Ada fase dalam sejarah Indonesia, di mana warna ‘merah’ identik dengan komunis, dianggap sesat dan harus diberantas. Laksmi Pamuntjak lahir tahun 1971, saat stigma komunisme masih kuat.
Iklan
“Ketika itu apa saja yang berkaitan dengan komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap tabu. Di sekolah, kami dicekoki versi resmi pemerintah Suharto bahwa PKI-lah yang bertanggung jawab atas peristiwa 30 September 1965,” tutur Laksmi.
Laksmi Pamuntjak
03:14
Peristiwa yang dimaksud adalah penculikan dan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat serta satu perwira yang selanjutnya memicu pembunuhan masal terhadap sekitar satu juta manusia yang diduga komunis yang tidak hanya dilakukan militer namun juga warga sipil, menjadikannya tragedi pembantaian terhadap kaum komunis terbesar di abad ke 20.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
7 foto1 | 7
Tak berhenti sampai di situ, cap komunisme juga melekat kepada anggota keluarga dan anak keturunan korban. Laksmi memang tidak punya pengalaman langsung dengan 1965. Tapi ia punya sejumlah teman yang anggota keluarganya bertahun-tahun kena imbas stigma komunisme hingga menghambat hidup mereka, mulai dari dicemooh lingkungan hingga sulit bersekolah dan mendapat pekerjaan.
Tahun 2009 sebuah survey yang dimuat di salah satu media menyebutkan lebih dari separuh responden yang berasal dari kalangan mahasiswa Jakarta mengaku tidak tahu-menahu tentang 1965. Hal ini yang menjadi salah satu alasan Laksmi menerbitkan novel Amba yang berlatar 1965. Novel pertamanya ini terbit pada 2012, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Question of Red.
Dalam video wawancara ini, Laksmi berbicara tentang Amba dan mengapa ia menggunakan mitologi Mahabharata di dalam novel ini.
Kesempatan Emas bagi Sastra Indonesia
Tahun 2015, menjadi terobosan baru dalam karya sastra Indonesia. Indonesia akan menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurter Buchmesse, ajang pameran buku bergengsi di dunia, yang diselenggarakan tiap tahun di Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Acara Serah Terima
Serah terima Guest of Honour dari Finlandia kepada Indonesia Minggu, 12 Oktober 2014 di Pameran Buku Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tarian Memukau
Penampilan musik dan tari Ayu Laksmi, Endah Laras dan Ariani, Minggu 12 Oktober 2014.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tongkat Guest of Honour
Inilah tongkat Tamu Kehormatan yang diserahkan kepada Indonesia untuk 2015.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Dewi Dee Lestari
Dewi Dee Lestari bertukar pengalaman dengan penulis Finlandia Kjell Westo dalam acara serah terima.
Foto: Frankfurter Buchmesse/P. Hirth
Tamu Kehormatan
Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di Frankfurter Buchmesse atau Frankfurt Book Fair pada tahun 2015 nanti. Dalam pameran buku akbar tahun ini dimana Finlandia menjadi tamu kehormatan, Indonesia mulai unjuk diri.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
17.000 Islands of Imagination
Indonesia mengemas keikutsertaan di FBF dalam tema "17.000 Islands of Imagination". Pulau dalam hal ini adalah semacam suatu imajinasi, kreativitas yang tidak terbatas yang lahir dan berkembang di 17.000 pulau di tanah air.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Memperkenalkan Indonesia
Dalam pameran buku tahun ini pihak penyelenggara memperkenalkan peran serta Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Hadir dalam konferensi pers, Direktur Frankfurt Book Fair Juergen Boos, Wakil Menteri Kebudayaan Indonesia, Wiendu Nuryanti, Goenawan Mohamad, penulis senior yang menjadi panitia delegasi Indonesia, dan Husni Syawie dari IKAPI.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Banyak Peminat
Konferensi pers yang memperkenalkan Indoensia sebagai tamu kehormatan diserbu pengunjung. Menjadi tamu kehormatan sangat menguntungkan, karena mendapat kesempatan dalam menonjolkan Indonesia pada dunia. Bahkan, selama setahun sebelum penyelenggaraan, negara yang menjadi tamu kehormatan akan diperkenalkan ke publik dalam berbagai liputan media di Jerman.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Ajang Penting
Pameran buku internasional di Frankfurt merupakan ajang yang sangat efektif dalam mengenalkan para penulis Indonesia yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Mencari Penerjemah
Bukan perkara mudah untuk mencari penerjemah buku Indonesia ke dalam bahasa Jerman. Direktur Frankfurter Buchmesse Jürgen Boos mengatakan: "Ini merupakan tantangan besar, untuk mencari penerjemah sastra ke bahasa Jerman.“
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Terobosan Indonesia
Pada pertengahan tahun 1970-an, fokus pameran lebih bersifat tematik. Namun sejak tahun 1980-an, tiap tahun dipilih tamu kehormatan dari berbagai negara dalam pameran akbar itu. Setelah Indonesia menjadi tamu kehormatan tahun 2015, Belanda akan menyusul sebagai tamu kehormatan 2016.