1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Laksmi Pamuntjak

Komite Nasional Indonesia5 Oktober 2015

Ada fase dalam sejarah Indonesia, di mana warna ‘merah’ identik dengan komunis, dianggap sesat dan harus diberantas. Laksmi Pamuntjak lahir tahun 1971, saat stigma komunisme masih kuat.

Foto: National Committee Indonesia (Pulau Imaji)

“Ketika itu apa saja yang berkaitan dengan komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap tabu. Di sekolah, kami dicekoki versi resmi pemerintah Suharto bahwa PKI-lah yang bertanggung jawab atas peristiwa 30 September 1965,” tutur Laksmi.

Laksmi Pamuntjak

03:14

This browser does not support the video element.

Peristiwa yang dimaksud adalah penculikan dan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat serta satu perwira yang selanjutnya memicu pembunuhan masal terhadap sekitar satu juta manusia yang diduga komunis yang tidak hanya dilakukan militer namun juga warga sipil, menjadikannya tragedi pembantaian terhadap kaum komunis terbesar di abad ke 20.

Tak berhenti sampai di situ, cap komunisme juga melekat kepada anggota keluarga dan anak keturunan korban. Laksmi memang tidak punya pengalaman langsung dengan 1965. Tapi ia punya sejumlah teman yang anggota keluarganya bertahun-tahun kena imbas stigma komunisme hingga menghambat hidup mereka, mulai dari dicemooh lingkungan hingga sulit bersekolah dan mendapat pekerjaan.

Novel "Amba" dalam bahasa JermanFoto: DW/H. Pasuhuk

Tahun 2009 sebuah survey yang dimuat di salah satu media menyebutkan lebih dari separuh responden yang berasal dari kalangan mahasiswa Jakarta mengaku tidak tahu-menahu tentang 1965. Hal ini yang menjadi salah satu alasan Laksmi menerbitkan novel Amba yang berlatar 1965. Novel pertamanya ini terbit pada 2012, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Question of Red.

Dalam video wawancara ini, Laksmi berbicara tentang Amba dan mengapa ia menggunakan mitologi Mahabharata di dalam novel ini.