1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Lansia Rohingya di Pengungsian Rentan Terinfeksi Corona

7 April 2020

Minimnya informasi dan buruknya kondisi kamp pengungsi membuat kaum lanjut usia Rohingya rentan terpapar COVID-19. Kamp pengungsi tidak miliki fasilitas medis memadai. 

Kerumunan pengungsi Rohingya di kamp Cox’s Bazar
Pengungsi Rohingya di kamp Cox's BazarFoto: picture-alliance/AP Photo/D. Yasin

Pengungsi Rohingya yang tergolong manula di kamp-kamp yang penuh sesak di Bangladesh, seolah terlupakan dalam krisis wabah corona ini. Konsekuensinya bisa sangat berbahaya, mengingat risiko tinggi yang dihadapi orang lanjut usia akibat pandemi ini, demikian ungkap organisasi hak asasi manusia Amnesty International, Senin (06/04), dalam sebuah penyataan. 

Pihak berwenang di Bangladesh, PBB, beserta organisasi kemanusiaan lainnya, menyatakan telah berupaya mengurangi risiko penyebaran COVID-19 di kamp-kamp di luarCox's Bazar. Langkah ini termasuk meningkatkan bantuan terkait COVID-19, menghentikan berlangsungnya pertemuan-pertemuan dan serangkaian tindak pencegahan lain. Tetapi diakui informasi dasar dan akurat terkait penyakit dan langkah untuk mencegah penyebarannya gagal menjangkau banyak orang di kamp-kamp, dan terutama orang-orang lanjut usia. 

Kebanyakan para manula hanya menerima sedikit informasi tentang COVID-19. Memang, ada beberapa pertemuan untuk menyebarkan informasi di kamp-kamp, tetapi banyak orang lansia yang tidak diberitahu. Mereka yang tahu pun banyak yang tidak bisa datang karena kondisi fisik yang terbatas dan medan yang menyulitkan mereka untuk mendatangi tempat penyuluhan yang harus menaiki bukit. 

“Saya sangat takut, jika virus datang ke kamp, tidak ada yang akan selamat karena di sini banyak orang tinggal berdesakan,” ujar Hotiza, seorang perempuan berusia sekitar 85 tahun. 

Akses informasi untuk semua penguni kamp pengungsi telah dibatasi sejak otoritas Bangladesh memutus akses telekomunikasi dan internet pada September 2019. Banyak organisasi kemanusiaan meminta agar pembatasan ini segera dicabut. Namun, bahkan jika akses informasi telah pulih, butuh upaya khusus untuk melindungi dan memberikan informasi yang benar kepada para manula yang tinggal di kamp pengungsian. 

Keterbatasan fisik manula jadi kendala 

Selama ini, beredar asumsi bahwa para manula akan memperoleh informasi terkait wabah dan pencegahannya lewat keluarga mereka. Akan tetapi asumsi ini tidak selamanya benar. 

Pihak berwenang Bangladesh telah merancang cara kreatif untuk menyebarluaskan informasi, seperti menggunakan megafon di atas tuktuk dan menyampaikan arahan terkait wabah corona ke kamp-kamp dalam bahasa Rohingya. Tetapi sayangnya, para warga lansia mengatakan bahwa mereka sering kali tidak bisa mendengar arahan itu dengan baik. 

Sayeda yang berusia 80-an mengatakan: “Saya tidak tahu apa-apa tentang virus itu, hanya mendengar orang mengatakan sesuatu tentang virus lewat megaphone, tetapi pendengaran saya kurang baik, karena itu saya tidak tahu apa-apa ... Saya berpikir, mereka itu bicara apa ya lewat megaphone.” 

Sementara warga lansia lain bahkan tidak tahu apa-apa tentang virus ini. “Saya tidak mendengar hal-hal baru, hanya orang mengatakan, “Penyakit telah datang, berdoalah,’” kata Abdu Salaam, 70, yang mengatakan ia memiliki cacat fisik yang membuatnya tidak dapat berjalan dengan baik. Dia juga tidak memiliki akses ke perawatan yang memadai untuk mengatasi masalah kesehatan signifikan lain yang ia derita. 

Badan Pengungsi PBB, UNHCR, mengindikasikan ada lebih dari 31.500 orang pengungsi berusia 60 tahun atau lebih yang tinggal di kamp-kamp di Bangladesh. 

Kekhawatiran mulai melanda 

Di Kamp Kutapalong, hampir tidak ada masker yang tersedia, cairan pembersih tangan pun langka. Lupakan menjaga jarak jika tiap gubuk pengungsian hanya berukuran 10 meter persegi dan diisi 12 orang. “Anda dapat mendengar tetangga bernapas,” ujar salah seorang pekerja sukarelawan. 

“Nyaris mustahil menerapkan jarak sosial di kamp-kamp itu”, kata pimpinan Dokter Lintas Batas di Bangladesh, Paul Brockman. 

“Skala tantangannya sangat besar. Populasi yang rentan seperti Rohingya kemungkinan akan terpengaruh secara tidak proporsional oleh COVID-19,” ujar Brockman. Bangladesh hanya melaporkan sedikit kematian akibat virus corona tetapi masyarakat dan para ahli khawatir sebenarnya ada kasus lebih banyak lagi. 

Kekhawatiran juga meningkat sejak sebuah keluarga Rohingya yang terdiri dari empat orang kembali dari India dikarantina di pusat transit PBB untuk dites COVID-19. Seorang perempuan Bangladesh di kamp Cox's Bazar yang dites positif mengidap virus corona jenis baru juga telah menambah ketegangan. 

“Kami sangat khawatir. Jika virus sampai di sini, akan menyambar seperti kebakaran,” kata pemimpin komunitas Rohingya, Mohammad Jubayer. 

Perpaduan kondisi yang menghancurkan 

Dengan tidak adanya informasi medis yang memadai, banyak pula para keluarga Rohingya menghabiskan uang untuk membeli obat yang tidak terbukti dapat “menyelamatkan” mereka dari virus. 

Matt Wells, Wakil Direktur Respon Krisis - Masalah Tematik di Amnesty International, mengatakan bahwa bahkan pada saat-saat terbaiknya, organisasi kemanusiaan masih harus berjuang, atau jika tidak, gagal memenuhi kebutuhan khusus bagi para orang tua di kamp pengungsian.  

“Mengulangi kesalahan yang sama di tengah pandemi COVID-19 akan menempatkan para lansia dalam bahaya, beberapa dari mereka bahkan tidak menerima informasi paling mendasar tentang apa yang tengah terjadi dan bagaimana mereka bisa tetap aman,” ujar Wells. 

Lebih lanjut Matt Wells mengatakan bahwa para lansia yang berada di tempat pengungsian menghadapi kombinasi yang menghancurkan. Pertama adalah karena “mereka termasuk dalam kelompok yang paling berisiko menderita COVID-19.” Kedua, para lansia juga sering termasuk dalam kelompok yang paling kurang mendapatkan perhatian dalam bantuan-bantuan kemanusiaan.  

“Keadaan bahwa mereka seolah tidak terlihat harus diakhiri sekarang. Pemerintah, donor, dan organisasi kemanusiaan harus menempatkan para manula di pusat perencanaan, untuk meminimalkan konsekuensi mematikan dari pandemi global ini,” kata Matt Wells. 

ae/as (Amnesty International, AFP) 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait