1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Periode Singkat Slamet Rijadi dan Idjon Djanbi

13 April 2017

Dari tiga tokoh utama pendiri Korps Baret Merah (Kopassus), hanya satu orang yang cukup dikenal publik, yaitu Kolonel (Purn) AE Kawilarang. Bagaimana dengan tokoh lainnya, berikut pemaparan Aris Santoso.

Special Army Forces Indonesien Kopassus Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/B.Ismoyo

Sementara dua yang lain, yakni Brigjen (Anumerta) Ign Slamet Rijadi dan Mayor  (Purn) M Idjon Djanbi, praktis kurang dikenal publik, khususnya bagi generasi sekarang. Itu bisa dipahami, karena periode dua tokoh terakhir ini memang terbilang pendek.

Slamet Rijadi gugur dalam usia masih sangat muda, pada sebuah operasi penumpasan RMS di Ambon pada akhir tahun 1950. Demikian juga dengan Idjon Djanbi, yang hanya sebentar memimpin satuan embrio Kopassus  (1952-1956). Selepas itu namanya seolah ditelan zaman. Slamet Rijadi masih lebih baik, namanya diabadikan sebagai nama jalan yang membelah Kota Sola, dari mana Slamet Rijadi berasal.

Dalam bacaan saya, perjalanan Idjon Djanbi yang seolah selalu diliputi kabut misteri, merupakan refleksi karakter Kopassus itu sendiri, bahwa sebagai pasukan khusus, tidak semua aspek satuan bisa diakses publik. Dalam hal sejarah dan publikasi, Kopassus memberlakukan sistem "buka-tutup”. Bila menyangkut kurikulum pendidikan kualifikasi Komando, atau bagaimana cara satuan ini dalam beroperasi, tentu sangat ditutup rapat.

Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Satu hal unik terjadi antara Slamet Rijadi dan Idjon Djanbi, bahwa sejatinya dua orang ini belum pernah jumpa, terkait gagasan mewujudkan terbentuknya satuan komando. Keduanya "dipertemukan” melalui prakarsa AE Kawilarang, dan satu tokoh lagi yang juga sedikit misterius, yakni Aloysius Sugijanto, mantan ajudan Slamet Rijadi. AE Kawilarang memerintahkan Sugijanto untuk menemui Idjon Djanbi, agar bersedia membantu pembentukan satuan komando. Kawilarang sendiri bahu-membahu bersama Slamet Rijadi  dalam operasi di Ambon (1950), hingga keduanya sepakat akan membentuk pasukan komando, usai operasi nanti.

 Tanpa Tembakan Salvo

Sejauh ini belum ini ada naskah yang valid guna menjelaskan lokasi dan kapan Idjon Djanbi dilahirkan, ada yang menyebutkan Kanada. Kemudian soal tahun kelahiran, ada naskah yang menyebutkan 1915, namun ini terlalu "tua”, karena Idjon Djanbi pada saat terlibat dalam operasi gabungan tentara sekutu, dengan sandi Market Garden (September 1944), diperkirakan belum genap 25 tahun, dengan pangkat sersan.

Memang masih banyak data diri Idjon Djanbi yang belum  jelas, hingga perlu agenda tersendiri untuk menelusurinya. Tampaknya pada awal-awal pembentukan Kopassus, ada sedikit kekacauan administrasi, sehingga data diri para pendirinya sedikit terabaikan, termasuk Idjon Djanbi sebagai Komandan pertama. Salah satu contoh,  gambar dokumentasi Idjon Djanbi, dan komandan berikutnya, yakni Mayor (Purn) Djaelani, sempat luput dari arsip satuan. Sehingga dicarikan cara, pada pertengahan tahun 1960-an, Idjon Djanbi dan Djaelani diundang khusus guna sesi pemotretan, dengan mengenakan loreng "darah mengalir” dan Baret Merah (dengan badge versi baru). Karena pada saat masih dipimpin Idjon Djanbi dan Djaelani, masih menggunakan badge versi lama.

