Indeks global untuk pemilihan umum yang bebas dan adil, pada tahun 2023 mengalami rekor penurunan terbesar sepanjang sejarah. Sementara sengketa hasil pemilihan umum menjadi fenomena global.
Iklan
Jumlah pemilih yang terus menyusut secara global serta hasil pemilu yang kian diperdebatkan, menimbulkan risiko terhadap kredibilitas demokrasi, menurut sebuah laporan pada Selasa (17/9).
Laporan yang diterbitkan oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) ini menyebutkan, partisipasi pemilih global antara tahun 2008 dan 2023 persentasenya turun sebanyak 10 poin, dari 65,2 menjadi 55,5.
Apa isi laporan tersebut?
Laporan tahunan, yang telah mengukur kinerja demokrasi di 158 negara sejak tahun 1975 mengungkapkan, 47% negara mengalami penurunan dalam indikator-indikator penting selama lima tahun terakhir, yang menjadikannya tahun kedelapan penurunan demokrasi global secara berturut-turut.
Lembaga pengawas internasional ini menemukan, antara pertengahan 2020 hingga pertengahan 2024, satu dari lima pemilihan umum digugat secara hukum.
Pemungutan suara dan penghitungan suara muncul sebagai aspek yang paling banyak digugat dalam proses pemilu selama periode tersebut, tambahnya.
Untuk indeks Global State of Democracy, IDEA mengkategorikan kinerja dengan menggunakan empat kategori utama: representasi, hak-hak, supremasi hukum, dan partisipasi.
Kelompok ini menyebutkan lebih lanjut, kategori yang terkait dengan pemilihan umum yang bebas dan adil dan pengawasan parlemen - yang berada di bawah representasi - mencatat tahun terburuknya pada tahun 2023.
Beginilah Para Kartunis Dunia Mencermati Pemilu AS
Amerika telah memilih, dan Joe Biden diproyeksikan meraih suara terbanyak. Pesta demokrasi di negara Paman Sam ini digambarkan oleh para kartunis dunia.
Selamat pagi, Amerika
Akhirnya, ada pemenang? Paman Sam dan Lady Liberty hampir tidak bisa percaya. Selama berhari-hari warga Amerika - dan seluruh dunia - gelisah menunggu siapa yang akan menjadi penghuni Gedung Putih. Hasil pemungutan suara telah diumumkan, pemenang sudah terpilih. Namun, apakah penantian panjang itu sudah berakhir? Apa sudah aman untuk bisa keluar ke jalan? Paman Sam tidak begitu yakin.
Pertarungan ketat, virus corona terlupakan
"Biden memimpin" di Georgia, "Trump unggul" di Carolina Utara. Hasil penghitungan sementara dari hari ke hari terus berubah. Donald Trump yang marah mengamuk karena merasa "dicurangi". Sementara Joe Biden tetap tenang dan menyampaikan bahwa dia ingin memulihkan bangsa Amerika yang terpecah. Ketatnya pertarungan kedua pihak telah mengalihkan perhatian dunia dari pihak ketiga: virus corona.
Foto: 2020 Rabe/toonpool.com
Sang Dalang
Pada malam pemilihan, jauh sebelum penghitungan suara selesai, Trump menyatakan dirinya sebagai pemenang. Presiden juga tanpa henti meradang bahwa "mereka" mencoba mencuri pemilu. Jika kalah, ia bersumpah akan mengerahkan pasukan pengacara.
Menang, bagaimanapun caranya
Yang dimaksud dengan "mereka" oleh Trump adalah para pemilih Demokrat yang mengirimkan surat suara mereka lewat pos. Trump menganggap suara mereka ilegal. "Jika suara sah dihitung," kata presiden yang masih menjabat, "saya akan menang dengan mudah." Dan jika nyaris gagal, kartunis Brasil, Amorim, menunjukkan bagaimana seseorang dapat memaksakan kemenangan ala Trump.
Jalan Trump dihadang Lady Liberty
Bukan waktu yang mudah bagi Lady Liberty. Sementara itu, pengacara Trump mengajukan gugatan di negara bagian di mana dia kalah tipis, menyebut hasil pemilu sebagai "berita palsu." Presiden yang masih menjabat ini juga telah mengumumkan bahwa dia akan membawanya ke Mahkamah Agung. Dia merasa ditinggalkan oleh para tokoh Partai Republik karena mereka tidak mendukung teori konspirasinya.
Setidaknya masih ada Proud Boys
Jika anggota partai tidak bisa diandalkan, setidaknya masih ada pendukung setia. Trump mengatakan kepada mereka bahwa pemungutan suara melalui pos “tidak aman”, memicu ratusan orang protes di TPS, menuntut untuk "menghentikan penghitungan dan berhenti mencuri pemilihan." Beberapa bahkan mencoba menggunakan kekerasan. Bagi Trump, aksi kekacauan itu adalah tanda "cinta dan kasih sayang".
Dari Afghanistan dengan cinta
Taktik Trump mengingatkan kartunis Shahid Atiq tentang kondisi di negara asalnya Afghanistan, di mana hanyalah penguasa yang bisa bersuara tetapi rakyat hampir tidak memiliki ruang untuk bernapas. Patung Liberty terbaring dengan leher ditekan lutut, persis seperti George Floyd, yang tewas akibat tindakan seorang polisi. Citra AS sebagai salah satu negara demokrasi tertua di dunia ternoda.
Mati secara politik - kali ini untuk selamanya
Trump dapat meneriakkan "kemenangannya" sebanyak yang dia suka, tetapi tidak ada yang akan percaya lagi, dan malaikat maut politik akan datang untuk membawanya pergi. Melihat gambar kartun karya Arcadio Esquivel dari Costa Rica ini, orang mungkin merasa kasihan pada presiden yang harus pergi, yang terlihat lebih seperti anak kecil yang sangat kecewa.
Risleting macet
Amerika terbelah dua. Negara ini sangat terpolarisasi, dan politik bahkan telah memecah-belah keluarga. Apakah Joe Biden akan bisa memulihkan persatuan Amerika adalah pertanyaan yang diajukan tidak hanya oleh kartunis Mirco Tomicek. Pertanyaan ini tercetus utamanya karena Trump seolah tidak berkomitmen untuk transisi kekuasaan yang damai.
Panglima hingga akhir
Seorang kapten tidak pernah meninggalkan kapalnya. Dan tampaknya tidak ada harapan Donald Trump akan mengosongkan Gedung Putih tanpa perlawanan. Ia diperkirakan akan mempertahankan kantornya melawan Demokrat, yang menurutnya mencuri pemilu. Kepresidenan Trump berlangsung hingga 20 Januari. Tetapi pada titik tertentu, itu sudah berakhir.
Sakitnya perpisahan
Era Trump mungkin akan segera menjadi sejarah, tetapi ada sesuatu yang tersisa. Kartunis Pierre menunjukkan apa yang mungkin ditinggalkan mantan presiden di Gedung Putih. Tampak para turis yang mengunjungi Gedung Putih mengabadikan goresan kuku dilantai, sepertinya seseorang merasa berat untuk mengucapkan selamat tinggal. (yf/ae)
11 foto1 | 11
Upaya pembunuhan Trump menunjukkan ancaman terus berlanjut
Kinerja demokrasi di Amerika Serikat - yang akan menggelar pemilihan presiden tahun ini - menunjukkan beberapa pemulihan dalam dua tahun terakhir, kata IDEA.
Indikator-indikator seperti pemilihan umum yang kredibel, kebebasan sipil dan kesetaraan politik menurun di AS sejak tahun 2015, menurut laporan tersebut.
"Kurang dari separuh (47%) orang Amerika mengatakan, pemilu tahun 2020 'bebas dan adil' dan negara ini masih sangat terpolarisasi,” kata laporan itu.
Iklan
Pemilu tetap menjadi 'acuan'
IDEA menekankan, meskipun ada banyak ancaman terhadap pemilu dan penurunan di banyak negara, pemilu tetap mempertahankan hakikatnya sebagai mekanisme untuk memastikan kontrol rakyat atas pembuat keputusan dan pengambilan keputusan.
Laporan itu menambahkan, pemilu dengan demikian "tetap menjadi landasan demokrasi meskipun ada tantangan saat ini.”
"Di tengah konteks kemerosotan yang luas ini, bagaimanapun juga, banyak pemilu yang telah memenuhi janji yang melekat pada pemilu sebagai sarana untuk memastikan bahwa rakyat memiliki kontrol atas para pengambil keputusan,” kata laporan itu.
Dalam banyak pemilu yang diamati secara intensif sejak tahun lalu, terlihat partai-partai petahana kalah dalam pemilihan presiden dan kehilangan mayoritas parlemen, kata laporan itu.
"Pemilihan umum baru-baru ini di Guatemala, India, Polandia, Senegal dan banyak negara lainnya telah memungkinkan para pemilih untuk memiliki suara yang efektif,” tambahnya.