Dari tiga tokoh utama pendiri Korps Baret Merah (Kopassus), hanya satu orang yang cukup dikenal publik, yaitu Kolonel (Purn) AE Kawilarang. Bagaimana dengan tokoh lainnya, berikut pemaparan Aris Santoso.
Iklan
Sementara dua yang lain, yakni Brigjen (Anumerta) Ign Slamet Rijadi dan Mayor (Purn) M Idjon Djanbi, praktis kurang dikenal publik, khususnya bagi generasi sekarang. Itu bisa dipahami, karena periode dua tokoh terakhir ini memang terbilang pendek.
Slamet Rijadi gugur dalam usia masih sangat muda, pada sebuah operasi penumpasan RMS di Ambon pada akhir tahun 1950. Demikian juga dengan Idjon Djanbi, yang hanya sebentar memimpin satuan embrio Kopassus (1952-1956). Selepas itu namanya seolah ditelan zaman. Slamet Rijadi masih lebih baik, namanya diabadikan sebagai nama jalan yang membelah Kota Sola, dari mana Slamet Rijadi berasal.
Dalam bacaan saya, perjalanan Idjon Djanbi yang seolah selalu diliputi kabut misteri, merupakan refleksi karakter Kopassus itu sendiri, bahwa sebagai pasukan khusus, tidak semua aspek satuan bisa diakses publik. Dalam hal sejarah dan publikasi, Kopassus memberlakukan sistem "buka-tutup”. Bila menyangkut kurikulum pendidikan kualifikasi Komando, atau bagaimana cara satuan ini dalam beroperasi, tentu sangat ditutup rapat.
Satu hal unik terjadi antara Slamet Rijadi dan Idjon Djanbi, bahwa sejatinya dua orang ini belum pernah jumpa, terkait gagasan mewujudkan terbentuknya satuan komando. Keduanya "dipertemukan” melalui prakarsa AE Kawilarang, dan satu tokoh lagi yang juga sedikit misterius, yakni Aloysius Sugijanto, mantan ajudan Slamet Rijadi. AE Kawilarang memerintahkan Sugijanto untuk menemui Idjon Djanbi, agar bersedia membantu pembentukan satuan komando. Kawilarang sendiri bahu-membahu bersama Slamet Rijadi dalam operasi di Ambon (1950), hingga keduanya sepakat akan membentuk pasukan komando, usai operasi nanti.
Tanpa Tembakan Salvo
Sejauh ini belum ini ada naskah yang valid guna menjelaskan lokasi dan kapan Idjon Djanbi dilahirkan, ada yang menyebutkan Kanada. Kemudian soal tahun kelahiran, ada naskah yang menyebutkan 1915, namun ini terlalu "tua”, karena Idjon Djanbi pada saat terlibat dalam operasi gabungan tentara sekutu, dengan sandi Market Garden (September 1944), diperkirakan belum genap 25 tahun, dengan pangkat sersan.
Memang masih banyak data diri Idjon Djanbi yang belum jelas, hingga perlu agenda tersendiri untuk menelusurinya. Tampaknya pada awal-awal pembentukan Kopassus, ada sedikit kekacauan administrasi, sehingga data diri para pendirinya sedikit terabaikan, termasuk Idjon Djanbi sebagai Komandan pertama. Salah satu contoh, gambar dokumentasi Idjon Djanbi, dan komandan berikutnya, yakni Mayor (Purn) Djaelani, sempat luput dari arsip satuan. Sehingga dicarikan cara, pada pertengahan tahun 1960-an, Idjon Djanbi dan Djaelani diundang khusus guna sesi pemotretan, dengan mengenakan loreng "darah mengalir” dan Baret Merah (dengan badge versi baru). Karena pada saat masih dipimpin Idjon Djanbi dan Djaelani, masih menggunakan badge versi lama.
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry
8 foto1 | 8
Keterlibatannya dalam pembentukan pasukan komando di bawah TT Siliwangi (Tentara dan Teritorium, setingkat Kodam), merupakan cerita tersendiri, ibarat sebuah cerita detektif. Bagaimana Idjon Djanbi yang sudah hidup tenang sebagai petani bunga di kawasan Lembang (Bandung), bersedia kembali mengenakan seragam tentara, untuk melatih generasi pertama pasukan Komando. Idjon Djanbi sebelumnya dikenal sebagai perwira pasukan khusus Belanda (Korps Speciale Troepen, KST), yang minta pensiun dini karena konflik dengan koleganya sesama anggota KST, Kapten Raymond Westerling.
Sebagaimana sudah disebut sekilas di atas, soal peran Letnan Aloysius Sugijanto. Adalah Sugijanto yang berhasil membujuk Idjon Djanbi, agar bersedia melatih embrio pasukan Komando, sebagaimana angan-angan Kawilarang dan Slamet Rijadi. Sugiyanto nanti juga masuk dalam generasi pertama perwira Komando, yang langsung dilatih Idjon Djanbi, bersama Benny Moerdani dan Dading Kalbuadi. Sugijanto sendiri pribadi yang unik, seolah memang ditakdirkan secara alamiah sebagai intelijen.
Nama Sugijanto selalu muncul, sejak masih mendampingi Slamet Rijadi, kemudian menjadi perwira kepercayaan Kawilarang, setelah Slamet Rijadi gugur. Selanjutnya Sugijanto sempat masuk dalam tim inti operasi khusus (Opsus) di bawah Ali Moertopo, dimana dia bertemu kembali dengan teman lama sesama asal Solo dan Kopassus, yaitu Benny Moerdani. Sampai sekarang gambar diri Sugijanto praktis tidak pernah terpublikasi.
Jalan hidup Idjon Djanbi dan Sugijanto kebetulan juga mirip, sama-sama diliputi misteri. Kalau Idjon Djanbi ditambah sedikit ironi, sebagaimana kasus potret dokumentasi di atas. Selepas mundur dari dinas, nama Idjon Djanbi seolah hilang dan tak terpantau pihak elite TNI di Jakarta. Itu terlihat ketika Idjon Djanbi meninggal di Yogyakarta tahun 1977, pihak berwenang sempat alpa, hingga tak disediakan protokoler upacara pemakaman secara militer, sebagaimana anggota TNI pada umumnya. Adakah yang lebih ironis, sebagai Komandan pertama pasukan komando, Djanbi dimakamkan tanpa tembakan salvo.
Dosa Tentara di Serambi Mekah
Bertahun-tahun rakyat Aceh menanggung kebiadaban TNI selama operasi militer menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Serupa kasus 65, darah yang membalur Serambi Mekah adalah dosa yang selamanya menghantui militer Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/S. Ananda
Perintah dari Istana
Pada 19 Mei 2003, pemerintahan Megawati melancarkan operasi militer di Aceh dengan mengirimkan lebih dari 30.000 serdadu dan 12.000 polisi. Sebelumnya Gerakan Aceh Merdeka menolak status otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah. Perang yang dikobarkan Megawati berlangsung selama setahun.
Foto: Getty Images/AFP/Raka
Senjata Gelap TNI
GAM sudah berperang demi kemerdekaan Aceh sejak tahun 1976. Kegigihan gerakan separatis itu menyulut perang berkepanjangan dengan TNI. Ironisnya GAM banyak membeli senjata secara gelap dari TNI. Tahun 2000 silam Polda Metro Jaya menggerebek sebuah rumah dan menemukan bukti pembelian senjata TNI oleh GAM dengan nilai sebesar tiga miliar Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Berpaling Simpati
Perang pemberontakan Aceh 1990-1998 termasuk yang paling rentan pelanggaran HAM. Selama delapan tahun sekitar 12.000 nyawa menghilang, kebanyakan adalah warga sipil Aceh. Kebiadaban TNI selama itu diyakini justru menambah simpati rakyat Aceh terhadap gerakan separatis.
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Kejahatan Demi NKRI?