Keterlibatannya dalam pembentukan pasukan komando di bawah TT Siliwangi (Tentara dan Teritorium, setingkat Kodam), merupakan cerita tersendiri, ibarat sebuah cerita detektif. Bagaimana Idjon Djanbi yang sudah hidup tenang sebagai petani bunga di kawasan Lembang (Bandung), bersedia kembali mengenakan seragam tentara, untuk melatih generasi pertama pasukan Komando. Idjon Djanbi sebelumnya dikenal sebagai perwira pasukan khusus Belanda (Korps Speciale Troepen, KST), yang minta pensiun dini karena konflik dengan koleganya sesama anggota KST, Kapten Raymond Westerling.

Sebagaimana sudah disebut sekilas di atas, soal peran Letnan Aloysius Sugijanto. Adalah  Sugijanto yang berhasil membujuk Idjon Djanbi, agar bersedia melatih embrio pasukan Komando, sebagaimana angan-angan Kawilarang dan Slamet Rijadi. Sugiyanto nanti juga masuk dalam generasi pertama perwira Komando, yang langsung dilatih Idjon Djanbi, bersama Benny Moerdani dan Dading Kalbuadi. Sugijanto sendiri pribadi yang unik, seolah memang ditakdirkan secara alamiah sebagai intelijen.

Nama Sugijanto selalu muncul, sejak masih mendampingi Slamet Rijadi, kemudian menjadi perwira kepercayaan Kawilarang, setelah Slamet Rijadi gugur. Selanjutnya Sugijanto sempat masuk dalam tim inti operasi khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo, dimana dia bertemu kembali dengan teman lama sesama asal Solo dan Kopassus, yaitu Benny Moerdani. Sampai sekarang  gambar diri Sugijanto praktis tidak pernah terpublikasi.

Jalan hidup Idjon Djanbi dan Sugijanto kebetulan juga mirip, sama-sama diliputi misteri. Kalau Idjon Djanbi ditambah sedikit ironi, sebagaimana kasus potret dokumentasi di atas. Selepas mundur dari dinas, nama Idjon Djanbi seolah hilang dan tak terpantau pihak elite TNI di Jakarta. Itu terlihat ketika Idjon Djanbi meninggal di Yogyakarta tahun 1977, pihak berwenang sempat alpa, hingga tak disediakan protokoler upacara pemakaman secara militer, sebagaimana anggota TNI pada umumnya. Adakah yang lebih ironis, sebagai Komandan pertama pasukan komando, Djanbi dimakamkan tanpa tembakan salvo.

Monumen dan Semangat Zaman

Kawilarang memiliki catatan menarik terkait gugurnya Slamet Rijadi. Kabar kematian Slamet Rijadi diterima Kawilarang berdasarkan laporan Mayor Abdullah, seorang dokter  yang terus mendampingi Slamet Rijadi, sejak Slamet Rijadi tertembak di Benteng Victoria (Ambon), hingga meninggal dunia. Laporannya ditulis dalam bentuk puisi: Overste Slamet Rijadi telah mangkat//Terkabullah kehendaknya//Oleh Tuhan Yang Maha Esa//Ia ingin mati muda.

Rupanya Slamet Rijadi ingin mati muda. Ini mengingatkan kita pada tokoh mahasiswa cum pecinta alam yang sangat terkenal, Soe Hok Gie, yang juga ingin mati muda. Soe Hok Gie meninggal pada usia 27 tahun (Desember 1969), sementara Slamet Rijadi pada usia 25 tahun (November 1950). Sejarah memang acapkali menemukan tikungan unik seperti ini, yang tidak terduga sebelumnya.

Mungkin banyak yang belum tahu, ternyata keduanya sama-sama mengagumi Sutan Sjahrir. Menurut catatan yang ada, di masa Jepang, Slamet Rijadi sering menghadiri diskusi yang diadakan Sutan Sjahrir secara sembunyi-sembunyi di daerah Matraman, Jakarta Timur. Jadi kalau di daerah Matraman kini terdapat seruas jalan bernama Slamet Rijadi, memang ada alasan historisnya.

