1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lahirnya Santoso-santoso Baru

M.Guntur Romli8 Agustus 2016

Terbunuhnya Santoso(Abu Wardah)—burun nomer wahid kasus terorisme—tak otomatis memupus ancaman terorisme. Benar terorisme diperangi di Indonesia,namun lahan suburnya: radikalisme tak disikapi serius.Opini M. Guntur Romli

Foto: Colourbox/krbfss

Selama radikalisme tumbuh subur, maka terorisme akan cepat berkembang-biak dengan cepat. Saya ibaratkan terorisme di Indonesia memiliki ajian “rawa rontek” yang memberikan hidup abadi. Konon, ajian yang disebut dengan “pancasona” ini selama tubuh masih menyentuh tanah/bumi, meski tubuh itu sudah terpenggal, akan menyambung dan hidup lagi. Demikian pula dengan terorisme.

Selama radikalisme dibiarkan, malah acap kali masuk dalam kanal politik praktis dan digunakan rezim kekuasaan sebagai pemukul lawan politik—terorisme tidak akan pernah mati. Benar Santoso Abu Wardah telah mati, tapi “jiwa teror” Santoso akan merasuki tubuh-tubuh lain dalam ranah radikalisme yang akhirnya menjelma Santoso-Santoso baru.

Terorisme tidak pernah mati di Idonesia terbukti dengan lahirnya beberapa lintas generasi. Tito Karnavian saat menjadi Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah menyebut “gelombang kedua” terorisme dengan munculnya aksi-aksi terror terkait ISIS di Indonesia pasca bom di Sarinah Januari 2016.

Santoso Abu Wardah yang kini mati ditembak polisi pun terkait jaringan ISIS di Indonesia. Sedangkan terorisme “gelombang pertama” terkait dengan Al-Qaida pertama kali muncul pada tahun tahun 1999, yang dilanjutkan Bom Bali pertama dan kedua, bom Kuningan dan lain-lainnya sampai mereda pada tahun 2009 saat Densus 88 berhasil menembak mati dr Azahari di Batu, Jawa Timur.

Namun hemat saya, membagi terorisme di Indonesia hanya dua gelombang merupakan pandangan yang ahistoris, karena terorisme baik yang disebut gelombang pertama dan gelombang kedua tidak lain merupakan metamorfosis dari jaringan terorisme sebelumnya.

Dimulai dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kartosuwiryo yang merupakan cikal-bakal kelompok teroris di Indonesia. DI/TII adalah kelompok teror lokal yang kemudian mengglobal setelah menerima sentuhan dari ideologi teror dari luar Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, kader-kader DI/TII ini mendapatkan indoktrinasi dari ideologi Jamaah Islamiyah (JI), Tandzimul Jihad dan Jamaah Takfir wal Hijrah yang tumbuh dan membesar di Mesir yang berhasil mengeksekusi Presiden Mesir Anwar Sadar tahun 1981.

Perburuan Santoso yang melelahkan aparatFoto: Imago/ZUMA Press

Mulai dari DI/TII hingga ISIS

Masuknya ideologi teror ini ke Indonesia, mengubah tokoh-tokoh dan kader-kader DI/TII menjadi sosok teroris yang memiliki ideologi, visi dan cita-cita yang baru, yang sasarannya tidak hanya “musuh dekat” (al-‘aduww al-qarib)—seperti rejim pemerintahan yang disebut thagut (kafir, tiran) di negaranya juga mengidentifikasi dan menyasar “musuh jauh” (al-‘aduww al-ba'id) yang berada di luar teritori negaranya.

Apabila kita menurut kronologi terorisme di Indonesia, maka, ISIS merupakan “gelombang keempat” dengan perincian: gelombang pertama adalah DI/TII, gelombang kedua: Jamaah Islamiyah (JI), gelombang ketiga: Al-Qaida dan gelombang keempat: ISIS. Adapun tokoh-tokoh teror yang saat ini terkait dengan ISIS baik yang diburu oleh Densus 88 atau yang sudah masuk penjara, seperti Abu Bakar Baasyir dan Aman Abdurrahman merupakan metamorfosis dari kelompok-kelompok teror sebelumnya.

Foto: Privat

Jaringan terorisme lokal mengikuti perkembangan induk organisasi teror global, apabila satu kelompok dilihat lebih kuat baik dari sisi militer dan dana, maka, kelompok-kelompok teror lokal akan menyatakan sumpah setia (baiat) pada mereka. Meredupnya Al-Qaida pasca terbunuhnya Osama bin Laden, dan munculnya ISIS (Islamic State in Iraq and Sham) yang kemudian mendeklarasikan Khilafah Islam dan Negara Islam (Islamic State) secara global menarik simpati, dukungan dan sumpah setia dari kelompok-kelompok teror lokal di banyak negara. Misalnya dari Boko Haram di Nigeria, Abu Sayyaf di Mindanao Filipina dan jaringan JI-Al-Qaida di Indonesia yang sudah menyatakan sumpah setia pada ISIS.

Mengapa tak kehabisan anggota?

Oleh karena itu, jaringan terorisme global hanya melakukan rebranding , menyuplai dana hingga rekrutmen terhadap kelompok teror lokal. Namun masalah sebenarnya tetap dalam konteks lokal itu sendiri.

Mengapa kelompok teror lokal tidak pernah kehabisan amunisi dalam bentuk manusia? Karena radikalisme yang merupakan tempat persemaian dan tumbuhnya terorisme tidak pernah disikap secara serius. Ormas radikal, wacana radikal, hingga hate speech di Indonensia baik dalam bentuk website, pengajian, media sosial dan lain-lainnya sangat mudah tersebar. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang menyasar kelompok-kelompok minoritas keagamaan dibiarkan, bahkan didukung untuk memperoleh dukungan politik dari kelompok sentimen berbasis agama.

Kita masih menyaksikan Front Pembela Islam (FPI) yang identik dengan aksi-aksi kekerasan masih "dipakai" dalam politik di Indonesia. Demikian pula Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menyebut demokrasi, UUD 45 dan Pancasilan sebagai sistem kufur dan thagut masih bebas melakukan kaderisasi dan menyebarkan ideologi radikalnya. Padahal kita tahu, Bahrun Naim yang kini masuk list orang Indonesia yang gabung ISIS sebelumnya aktif dalam Hizbut Tahrir. Pelaku-pelaku teror di Indonesia baik yang melakukan bom bunuh diri sebelumnya menerima pelatihan dan pengaderan dari kelompok dan ormas radikal sebelum mereka ditahbiskan sebagai pelaku teror.

Kelompok dan ormas radikal adalah 'kawah candradimuka' untuk jaringan dan kelompok teror. Dari amatan kronologi generasi terorisme Indonesia yang sudah empat generasi ini, dapat diambil kesimpulan: jaringan dan pelaku teror di Indonesia tidak pernah kehilangan kader dan simpatisan. Bahkan, beberapa tokoh parpol politik (yang berbasis Politisasi Islam) dan tokoh-tokoh publik ikut menyerang Densus 88 sehingga terbentuk opini jaringan terorisme adalah konspirasi belaka dan muncul simpati pada pelaku teror dan keluarganya.

Mati satu, tumbuh seribu

Tidak adanya politik kebangsaan dan minimnya kebijakan pemerintah yang mempunyai visi dan misi yang tegas yang memerangi radikalisme hanya akan mengabadikan lingkaran kekerasan akibat terorisme ini: “mati satu, tumbuh seribu”. Densus 88 memburu teroris, setelah mereka berhasil membunuhnya, namun tubuh itu dibiarkan jatuh pada bumi radikalisme, yang memberikan kehidupan kembali pada jaringan terorisme itu. Tindakan ini merupakan kesia-siaan belaka. Ada yang mengibaratkan: dalam memerangi terorisme pemerintah hanya memotong batang bambu, tapi tidak pernah bisa mencabut akarnya, karena membutuhkan kemauan dan pekerjaan yang lebih sulit dan menguras tenaga. Batang pohon bambu boleh rubuh, namun selanjutnya mudah tumbuh dan bahkan memunculkan tunas-tunas baru.

Demikianlah kisah peperangan terhadap terorisme di Indonesia yang tidak pernah mengurangi ancaman, karena terorisme di Indonesia seperti memiliki ajian “rawa rontek”, satu tubuh berhasil dirubuhkan Densus 88, tapi karena tanah/bumi radikalisme di Indonesia tidak pernah disiangi dari benih-benih teror, maka, terorisme akan terus mengancam. Imam Samudra, Amrozi, dr Azhari, Santoso dan lain-lainnya hanya nama, sosok-sosok lain akan terus menggantikannya.

Penulis:

Mohamad Guntur Romli, Kurator Diskusi di Komunitas Salihara

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.