Tahun 2013 silam Komnas HAM menyelidiki lima kasus kejahatan perang selama DOM 1990-1998, yakni tempat penyiksaan Rumoh Geudong di Pidie, pembantaian massal di Bumi Flora, Aceh Timur dan Simpang KKA di Aceh Utara, serta kasus penghilangan paksa dan kuburan massal di Bener Meriah.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Intimidasi Demi Informasi
TNI berikrar akan lebih hati-hati selama operasi militer di Aceh 2003. Tapi serupa di Timor Leste, tentara dilaporkan sering mengintimidasi penduduk desa untuk mengungkap tempat persembunyian pemberontak. Human Rights Watch mencatat berbagai kasus penculikan dan penganiayaan anggota keluarga terduga gerilayawan. Desember 2003 Polri memerintahkan "menembak mati" siapapun yang "membawa bendera GAM."
Foto: Getty Images/AFP/Inoong
Pondok Kelabu
Pada 17 Mei 2003 tiga truk tentara mendatangi desa Jambo Keupok, Aceh Selatan. Di sana mereka menginterogasi penduduk desa ihwal persembunyian GAM. Hasilnya 16 penduduk tewas. Sebagian ditembak, ada yang disiksa atau bahkan dibakar hidup-hidup, tulis Komisi untuk Orang Hilang, Kontras. Insiden tersebut kemudian dikenal dengan istilah Tragedi Jambo Keupok.
Foto: Getty Images/AFP/C. Youn-Kong
Media Propaganda
Berbeda dengan DOM 1990-1998, TNI menggandeng media untuk menguasai pemberitaan ihwal perang di Aceh. Wartawan misalnya dilarang mengutip sumber dari GAM. "Saya berharap wartawan menulis dalam kerangka NKRI. Kalau saya terkesan keras, harap dimaklumi," tutur penguasa darurat militer Aceh saat itu, Mayjen Endang Suwarya.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Adu Klaim Soal Korban
Selama satu tahun antara Mei 2003 hingga 2004, sebanyak 2000 orang tewas dalam pertempuran. TNI mengklaim semuanya adalah gerilayawan GAM. Namun berbagai LSM dan termasuk Komnas HAM membantah klaim tersebut. Sebagian besar korban ternyata warga sipil biasa.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Pagar Manusia
Salah satu strategi TNI adalah membangun "pagar betis" yang terdiri dari warga sipil. Mereka diperintahkan untuk menyisir sebuah kawasan yang diduga dijadikan tempat persembunyian GAM. Dengan cara itu, TNI berharap GAM tidak akan menembak dan mau keluar dari sarangnya. Strategi serupa sering diterapkan saat Operasi Seroja di Timor Leste.
Foto: Getty Images/AFP/H. Simanjuntak
Tanpa Keadilan
Berbagai penyelidikan yang dilakukan LSM Kemanusiaan dan Komnas HAM terkait kejahatan perang di Aceh gagal membuahkan keadilan buat korban. Hingga kini sebagian rakyat Aceh masih hidup dengan trauma perang.
Foto: Getty Images/AFP/S. Ananda
10 foto1 | 10
Monumen dan Semangat Zaman
Kawilarang memiliki catatan menarik terkait gugurnya Slamet Rijadi. Kabar kematian Slamet Rijadi diterima Kawilarang berdasarkan laporan Mayor Abdullah, seorang dokter yang terus mendampingi Slamet Rijadi, sejak Slamet Rijadi tertembak di Benteng Victoria (Ambon), hingga meninggal dunia. Laporannya ditulis dalam bentuk puisi: Overste Slamet Rijadi telah mangkat//Terkabullah kehendaknya//Oleh Tuhan Yang Maha Esa//Ia ingin mati muda.
Rupanya Slamet Rijadi ingin mati muda. Ini mengingatkan kita pada tokoh mahasiswa cum pecinta alam yang sangat terkenal, Soe Hok Gie, yang juga ingin mati muda. Soe Hok Gie meninggal pada usia 27 tahun (Desember 1969), sementara Slamet Rijadi pada usia 25 tahun (November 1950). Sejarah memang acapkali menemukan tikungan unik seperti ini, yang tidak terduga sebelumnya.
Mungkin banyak yang belum tahu, ternyata keduanya sama-sama mengagumi Sutan Sjahrir. Menurut catatan yang ada, di masa Jepang, Slamet Rijadi sering menghadiri diskusi yang diadakan Sutan Sjahrir secara sembunyi-sembunyi di daerah Matraman, Jakarta Timur. Jadi kalau di daerah Matraman kini terdapat seruas jalan bernama Slamet Rijadi, memang ada alasan historisnya.
Meskipun dari generasi yang berbeda, kedekatan hubungan antara Sutan Sjahrir, Slamet Rijadi dan Soe Hok Gie, itu menunjukkan mereka berada posisi linier, yaitu sama-sama pribadi dengan asprasi humanis. Oleh sebab itu kita akan terkaget-kaget bila menyaksikan patung Slamet Rijadi yang berdiri di ujung Jalan Slamet Rijadi, Solo. Dalam patung itu Slamet Rijadi digambarkan dalam posisi siap menembak.
Umumnya dalam membuat patung seorang tokoh, selalu ada rujukannya. Misalnya Patung Panglima Sudirman, yang selalu digambarkan memakai mantel panjang dan blangkon. Salah satu rujukannya adalah foto Panglima Sudirman saat menerima defile kehormatan di Yogyakarta, sekembalinya dari perjalanan gerilyanya yang monumental itu. Lalu dari mana rujukan patung Slamet Rijadi dalam posisi seperti siap menembak?
Bisa jadi itu adalah imajinasi pemrakarsa atau pihak pemesan, namun imajinasi pun tetap membutuhkan referensi, kalau tidak, interpretasinya bisa kacau. Dengan gambaran seperti itu, patung itu seolah mengintimidasi bagi warga yang melihat, khususnya warga Solo. Gambaran seperti itu hanya sesuai di masa rezim Orde Baru, dimana posisi tentara memang dimanfaatkan untuk menjaga kekuasaan. Sementara patung itu dibangun di masa reformasi, dimana yang meresmikan saja adalah Joko Widodo, saat masih menjadi Walikota Solo.
Leopard 2A4, Tank Tempur Baru Indonesia
Indonesia baru saja mendapat kiriman delapan dari 61 tank tempur utama Leopard 2A4 yang dipesan dari Jerman. Tapi seberapa ampuh monster baja yang pernah menjadi tulang punggung Bundeswehr ini?
Foto: imago
Tank Berpendingin Ruangan
Pemerintah merogoh kocek sebesar 280 juta US Dollar buat membeli tank tempur generasi ketiga dari Jerman. Nantinya TNI akan mendapat tank bekas militer Jerman yang sudah dimodifikasi dengan menambahkan pendingin ruangan. Tank itu kini bernama Leopard 2 RI.
Foto: imago
Transfer Teknologi
Selain tank tempur utama, Indonesia juga mendapat 42 kendaraan tempur infanteri tipe Marder 1A3 yang telah dimodifikasi dan 4 tank penderek jenis Büffel ARV dan 3 tank pengangkut jembatan yang dimiliki militer Jerman. Menurut jurnal militer IHS Jane, pembelian itu juga melibatkan transfer teknologi dari Rheinmetall kepada PT. Pindad
Foto: picture-alliance/dpa/K. Nietfeld
Cuci Gudang Militer Jerman
Leopard 2A4 pernah menjadi tulang punggung militer Jerman pada masa Perang Dingin. Setelah tahun 2000, Jerman menjual semua tank tempurnya ke negara-negara sahabat, antara lain Singapura, Portugal dan Turki. Bundeswehr saat ini sudah beralih ke varian yang lebih modern, yakni tipe A6 dan A7.
Foto: picture-alliance/dpa
Monster Kota
Untuk Indonesia, TNI meminta agar Rheinmetal merombak Leopard 2 agar lebih cocok untuk dipakai di medan tempur perkotaan. Untuk itu monster darat tersebut mendapat lapisan pelindung tambahan di bagian depan dan samping, pengeras suara dan sistem kamera pengawas 360 derajat. Varian ini diberi nama Leopard 2A6 Revolution.
Foto: picture-alliance/dpa
Irit dan Lincah
Secara umum Leopard 2 ditakuti lantaran kemampuan manuvernya yang tinggi. Kendati cuma mampu melesat dengan kecepatan maksimal 70 kilometer/jam, Leopard 2 mencatat konsumsi bahan bakar separuh dari yang dibutuhkan tank utama militer Amerika Serikat, M1 Abrams.
Foto: A. Koerner/Getty Images
Minim pengalaman
Namun berbeda dengan M1 Abrams, Merkava (Israel) atau Challengger 2 (Inggris), tank milik Jerman ini masih miskin pengalaman bertempur. Tercatat Leopard 2 cuma pernah dua kali diterjunkan ke medan perang, yakni di Kosovo tahun 1999 dan Afghanistan pada 2007.
Foto: A. Koerner/Getty Images
Baja Tanpa Pelindung
Leopard 2A4 punya reputasi buruk ihwal baja pelindungnya. Dikembangkan sebagai tank tempur bermobilitas tinggi, bobot Leopard sejak awal dipangkas dengan mengorbankan lapisan baja di bagian samping dan depan. Tidak heran jika hampir semua penjualan dibarengi dengan modifikasi sistem pelindungnya.
Foto: imago
7 foto1 | 7
Kalau sedikit mau berkeringat, pemrakarsa monumen bisa riset sedikit bagaimana aspirasi Kopassus pasca Orde Baru. Dalam operasi sandi yudha misalnya, generasi Kopassus sekarang berpegang pada prinsip: "mengubah lawan menjadi kawan, kawan menjadi saudara”. Artinya mengoptimalkan pendekatan persuasif, bahwa senjata sama sekali tidak diperlukan, termasuk sekadar pisau komando. Singkatnya, monumen Slamet Rijadi dengan menggenggam pistol, gagal dalam dua hal, dari estetika maupun semangat zaman.
Terakhir soal kemampuan teknis pertempuran Slamet yang sangat mumpuni. Di zaman Jepang, Slamet tidak bergabung dalam PETA, sebagaimana umumnya pemuda pada masa itu. Slamet melanjutkan pendidikan ke SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi) Cilacap. Menjadi pertanyaan kita bersama, bila Slamet tidak bergabung dalam PETA, lalu kapan dia belajar teknik militer, sehingga bisa tampil menjadi Komandan militer yang sangat disegani di masa perang kemerdekaan dan saat operasi di Ambon? Bagian ini masih menjadi misteri.
Jabatan dan Kharisma
Masa aktif Slamet Rijadi dan Idjon Djanbi memang terbilang singkat, namun meninggalkan kesan mendalam, dan namanya senantiasa abadi. Dari segi kepangkatan, keduanya tergolong biasa-biasa saja. Pangkat efektif Slamet Rijadi adalah Letkol, sementara Idjon Djanbi pensiunan mayor. Keduanya adalah figur yang luar biasa, meski pangkat relatif tidak tinggi, namun mereka punya kelebihan yang belum tentu dimiliki setiap orang, yaitu kharisma.
Adagium ini tidak hanya berlaku di lingkungan militer, namun juga bagi pejabat publik yang lain. Kita sudah cukup sering mendengar bagaimana seorang komandan atau pimpinan, hanya dipatuhi saat dia masih menjabat. Bila masa jabatannya usai, langsung pula dilupakan anak buahnya. Begitulah kalau pemimpin tanpa kharisma.
Sekadar ilustrasi bisa diajukan disini, bagaimana kontrasnya nasib yang dialami dua orang jenderal, yaitu Mayjen Purn Soehardiman (pendiri SOKSI) dan Mayjen Purn Herman Sarens Sudiro (tokoh olahraga tinju dan berkuda). Kebetulan dua orang ini sama-sama berpembawaan flamboyan, di kala masih hidup selalu menjadi sumber berita, namun ketika meninggal, sangat sedikit media yang memberitakannya.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Ganyang Malaysia: Manuver Terakhir Sukarno
Konfrontasi dengan Malaysia menandai tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno. Berbekal dukungan Uni Sovyet dan Cina, sang pemimpin besar akhirnya memulai kampanye ganyang Malaysia yang berakhir pahit buat Indonesia.
Foto: gemeinfrei
Manuver Politik Berbuah Isolasi
"Soal pengganyangan Malaysia adalah soal nasional," teriak Sukarno saat berpidato membela politik konfrontasinya pada 1964. Setahun sebelumnya dia menentang niat Inggris membentuk negara federal Malaysia yang menggabungkan Serawak. Sebagian menulis Sukarno ingin mengalihkan publik dari kisruh politik dalam negeri. Akibat konflk Malaysia, Indonesia semakin terisolasi dari dunia internasional
Foto: picture-alliance/dpa
Krisis Diplomasi Disambut Amuk Massa
Setelah Malaysia terbentuk September 1963, Indonesia langsung memutuskan hubungan diplomatik. Beberapa hari kemudian massa merusak gedung Kedutaan Besar Inggris dan Singapura. Sebagai reaksi, pemerintah Malaysia menangkapi agen rahasia Indonesia. Ribuan penduduk juga berunjuk rasa di depan kedutaan besar Indonesia di Kuala Lumpur.
Foto: gemeinfrei
Perang Kecil demi Gagasan Besar
Sukarno pun memerintahkan RPKAD buat menyusup ke Serawak buat membina sukarelawan lokal. TNI juga mendukung upaya kudeta di Brunei Darussalam dengan mendidik 4000 milisi bersenjata. Akibatnya Inggris yang saat itu masih memiliki pangkalan tempur di Singapura mengirimkan pasukannya ke Kalimantan Utara.
Foto: gemeinfrei
Menyusup dan Takluk
TNI berulangkali menggelar operasi penyusupan dengan mengirimkan sukarelawan dan serdadu ke utara Kalimantan. Pada September 1964, militer Indonesia bahkan menerjunkan pasukan gerak cepat ke semenanjung Malaysia. Dari 96 pasukan terjun payung, 90 di antaranya berhasil ditangkap atau dibunuh oleh serdadu Malaysia dan Inggris.
Foto: gemeinfrei
Kalimantan Berdarah
Militer Inggris tidak cuma membantu pembentukan angkatan bersenjata Malaysia, melainkan juga mendidik anggota suku-suku lokal buat bertempur melawan penyusup Indonesia di utara Kalimantan. Tapi menyusul sikap keras Jakarta yang bersikukuh menyusupkan milisi bersenjata ke Malaysia, Inggris kemudian menggelar kampanye militer yang disebut Operasi Claret.
Foto: gemeinfrei
Operasi Claret
Dalam operasi tersebut Inggris dan Malaysia memindahkan garis pertahanan ke wilayah Indonesia buat menghadang penyusup. Karena kehawatir menyulut perang terbuka dengan Indonesia, Inggris melaksanakan operasi secara terbatas dan sangat rahasia. Kampanye militer ini berlangsung antara 1964 hingga 1966.
Foto: gemeinfrei
Berakhir di Era Suharto
Politik Ganyang Malaysia berakhir setelah kekuasaan Sukarno dilucuti setelah peristiwa G30SPKI. Suharto yang kemudian berkuasa tidak berniat melanjutkan kebijakan pendahulunya itu. Walhasil penguasa baru Indonesia menggelar berbagai perundingan rahasia yang berujung pada kesepakatan damai Agustus 1966. Sebanyak 590 tentara Indonesia tewas, sementara di pihak Inggris tercatat 114 serdadu.