Meskipun dari generasi yang berbeda, kedekatan hubungan antara Sutan Sjahrir, Slamet Rijadi dan Soe Hok Gie, itu menunjukkan mereka berada posisi linier, yaitu sama-sama pribadi dengan asprasi humanis. Oleh sebab itu kita akan terkaget-kaget bila menyaksikan patung Slamet Rijadi yang berdiri di ujung Jalan Slamet Rijadi, Solo. Dalam patung itu Slamet Rijadi digambarkan dalam posisi siap menembak.

Umumnya dalam membuat patung seorang tokoh, selalu ada rujukannya. Misalnya Patung Panglima Sudirman, yang selalu digambarkan memakai mantel panjang dan blangkon. Salah satu rujukannya adalah foto Panglima Sudirman saat menerima defile kehormatan di Yogyakarta, sekembalinya dari perjalanan gerilyanya  yang monumental itu. Lalu dari mana rujukan patung Slamet Rijadi dalam posisi seperti siap menembak?  

Bisa jadi itu adalah imajinasi pemrakarsa atau pihak pemesan, namun imajinasi pun tetap membutuhkan referensi, kalau tidak, interpretasinya bisa kacau. Dengan gambaran seperti itu, patung itu seolah mengintimidasi bagi warga yang melihat, khususnya warga Solo. Gambaran seperti itu hanya sesuai di masa rezim Orde Baru, dimana posisi tentara memang dimanfaatkan untuk menjaga kekuasaan. Sementara patung itu dibangun di masa reformasi, dimana yang meresmikan saja adalah Joko Widodo, saat masih menjadi Walikota Solo.

Kalau sedikit mau berkeringat, pemrakarsa monumen bisa riset sedikit bagaimana aspirasi Kopassus pasca Orde Baru. Dalam operasi sandi yudha misalnya, generasi Kopassus sekarang berpegang pada prinsip: "mengubah lawan menjadi kawan, kawan menjadi saudara”. Artinya mengoptimalkan pendekatan persuasif, bahwa senjata sama sekali tidak diperlukan, termasuk sekadar pisau komando. Singkatnya, monumen Slamet Rijadi dengan menggenggam pistol,  gagal dalam dua hal, dari estetika maupun semangat zaman.

Terakhir soal kemampuan teknis pertempuran Slamet yang sangat mumpuni. Di zaman Jepang, Slamet tidak bergabung dalam PETA, sebagaimana umumnya pemuda pada masa itu. Slamet melanjutkan pendidikan ke SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi) Cilacap. Menjadi pertanyaan kita bersama, bila Slamet tidak bergabung dalam PETA, lalu kapan dia belajar teknik militer, sehingga bisa tampil menjadi Komandan militer yang sangat disegani di masa perang kemerdekaan dan saat operasi di Ambon? Bagian ini masih menjadi misteri.

Jabatan dan Kharisma

Masa aktif Slamet Rijadi dan Idjon Djanbi memang terbilang singkat, namun meninggalkan kesan mendalam, dan namanya senantiasa abadi. Dari segi kepangkatan, keduanya tergolong biasa-biasa saja. Pangkat efektif Slamet Rijadi adalah Letkol, sementara Idjon Djanbi pensiunan mayor. Keduanya adalah figur yang luar biasa, meski pangkat relatif tidak tinggi, namun mereka punya kelebihan yang belum tentu dimiliki setiap orang, yaitu kharisma.

Adagium ini tidak hanya berlaku di lingkungan militer, namun juga bagi pejabat publik yang lain. Kita sudah cukup sering mendengar bagaimana seorang komandan atau pimpinan, hanya dipatuhi saat dia masih menjabat. Bila masa jabatannya usai, langsung pula dilupakan anak buahnya. Begitulah kalau pemimpin tanpa kharisma.

Sekadar ilustrasi bisa diajukan disini, bagaimana kontrasnya nasib yang dialami dua orang jenderal, yaitu Mayjen Purn Soehardiman (pendiri SOKSI) dan Mayjen Purn Herman Sarens Sudiro (tokoh olahraga tinju dan berkuda). Kebetulan dua orang ini sama-sama berpembawaan flamboyan, di kala masih hidup selalu menjadi sumber berita, namun ketika meninggal, sangat sedikit media yang memberitakannya.

 

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis