah Jerman, Steffen Hebestreit, menggunakan konferensi pers untuk menegaskan kembali dukungan Jerman terhadap solusi dua negara. Para menteri kabinet juga bergabung dalam kritik tersebut, menyebut masalah yang dihadapi Israel adalah masalah "menjaga demokrasi liberal," seperti yang dikatakan Menteri Kehakiman Marco Buschmann saat berkunjung ke Israel. Dia memperingatkan tentang "bahaya terhadap supremasi hukum."

Kritik seperti itu dari pihak Jerman hingga saat itu jarang terjadi. Tapi kritik juga disuarakan Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock ketika menerima kunjungan mitranya dari Israel di Berlin.

"Saya tidak menyembunyikan fakta bahwa kami khawatir," kata Baerbock, seraya menambahkan, demokrasi yang kuat membutuhkan "peradilan independen, yang juga dapat meninjau keputusan mayoritas." Pernyataan itu muncul pada saat puluhan ribu orang di Israel berbaris menentang reformasi peradilan pemerintahan Netanyahu.

Sekarang, Benjamin Netanyahu sendiri yang datang ke Berlin, meskipun dia mengumumkan, kunjunganya akan dipersingkat karena situasi kritis di dalam negeri. Netanyahu diperkirakan akan menyampaikan kritiknya terhadap Jerman, mungkin sehubungan dengan peningkatan anti-Semitisme yang mengkhawatirkan. Pada saat yang sama, Netanyahu sedang menghadapi pengadilan korupsi di negaranya, dan bisa tertolong jika UU yang baru diberlakukan, sehingga parlemen bisa mengintervensi penyidikan oleh Jaksa Agung Israel dan membatalkannya.

Setelah bertemu, kedua pemimpin pemerintahan mungkin memberikan pernyataan bersama, atau menggelar konferensi pers. Ketika bertemu dengan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas bulan Agustus lalu, Olaf Scholz sempat menuai kritik tajam. Saat itu, Mahmoud Abbas membandingkan pelanggaran Israel di Palestina dengan peristiwa Holocaust. Olaf Scholz dikritik habis-habisan karena saat itu tidak bereaksi, dan baru mengeluarkan tanggapan sehari kemudian. Dia menyebut kasus itu sebagai "kekeliruan penilaian".

(hp/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait