1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Laporan Reporter Tanpa Batas 2007: Eritrea Tersungkur, Korea Utara Tak Ada Perbaikan

Ayu Purwaningsih19 Oktober 2007

Organisasi pemantau media internasional Reporter Tanpa Batas atau Reporters sans Frontieres RSF yang bermarkas di Prancis, kembali menghadirkan laporan tahunannya tentang peringkat kebebasan pers di dunia.

Foto: AP

Islandia di posisi puncak yang terbaik dari 169 negara yang diranking oleh RSF. Sementara Eritrea, kali ini terperosok pada urutan paling buncit urutan negara-negara dalam menerapkan kebebasan pers, yang dikeluarkan oleh Reporters sans Frontieres RSF. Apa yang membuat Eritrea menduduki posisi juru kunci terburuk dalam hal kebebasan pers? Simak penuturan Jef Julliard dari RSF: „Kondisi kebebasan pers sangat buruk di Eritrea. Di negara ini pers ditekan betul oleh pemerintah setempat. Beberapa wartawan yang berani mengritik pemerintah meringkuk di penjara. Tahun ini empat wartawan meninggal dunia dalam tahanan.“

Korea Utara Tak Juga Membaik

Posisi Eritrea ini telah menggeser Korea Utara, yang tahun lalu di urutan terpuruk, jadi naik satu peringkat di atasnya. Namun itu bukan berarti kondisi kebebasan pers lebih baik. Julliard menambahkan :„Tak ada perbaikan sama sekali kondisi pers di Korea Utara. Hanya saja kondisi pers di Eritrea semakin memburuk terakhir-terakhir ini. Hal itulah yang menyebabkan Eritrea menggeser posisi Korea Utara tahun ini. Namun, situasi di Korea Utara sama buruknya dengan tahun lalu. Orang-orang yang bekerja di media harus membawa propaganda rezim penguasa dalam pemberitaan. Mereka sama sekali tak bisa mengritik pemerintah atau membahas topik yang dianggap tabu. Tidak ada kebebasan berekspresi sama sekali di Korea Utara.”

Dari 20 negara yang menduduki posisi bawah atau terburuk kebebasan persnya, 7 diantaranya negara-negara Asia. Selain Korea Utara, negara-negara yang kondisi kebebasan persnya juga tak kalah buruk adalah di China, Birma yang baru-baru ini kembali jadi sorotan dunia, Pakistan, Srilanka, Laos dan Vietnam. Lima di Afrika terburuk selain Eritrea yaitu Ethiopia, Guinea, Libya, dan Somalia. Sementara dari Timur Tengah tercatat ada empat yaitu Suriah, Irak, Iran dan wilayah Palestina. Tiga lainnya di bekas Uni Soviet yaitu Belarus, Uzbekistan dan Turkmenistan. Dari Amerika, Kuba juga berada di urutan bawah. Meski Kuba lebih buruk, media di Meksiko juga cukup memprihatinkan. Sejak September 2006, tercatat 8 wartawan tewas dalam bekerja. Impunitas yang dinikmati pembunuh atau penyerang waratwan di Meksiko menjadi faktor buruknya perlindungan wartawan di negara Amerika Latin itu. Sementara di Peru, seratusan wartawan sepanjang September 2006 hingga September 2007 mengalami penyerangan.

Perang, Medan Berat Para Wartawan

Perang, dianggap sebagai faktor yang bertanggung jawab pada buruknya kebebasan pers di negara-negara terterntu. Misalnya perang di Somalia, konflik di Srilanka, menjadi medan yang sangat berat bagi para pewarta berita. Banyak wartawan yang terbunuh atau mengalami sensor pemberitaan, karena dianggap berpihak pada lawan. Ini juga yang terjadi di tengah konflik antara Hamas dan Fatah di Palestina. Penyanderaan, penculikan, serangan fisik, penahanan serta pelanggaran hak-hak jurnalis, jadi agenda sehari-hari. Sementara di Irak, lebih dari 200 jurnalis tewas sejak Amerika Serikat menginvansi Irak tahun 2003.

Di Nepal, berakhirnya perang dan bergeraknya pemerintahan ke arah demokrasi membuat posisi negara itu melonjak 20 tingkat menjadi lebih baik. Kini Nepal yang dulu berada di bagian urutan bawah, berada di posisi 137.

Blogger Jadi Perhatian

Yang juga menjadi keprihatian bagi RSF adalah pengekangan para pewarta di dunia maya. Blogger kini merupakan kekuatan baru dalam membentuk opini publik. Para blogger dan jurnalis online di Malaysia, Vietnam, Thailand dan Mesir ditangkapi dan blog atau situs mereka ditutup. Sedikitnya 64 orang di dunia saat ini ditahan setelah apa yang mereka tulis di internet. China yang paling parah, dengan 50 orang yang ditahan, sementara di Vietnam delapan orang. Di Mesir, Kareem Amer mendapat hukuman empat tahun penjara setelah mengritik presiden Mesir lewat blognya. Sementara di Malaysia para blogger juga dihantui ancaman hukuman. Steven Gan, Editor situs internet Malaysiakini.com menggambarkan situasi di negaranya. “Tidak mengherankan bahwa Malaysia jatuh ke posisi buruk dalam indeks kebebasan pers di tahun-tahun terakhir ini. Meski kebanyakan yang terkena sanksi adalah para blogger, namun juga media online independen seperti situs Malaysiakini juga kena getahnya. Misalnya gugatan yang dilancarkan oleh pejabat Serawak akibat tulisan tentang dugaan korupsi di pemerintahannya.”

Kondisi ini cukup memprihatinkan, mengingat blogger mempunyai peran cukup besar dalam pewartaan. Seperti di Birma. Para blogger lah yang berhasil menyusupkan berita maupun gambar tentang apa yang terjadi di Birma, saat negara itu dilanda krisis baru-baru ini, akibat tindakan anarkis pemerintah yang membubarkan aksi damai lewat jalan kekerasan. Seperti disampaikan pegiat HAM untuk Birma, Tri Agus: “Ketika kemarin terjadi krisis di Birma yang menyebar ceritanya ke seluruh dunia, itu atas jasa blogger atau jurnalis amatir yang jumlahnya ribuan di dunia maya.”

Indonesia Duduki Peringkat ke 100

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia naik ke posisi 100, dari sebelumnya lebih buruk di posisi 102. Namun itupun bukan berarti kondisi kebebasan pers di Indonesia membaik. Aliansi Jurnalis Independen AJI, menyodorkan rangkaian daftar hitam pemberangusan pers di Indonesia tahun ini. Selain penyerangan terhadap wartawan dan kantor-kantor media, dunia pers di Indonesia tahun ini dinodai juga dengan dimenangkannya gugatan bekas Presiden Soeharto terhadap tulisan di majalah Time. Simak penuturan ketua AJI Heru Hendratmoko: “Saya ambil contoh yaitu keputusan Mahkamah Agung yang mendenda Majalah Time sebesar 1 trilyun rupiah. Bila itu diterapkan di Indonesia, akan banyak media yang gugur di Indonesia, karena tak mampu membayar denda sebesar itu. Lainnya adalah penyadapan terhadap wartawan Tempo atas investigasi manipulasi pajak. Betapa rawannya kebebasan pers di Indonesia.” Menurut Hendratmoko, yang paling menyedihkan adalah pemerintah masih saja mencoba untuk mengontrol media. Apalagi kalau bukan lewat peraturan.”Keinginan pemerintah merevisi undang-undang pers. Ini menunjukan pemerintah ingin mengontrol kembali kebebasan pers di Indonesia. Revisi undang-undang pers ini ada di parlemen, cepat atau lambat keinginan mengubah ini akan terjadi juga.” Bila ini jadi dilakukan pemerintah, bukan tidak mungkin tahun yang akan datang posisi Indonesia, jadi merosot.

Tiap tahun organisasi pemantau media internasional Reporter Tanpa Batas, rutin mengeluarkan daftar kondisi kebebasan pers di seluruh dunia. Laporan yang mereka buat berdasarkan jajak pendapat yang dikirimkan ke negara-negara di 5 benua dan disebar ke organisasi kebebasan berekspresi, para koresponden, jurnalis, ahli hukum dan aktivis HAM di seluruh dunia.