1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Yang Perlu Dilakukan Indonesia guna Redam Dampak Resesi

Betty Herlina
23 Agustus 2022

Dari insentif untuk tingkatkan produksi pangan, hingga usulan menunda proyek IKN. Pemerintah dinilai perlu mengambil langkah untuk meredam dampak resesi.

Ilustrasi mata uang rupiah
Ilustrasi mata uang rupiahFoto: Reuters

Resesi ekonomi global mengancam dunia. Dikutip dari Detik.com (14/07), Presiden Bank Dunia David Malpass sudah memberikan peringatan. Sementara di Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers di Nusa Dua Bali pada pertengahan Juli mengakui Indonesia masih dibayangi ancaman resesi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan resesi yang sudah terjadi di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, akan berdampak kepada Indonesia. Memasuki semester kedua hingga akhir tahun, tekanan resesi akan semakin besar dirasakan.

Namun menurut Bhima, Indonesia saat ini masih diuntungkan dengan harga komoditas yang tinggi, tapi ini diprediksi tidak akan berlangsung lama. "Negara-negara maju yang selama ini membeli komoditas dari Indonesia tentunya dengan resesi akan menurunkan harga beli. Jadi harga yang tinggi saat ini sifatnya hanya temporer," kata Bhima kepada DW Indonesia.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menyampaikan hal serupa. Menurutnya saat ini Indonesia masih relatif aman karena pemerintah masih menahan kenaikan harga melalui subsidi, seperti pemberian subsidi BBM dan LPG.

"Tidak serta-merta naik ketika terjadi inflasi. Sementara di beberapa negara maju, ketika terjadi inflasi harga langsung naik, konsumen langsung merasakan. Pemerintah menahan inflasi dengan ratusan triliun subsidi. Namun ini tidak akan berlangsung lama, mungkin hanya setahun ke depan," terangnya.

Jaga nilai tukar rupiah, subsidi, tunda IKN

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengerem laju inflasi di Indonesia. Salah satunya dengan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. "Devisa yang didapatkan dari ekspor harus segera dikonversikan ke rupiah. Dari dolar jadikan rupiah, ini bisa memperkuat nilai tukar rupiah," ujar Bhima.

Ia juga menilai pemerintah harus mulai berhemat dengan menunda pelaksanaan mega proyek infrastruktur dan mengalihkan dana yang ada untuk subsidi. Pemberian subsidi dapat menahan inflasi dan meningkatkan daya beli masyarakat.

"Pemerintah harus mendorong agar APBN bisa lebih pro stabilitas harga. Subdisi energi ditambah, anggaran untuk pupuk ditambah, stimulus pandemi bisa tetap dilanjutkan. Mau tidak mau proyek Ibu Kota Negara (IKN) harus mengalah dulu agar negara bisa berhemat," paparnya.

Pentingnya menjaga stabilitas rupiah juga disampaikan Eko karena merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika akan meningkatkan biaya impor. 

"Kenaikan harga tidak bisa dihindari ketika ada ketergantuan barang modal dan bahan baku impor, hal ini akan memengaruhi struktur biaya pada sektor riil," ujarnya. Eko juga menambahkan bahwa pembangunan IKN bukanlah kebutuhan mendesak dan bisa ditunda.

"Tujuannya untuk mengoptimalkan peran APBN sebagai shock absorber di tengah dinamika global. Refocusing dan tingkatkan kualitas belanja APBN," katanya.

Insentif untuk tingkatkan produksi pangan

Eko juga menilai bahwa pemerintah perlu meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri. Caranya melalui pemberian insentif petani untuk meningkatkan kualitas hasil pangan serta menjalin kemitraan atau integrasi dengan industri di sisi hilir. Perlu juga meningkatkan pendampingan dan pemberdayaan petani pada pertanian presisi, digitalisasi rantai nilai pangan, serta penggunaan teknologi hasil pertanian.

"Termasuk membelokan pasar ke dalam negeri dengan memprioritaskan UMKM. Ini bisa diinisiasi oleh pemerintah dengan kebijakan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah melalui komponen belanja barang dalam APBN. Selain itu, pengadaan barang untuk BUMN juga dapat diarahkan untuk mengoptimalkan penggunaan barang dengan local content yang cukup tinggi," katanya.

Waspadai gagal bayar

Bhima mengatakan invasi Rusia terhadap Ukraina akan menjadi pemicu 50% resesi global. Kondisi ini diperparah dengan gelombang cuaca panas yang menimpa negara-negara di Asia Selatan sehingga berdampak pada pasokan pangan.

Saat ini ada dua negara di ASEAN, yakni Myanmar dan Laos, yang berada diambang resesi. Pemerintah dinilai mesti waspada karena saat ini hubungan dagang Indonesia dengan dua negara tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan Sri Lanka.

"Ketika Myanmar gagal membayar utang, ini akan berdampak pada Indonesia. Salah satunya persepsi investor global terhadap Indonesia yang sama-sama negara berkembang. Harga pangan di Indonesia mahal, dan daya beli masyarakat turun," menurut Bhima.

Bagaimana dengan ranah rumah tangga?

Bhima Yudhistira memperkirakan resesi global saat ini akan menjadi resesi jangka panjang. Karena itu masyarakat diharapkan mulai mengendalikan gaya hidup dengan banyak hemat. Masyarakat juga sangat dianjurkan untuk memiliki dana darurat atau dana cadangan minimal 10% dari pendapatan serta mulai mencari sumber pendapatan sampingan.

"Kurangi membeli makanan impor, namanya long resesi bisa 2-3 tahun ke depan. Amerika Serikat sendiri belum dapat memastikan kapan kondisinya bisa membaik, karena tanpa konflik Rusia dan Ukraina, Amerika sendiri sudah memiliki masalah penyediaan pasokan dalam negeri. Kondisi memang sedang sulit," ujar Bhima. (ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait