Nasib nahas menimpa Tuti Tursilawati (33), Tenaga Kerja Indonesia asal Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Kerajaan Arab Saudi mengeksekusi mati Tuti pada Senin (29/10) dengan dakwaan membunuh majikan.
Iklan
Nasib nahas menimpa Tuti Tursilawati (33), Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Kerajaan Arab Saudi mengeksekusi mati Tuti pada Senin (29/10).
Duka mendalam menyelimuti keluarga Tuti. Pihak keluarga langsung menggelar tahlilan setelah mendengar kabar terkait eksekusi mati. Keluarga Tuti yang masih shock enggan ditemui wartawan.
Kepala Desa Cikeusik Jaenudin mengaku menerima kabar tentang eksekusi mati Tuti itu pada Selasa (30/10), sekitar pukul 01.00 WIB. "Tadi langsung tahlilan. Kami dan keluarga memohon maaf sedalam-dalamnya. Semoga amal ibadah almarhum diterima di sisi Allah," kata Jaenudin saat ditemui di kediaman Tuti, Blok Manis, Desa Cikeusik, Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Selasa (30/10/2018).
Jaenudin menuturkan Tuti merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan suami-istri, Ali Warjuki dan Iti Sarniti. Dia tak bisa berkomentar banyak mengenai permasalahan yang menimpa Tuti saat bekerja di Arab Saudi.
"Berangkat ke Arab itu tahun 2009. Kemudian, tahun 2010 terjerat kasus. Tuduhan kasusnya pembunuhan, rincinya kurang tahu. Keluarga belum berani cerita, masih shock," ucap Jaenudin.
Direktur Mediasi dan Advokasi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Yana Anusasana menyampaikan belasungkawa dan memberikan santunan kepada keluarga Tuti. Yana memilih irit bicara saat ditanya mengenai kasus yang menjerat Tuti.
Tujuh Negara Tujuan Favorit TKI
Sebanyak lebih dari 6 juta tenaga kerja Indonesia saat ini bekerja di 146 negara di seluruh dunia. Tujuh di antaranya adalah negara yang paling banyak mempekerjakan buruh asal Indonesia.
Foto: Getty Images
#1. Malaysia
Dari tahun ke tahun Malaysia menjadi tujuan utama tenaga kerja asal Indonesia. Menurut data BNP2TKI, sejak tahun 2012 sudah lebih dari setengah juta buruh migran melamar kerja di negeri jiran itu. Tidak heran jika remitansi asal Malaysia juga termasuk yang paling tinggi. Selama tahun 2015, TKI di Malaysia mengirimkan uang sebesar dua miliar Dollar AS kepada keluarga di Indonesia.
Lebih dari 320.000 buruh Indonesia diterima kerja di Taiwan sejak tahun 2012. Lantaran Taiwan membatasi masa kerja buruh asing maksimal 3 tahun, kebanyakan TKI mendarat di sektor formal. Tahun lalu TKI Indonesia yang bekerja di Taiwan menghasilkan dana remitansi terbesar ketiga di dunia, yakni 821 juta Dollar AS.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Chang
#3. Arab Saudi
Sejak 2011 Indonesia berlakukan moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Namun larangan itu cuma berlaku buat sektor informal seperti pembantu rumah tangga. Sementara untuk sektor formal, Indonesia masih mengrimkan sekitar 150 ribu tenaga kerja ke Arab Saudi sejak tahun 2012. Dana yang mereka bawa pulang adalah yang tertinggi, yakni sekitar 2,5 miliar Dollar AS tahun 2015
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
#4. Hong Kong
Sedikitnya 137 ribu TKI asal Indonesia diterima bekerja di Hongkong sejak 2012. Uang kiriman mereka pun termasuk yang paling besar, yakni sekitar 673,6 juta Dollar AS. Kendati bekerja di negara makmur dan modern, tidak sedikit TKI yang mengeluhkan buruknya kondisi kerja. Tahun 2014 silam ribuan TKW berunjuk rasa di Hong Kong setelah seorang buruh bernama Erwiana dianiaya oleh majikannya.
Foto: Getty Images/AFP/P. Lopez
#5. Singapura
Menurut BNP2TKI, sebagian besar buruh Indonesia di Singapura bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga. Sejak 2012 sebanyak 130 ribu TKI telah ditempatkan di negeri pulau tersebut. Tahun 2015 saja tenaga kerja Indonesia di Singapura mengirimkan duit remitansi sebesar 275 juta Dollar AS ke tanah air.
Foto: Getty Images
#6. Uni Emirat Arab
Lebih dari 100 ribu tenaga kerja Indonesia ditempatkan di Uni Emirat Arab sejak tahun 2012. Dana remitansi yang mereka hasilkan pun tak sedikit, yakni 308 juta Dollar AS pada tahun 2015.
Foto: picture-alliance/dpa
#7. Qatar
Lantaran moratorium, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah banyak menurun. Qatar yang tahun 2012 masih menerima lebih dari 20 ribu TKI, tahun 2015 jumlahnya cuma berkisar 2400 tenaga kerja. Sejak 2012 sedikitnya 46 ribu buruh Indonesia bekerja di negeri kecil di tepi Arab Saudi itu. Hampir 100 juta Dollar AS dibawa pulang oleh TKI Indonesia tahun 2015 silam.
Foto: imago/imagebroker
7 foto1 | 7
"Soal teknis disampaikan nanti konferensi pers di Jakarta. Intinya kami menyampaikan belasungkawa. Tadi juga santunan sudah diberikan ke Bu Iti," kata Yana di tempat yang sama.
Sebelum divonis dan dieksekusi mati, Tuti diketahui memukulkan sebatang kayu ke majikannya, seorang pria tua bernama Suud Malhaq Al Utibi. Peristiwa tersebut berlangsung di rumah majikannya, Kota Thaif, yang berjarak 87 kilometer sebelah timur Kota Mekah, pada 11 Mei 2010. Melihat majikannya terkapar karena pukulannya, Tuti berusaha kabur dari rumah.
Selanjutnya, Tuti bertemu sekelompok pria, sekitar sembilan orang. Awalnya, pria-pria itu menjanjikan bantuan membantu perjalanan Tuti ke Mekah, lepas dari rumah majikannya di Thaif. Namun ternyata Tuti dibawa ke rumah kosong, lalu mengalami pelecehan seksual.
Tuti divonis mati gara-gara membunuh majikannya. Ibu Tuti, Iti Sarniti, menceritakan bahwa Tuti bukan membunuh majikannya, namun membela diri.
Banyak yang terancam hukuman mati
Pemerintah Indonesia mengirimkan protes ke Saudi terkait eksekusi mati Tuti. Menteri Luar Negeri RI juga sudah memanggil Dubes Arab Saudi untuk Indonesia mengenai kejadian tersebut.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mencatat ada 103 WNI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi pada 2011-2018. Sebanyak 85 WNI di antaranya berhasil dibebaskan.
"Sejak 2011 sampai 2018, jumlah WNI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi sebanyak 103 orang. Dari 103 itu, alhamdulillah yang berhasil dibebaskan dari ancaman hukuman mati 85," kata Direktur Perlindungan WNI Kemlu Lalu M Iqbal di kantor Kemlu, Selasa (30/10/2018).
"Saat ini 13 WNI terancam hukuman mati di Arab Saudi, baik itu di wilayah kerja Jeddah maupun KBRI Riyadh," ujarnya.
Terkait TKI Tuti Tursilawati yang dieksekusi mati pada Senin (29/10), Iqbal mengatakan pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meringankan hukuman. Kemlu juga sudah berkunjung sebanyak 47 kali ke penjara Tuti sejak 2011.
Pemerintah Indonesia juga sudah mengirimkan protes ke Arab Saudi terkait eksekusi mati Tuti. Menlu RI juga sudah memanggil Dubes Arab Saudi untuk Indonesia mengenai kejadian tersebut.
Kondisi kerja buruk
Serikat Buruh Migran menyoroti sistem kerja di Arab Saudi yang dinilai buruk.
"Jadi belajar dari pengalaman kasus Tuti dan pekerja migran Indonesia yang mengalami hukuman mati, kami melihat ada beberapa hal. Pertama, kondisi kerja di Arab Saudi buruk. Hal itu dilandasi sistem kafalah, yang apa namanya, privasi, keluarga warga negara Arab itu tertutup. Dia bisa melakukan apa saja sehingga bahkan negara pun tidan bisa melakukan intervensi," ujar salah seorang perwakilan Serikat Kerja Buruh, Boby, di kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Selasa (30/10/2018).
Boby mengatakan pihak Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi tak bisa langsung masuk ke rumah majikan TKI jika terjadi sesuatu. Kedubes harus didampingi oleh aparat penegak hukum setempat.
"Untuk bisa masuk itu harus ada izin, kedua harus didampingi oleh aparat penegak hukum, kalau itu tidak diizinkan, artinya tidak bisa masuk, kondisi seperti ini rentan situasinya terhadap eksploitasi bahkan penganiayaan," ujarnya.
Dalam kasus Tuti, Boby mengatakan TKI tersebut sering mendapatkan perlakuan tak senonoh dari majikannya. Tuti juga tak bermaksud membunuh majikannya seperti yang dituduhkan.
"Jadi Tuti ini sering mengalamu pelecehan seksual baik itu ditoel, ataupun dipeluk dari belakang, yang peristiwa itu membuat dia merasa tidak terhormat, tidak bermartabat, akhirnya dia membuat aksi yang mungkin di luar dugaannya," ujarnya.
ae/hp
Anak Terlantar dari "Negeri Tanpa Orangtua"
Ribuan anak-anak di Republik Moldova harus mengurus diri sendiri tanpa orang tua yang bekerja di luar negeri untuk mencari nafkah. Kisahnya kini didokumentasikan oleh seorang fotografer Jerman.
Foto: Andrea Diefenbach
"Negeri Tanpa Orangtua"
Olga, Sabrina dan Carolina harus mengurus diri sendiri selama tiga tahun. Selama itu ibunya bekerja sebagai perawat di Italia. Ia terpaksa tidur di atas tempat tidur lipat di koridor rumah majikannya. "Negeri tanpa orangtua" karya fotografer Andrea Diefenbach, menceritakan kisah anak-anak di Republik Moldova yang hidup terpisah dari orang tuanya.
Foto: Andrea Diefenbach
Kepala Keluarga Berusia 12 Tahun
Olga yang tertua di antara saudaranya, "mengambilalih tugas ibu. Membuat keju, memanggang roti dan memastikan kedua adiknya pergi besekolah," kata Diefenbach. Kemandirian yang lahir dari kemiskinan itu mendominasi foto yang dibuat oleh sang fotografer.
Foto: Andrea Diefenbach
"Mama, jangan lupakan kami!"
Begitulah kalimat yang sering diucapkan Carolina setiap kali berbicara dengan ibunya lewat telepon. "Pada dasarnya anak-anak itu bisa hidup dengan situasi seperti ini," ujar Diefebach. "Tapi keluarga mulai mengalami keretakan. Dampaknya mungkin baru akan terasa setelah 20 tahun, ketika anak-anak ini menjadi dewasa," imbuhnya.
Foto: Andrea Diefenbach
Bantuan dari Nenek
Orangtua Cătălina juga bekerja di luar negeri. Tapi ia beruntung karena diurus oleh sang nenek. Keutuhan keluarga kerap menjadi barang langka di negara bekas Uni Sovyet itu. Menurut Bank Dunia, seperempat penduduk Moldova mencari rejeki di luar negeri. Kebanyakan tidak memiliki izin tinggal yang legal.
Foto: Andrea Diefenbach
Pesan Sayang dari Kejauhan
Orangtua secara berkala mengirimkan paket kepada anak-anaknya. Terkadang berisikan Popcorn, atau apel yang dibeli di sebuah supermarket di Italia. "Rasanya mungkin tidak seenak apel segar dari Moldova, tapi paket ini adalah satu-satunya kesempatan orangtua untuk menunjukkan rasa sayangnya."
Foto: Andrea Diefenbach
Tujuh Tahun Terpisah
Ludmilla, yang melakoni enam pekerjaan sebagai petugas kebersihan di Italia, harus hidup berpisah dari putranya, Slavek selama tujuh tahun. Karena tidak memiliki izin tinggal, kebanyakan orangtua tidak bisa mengunjungi anak-anaknya. Karena sekali melintas perbatasan, mereka terancam tidak bisa kembali. Ludmilla sebaliknya mendapat izin tinggal dan bisa mengundang sang anak untuk tinggal bersamanya
Foto: Andrea Diefenbach
Membanting Tulang di Negeri Orang
Alyona dan Vanya menafkahi kedua anaknya dengan bekerja sebagai buruh panen di ladang melon di Italia. Mereka berbicara setiap hari lewat telepon. Jika hujan turun, pekerjaan pun menghilang dan mengurangi upah harian yang sejak awal sudah minim.
Foto: Andrea Diefenbach
Menjaring Simpati
"Saya berharap, lewat foto-foto ini penduduk makmur di Eropa Barat bisa merenung, apakah mungkin pembantu asing mereka punya anak dan seperti apa kehidupannya," kata Andrea Diefenbach. "Kasih sayang orangtua bisa menjaring simpati semua orang."
Foto: Andrea Diefenbach
Berkelana dengan Sebuah Foto
Orangtua yang berkisah lewat Diefenbach "tidak punya pilihan," selain melihat foto anaknya untuk mengobati rasa rindu. "Mereka tidak tahu, bagaimana bisa membeli perlengkapan sekolah untuk semester depan." Republik Moldova adalah salah satu negara termiskin di Eropa, dengan pendapatan rata-rata 200 Euro per bulan.
Foto: Andrea Diefenbach
"Tanpa Emosi Palsu"
Untuk proyeknya "Negeri tanpa Orangtua", Andrea Diefenbach mendapat penghargaan "N-Ost" 2012 silam. "Gambar-gambarnya berkesan kuat tanpa emosi palsu dan menunjukkan kesenjangan ekonomi di Eropa," kata anggota juri, Lars Bauernschmitt, Professor Fotografi Jurnalistik dan Dokumenter di Hannover.
Foto: Andrea Diefenbach
Memahami Kehidupan
Andrea Diefenbach juga memublikasikan bukunya di Moldova. "Banyak orang terkejut bagaimana kerasnya kehidupan sanak saudaranya di luar negeri. Karena mereka cuma mengenal paket berisikan makanan dan baju baru," ujarnya.