Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA) dalam laporan tahunannya mengatakan pemanasan global telah sangat serius dan tahun 2017 adalah tahun terpanas meski tanpa adanya peristiwa El Nino.
Iklan
Laporan iklim tahunan nasional edisi ke-28 yang diterbitkan oleh American Meteorological Society di AS mengkonfirmasi temuan meta-analisis pada bulan Januari tahun ini bahwa tiga tahun terakhir, yaitu 2015, 2016 dan 2017 adalah tahun-tahun terpanas.
"Empat tahun terpanas yang telah terjadi sejak 2014," kata editor dalam ringkasan eksekutif yang menyertai laporan NOAA yang terbit Rabu (1/8). Laporan setebal 300 halaman ini juga mencatatkan 2017 sebagai tahun dengan terpanas tanpa El Nino.
Konsentrasi CO2 di udara secara global pada 2017 tercatat mencapai 405 bagian per juta. Ini adalah konsentrasi tertinggi dalam 38 tahun terakhir dan masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang terdapat pada sample inti es berumur 800.000 tahun.
"Laju pertumbuhan karbon dioksida secara global meningkat empat kali lipat sejak tahun 1960an," kata laporan dengan 500 kontributor peneliti dari 65 negara ini.
Pemanasan global melelehkan kutub, memanaskan lautan, membuat permukaan laut naik dan berkontribusi terhadap cuaca ekstrim.
Konsentrasi atmosfer gas rumah kaca seperti metan dan nitrogen oksida juga dilaporkan mencapai titik tertinggi tahun lalu.
Sementara kutub utara dan selatan menghangat lebih cepat dibandingkan bagian permukaan bumi lain. Tutupan es pada laut Arktik pada tahun lalu sangat kecil, sementara di Antartika capaian lautan es juga lebih rendah daripada rata-rata tahunan selama beberapa dekade trakhir.
Laut terancam
Kenaikan muka air laut juga mencatatkan rekor baru yaitu 7,7 centimeter diatas rata-rata sejak tahun 1993 ketika pengukuran menggunakan satelit altimetri dimulai.
Suhu muka air laut rata-rata tahun lalu lebih tinggi daripada 2016. Ini menunjukkan tren naik jangka panjang yang jelas.
Perkebunan Masa Depan di Dasar Laut
Rumah Kaca dan perkebunan konvensional sering dikeluhkan karena menghasilkan jejak karbon yang tinggi. Berbeda halnya dengan Taman Nemo. Karena konsep asal Italia tersebut memanfaatkan rumah kaca di dasar laut.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
Rumah Kaca Bawah Laut
Jika produksi satu kilogram selada di lahan perkebunan menghasilkan 140 gramm emisi Karbondioksida, maka di rumah kaca emisinya mencapai 4450 gramm, alias 30 kali lipat lebih banyak. Namun perkebunan konvensional di atas tanah juga tidak serta merta ramah lingkungan, karena maraknya penggunaan pestisida yang bisa mencemari air tanah.
Foto: Getty Images/AFP/O. Morin
Tanpa Emisi, Tanpa Pestisida
Sebab itu Sergio Gamberini mengembangkan konsep unik yang dapat mengurangi emisi tanpa menggunakan pestisida. Solusinya bernama Taman Nemo, sebuah perkebunan sayur di dasar laut. Untuk itu ia menggunakan balon transparan bervolume 2.000 liter yang ditambat sampai sepuluh meter dari dasar laut. Di dalam balon tersebut Gamberini membangun platform yang bisa digunakan buat menanam sayur-sayuran.
Foto: Getty Images/AFP/O. Morin
Hujan di Dasar Laut
Berbeda dengan perkebunan konvensional, Taman Nemo tidak membutuhkan air segar. Air didapat melalui proses alami desalinasi air laut. Melalui perbedaan temperatur, air laut menguap di dalam balon dan mengendap sebagai air tawar di atap balon. Air tersebut kemudian akan menetes dan membasahi tanaman layaknya air hujan.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
Solusi Perubahan Iklim
Absennnya sistem irigasi membuat konsep Taman Nemo cocok diterapkan di kawasan pesisir yang meranggas akibat dampak perubahan iklim. "Agrikultur tradisional menggunakan 70% air tawar di seluruh dunia dan kelangkaan air meningkat pesat. Jadi pertanian adalah sektor yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim," ujarnya.
Foto: Getty Images/AFP/O. Morin
Hemat Energi, Hemat Biaya
Sistem yang dikembangkan Gamberini ini tidak membutuhkan aliran listrik, sistem pengatur suhu ruangan atau pencahayaan buatan seperti yang biasa digunakan di rumah kaca atau perkebunan konvensional. Taman Nemo bahkan juga bisa dibangun di dalam rumah dengan menggunakan akuarium.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
"Berkelanjutan dan Mandiri"
"Taman kami adalah sistem yang berkelanjutan dan mandiri," ujarnya. "Artinya setelah sistemnya diaktifkan, taman ini tidak membutuhkan bantuan dari luar. Kami memanen tomat, kacang-kacangan dan selada tanpa menggunakan air tanah sama sekali." Ia mengklaim tanamannya hanya membutuhkan sinar matahari.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
Eksperimen Tanpa Akhir
Sayangnya konsep Taman Nemo belum bisa diterapkan secara komersil. Untuk itu Gamberini harus menyederhanakan desain agar penyelam tidak selalu harus datang untuk menanam, memanen atau merawat balon yang menambah beban biaya dan waktu. Saat ini ia masih bereksperimen dengan menggunakan ukuran, bentuk dan kedalaman balon yang berbeda-beda.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
Efektif, Meski Rapuh
Terlebih konsepnya itu masih harus berhadapan dengan bencana alam. Tahun lalu salah satu Taman Nemo yang dibangunnya hancur oleh badai. Sejak itu Gamberini mendesain ulang pondasi yang digunakan buat menambat balon di dasar laut. Meski begitu konsepnya tersebut tetap dianggap lebih efektif ketimbang perkebunan konvensional.
Foto: Ocean Reef Group/Nemo's Garden
8 foto1 | 8
Laporan ini juga menunjukkan pemutihan terumbu karang yang belum pernah terjadi sebelumnya dan lebih cepat karena suhu laut yang hangat.
Sementara perubahan curah hujan yang ekstrem juga makin sering terjadi. Beberapa daerah mendapatkan curah hujan yang luar biasa sementara daerah lain mengalami kekeringan berkepanjangan.
Lebih lanjut laporan NOAA juga menegaskan kembali bahwa pada 2017 di Amerika Serikat terjadi 16 bencana yang mengakibatkan kerugian langsung hingga lebih dari $ 300 miliar dan menjadikannya tahun paling mahal sejak 1980.
Pada 2017, Presiden AS Donald Trump mengumumkan negaranya keluar dari Perjanjian Paris 2015, kerangka global bermaksud membatasi laju pemanasan global hingga maksimum 2 derajat Celcius. AS adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak terlibat perjanjian itu.
Kemegahan Antartika Yang Rentan Kehancuran
Benua paling selatan Bumi letaknya jauh dari peradaban, tapi bukan kawasan yang tak tersentuh. Serentan apakah kecantikan Antartika? Berikut karya foto Alexandre Meneghini
Foto: Reuters/A. Meneghini
Lautan buat mual
Reporter foto Alexandre Meneghini tahu, perjalanan melalui Antarktika tidak mudah. Tapi ia menolak meminum pil anti mual. "Ternyata itu salah", katanya. Di daerah dekat Kap Hoorn, di mana Pasifik dan Atlantik bertemu, orang yang tidak biasa pasti merasa ibaratnya dikocok dalam alat sentrifugal.
Foto: Reuters/A. Meneghini
Paus - teman di perjalanan
Keindahan alam membuat fotografer melupakan semua perasaan mualnya. Paus kerap menemani perjalanan kapal peneliti milik organisasi pelindung lingkungan Greenpeace di mana fotografer berada.
Foto: Reuters/A. Meneghini
Udang-udang Antartika
Lama tidak ada yang memperhatikan Krill, sejenis udang khas Antartika, kecuali pinguin dan paus. Sekarang, udang-udang ini jadi incaran industri perikanan. Minyak Krill katanya sumber asam lemak Omega 3. Greenpeace mengungkap, ini jadi masalah karena Kril adalah makanan utama hampir semua hewan di Antarktis.
Foto: picture-alliance/blickwinkel/A. Hartl
Kritik Greenpeace
Kapal yang tidak jelas dari negara mana ini, menangkap udang Krill. Kapal ini tampak di Teluk Bulan Sabit di Antartika, Februari 2018. Kapal dari Norwegia, Cina dan Korea Selatan menangkap udang-udang ini. Greenpeace mengkritik industri yang memproduksi minyak yang tidak dibutuhkan siapapun, tapi mengancam hidup banyak satwa.
Foto: Reuters/A. Meneghini
Koloni bongkahan es
Jika mengadakan perjalanan di Antarktis, bertemu sekawanan penguin adalah saat yang tak terlupakan. Demikian diceritakan Alexandre Meneghini. Pada foto ini tampak, sekawanan penguin di Cuverville Island.
Foto: Reuters/A. Meneghini
Saling memberi makan
Jika orang tidak bergerak, penguin tidak takut dan mendekati dengan tenang, demikian Meneghini. Setiap kali mengadakan perjalanan, ia merasa seperti anak kecil yang menemukan berbagai hal menarik.
Foto: Reuters/A. Meneghini
Kecantikan yang terancam
Spesies penguin gentoo berjalan-jalan di sepetak tanah yang bebas dari es. Hewan-hewan ini terutama mengkonsumsi Krill. Selama ini, ruang hidupnya aman. Tetapi di samping penangkapan ikan, meningkatnya suhu bumi kini mengancam eksistensinya. Penulis: Sven Töniges, Florian Görner (ml/ )