PBB: Ada Lebih 82 Juta Pengungsi di Seluruh Dunia Akhir 2020
Okeri Ngutjinazo
18 Juni 2021
PBB menyerukan kesepakatan global untuk mengatasi pengungsian global. Sebagian besar pengungsi ditampung negara-negara miskin, lebih 40 persen pengungsi adalah anak-anak di bawah 18 tahun.
Iklan
Sebanyak 82,4 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena penganiayaan, konflik, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, kata laporan terbaru Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, UNHCR.
Laporan yang dirilis di Jenewa hari Jumat (18/6) menyerukan negara-negara untuk membalikkan tren global pengungsian ini, yang dipicu oleh kekerasan dan penganiayaan yang telah berlangsung selama hampir satu dekade. Jumlah pengungsi yang baru dirilis lebih tinggi 4% dari angka sebelumnya akhir 2019, yang mencatat 79,5 juta orang.
Sebagian besar pengungsi di dunia ditampung oleh negara-negara yang berbatasan dengan wilayah krisis dan merupakan negara berpenghasilan rendah dan menengah. Negara-negara paling tidak berkembang di dunia menampung 27% pengungsi dunia, kata UNHCR.
Orang terlantar di balik setiap angka statistik
Pada akhir tahun 2020, sekitar 20,7 juta pengungsi berada di bawah mandat UNHCR, 5,7 juta pengungsi adalah warga Palestina, dan 3,9 juta orang warga Venezuela yang meninggalkan rumah mereka. 48 juta orang tercatat sebagai pengungsi internal yang mengungsi di negara mereka sendiri, sementara ada 4,1 juta pencari suaka.
Iklan
Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi mengatakan, di balik masing-masing angka ini "adalah seseorang yang mengungsi dari rumah mereka dengan kisah pelarian, penggusuran dan penderitaan.
"Setiap individu layak mendapatkan perhatian dan dukungan kita — tidak hanya melalui bantuan kemanusiaan tetapi dengan menemukan solusi untuk mengakhiri penderitaan mereka," kata Filippo Grandi. Selanjutnya dia mendesak Kesepakatan Global untuk Pengungsi sebagai kerangka hukum dan alat untuk menanggapi pengungsian. "Kami membutuhkan kemauan politik yang lebih kuat untuk mengatasi konflik dan penganiayaan yang memaksa orang melarikan diri."
Laporan UNHCR juga menemukan bahwa pada puncak pandemi tahun 2020, lebih dari 160 negara menutup perbatasan mereka, 99 negara juga menutup akses bagi orang-orang yang tengah mencari perlindungan internasional. Setelah dilakukan langkah-langkah seperti pemeriksaan medis di perbatasan, sertifikat kesehatan maupun karantina sementara pada saat kedatangan, lebih banyak negara yang kembali menjamin akses bagi pemohon suaka.
Pencari Suaka di Indonesia: Mencari Kebebasan, Malah 'Terpenjara'
Februari 2019 seorang pengungsi asal Afghanistan di Manado tewas bakar diri setelah ditolak untuk masuk ke negara tujuan imigrasi. Bagaimana kehidupan pengungsi dan pencari suaka ini di Indonesia?
Foto: Monique Rijkers
Menanti Nasib
Dari 14 ribu imigran ilegal (pengungsi dan pencari suaka) terdapat 700 anak-anak. Gadis muda ini baru berumur 14 tahun dan sudah mengungsi dari Afghanistan. Saat ini ia tinggal di tenda pengungsi di pinggir jalan di Jakarta Barat.
Foto: Monique Rijkers
Tenda Pinggir Jalan
Hampir seratus orang umumnya asal Afghanistan tidak bisa ditampung dalam rumah detensi di Kalideres, Jakarta Barat sehingga mereka terpaksa tinggal di bawah tenda biru ini di pinggir jalan. Sudah lebih dari satu tahun mereka ada di sini.
Foto: Monique Rijkers
Perempuan dan Anak Menjadi Korban
Imigran ilegal terbagi dalam dua kategori yaitu pengungsi dan pencari suaka. Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap iba pada nasib imigran gelap yang ada di depan rumah detensi yang dipimpinnya, apalagi sebagian besar perempuan dan anak,namun mereka tidak dapat ditampung karena status tidak jelas. Status pengungsi dan pencari suaka ditentukan UNHCR berdasarkan rekam jejak imigran tersebut.
Foto: Monique Rijkers
Rumah Detensi
Di rumah detensi ini hanya ada 51 kamar tetapi jumlah penghuni 1634 orang. Umumnya sudah berada di rumah detensi ini tiga-empat tahun. Rumah detensi berfungsi menampung pelanggaran keimigrasian dan tidak dimaksudkan untuk pemenjaraan. Kebutuhan makan mereka selama tinggal di sini adalah 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan perorang. Biaya ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Kamar Rumah Detensi
Paling tidak seorang penghuni rumah detensi membutuhkan biaya makan selama tinggal di sini sebesar 41 ribu rupiah untuk tiga kali makan per hari. Total sekitar 1,2 juta rupiah perorang yang ditanggung oleh UNHCR, badan pengungsi PBB.
Foto: Monique Rijkers
Mirip “Kos-kosan”
Jam hampir menunjukkan pukul 11 siang namun kamar-kamar masih tertutup rapat dan tidak ada kegiatan. Menjadi imigran gelap memang menyesakkan. Umumnya ingin kebebasan sehingga memilih kabur dari negara mereka tetapi justru berada dalam “penjara” karena pelanggaran keimigrasian. Ibaratnya imigran gelap seperti penghuni kos tanpa kepastian untuk kebebasan.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Rumah Detensi
Pemerintah memiliki 13 rumah detensi yang tersebar di Indonesia. Di Kalideres ini terdapat klinik jika penghuni sakit. Jika harus dibawa ke rumah sakit, sudah ada RS rujukan yakni di RS Pengayoman.
Foto: Monique Rijkers
Klinik Gigi
Selain klinik untuk penyakit ringan, terdapat klinik gigi di dalam rumah detensi untuk penghuni. Dokter gigi menolak untuk difoto.
Foto: Monique Rijkers
Suplai Air
Untuk memenuhi kebutuhan air penghuni rumah detensi setiap hari didatangkan air bersih sebanyak 8000 liter untuk mandi, cuci dan kakus. Menurut Kepala Rumah Detensi Kalideres Morina Harahap, setiap hari untuk membeli air keluar ongkos 400 ribu rupiah.
Foto: Monique Rijkers
Proses Wawancara Suaka
Bagi pencari suaka yang sudah lolos urusan administrasi maka diseleksi pihak negara ketiga, negara calon penerima pencari suaka. Pekan lalu ada 29 pencari suaka asal Somalia yang ditahan di rumah detensi Medan diterbangkan ke Jakarta untuk proses wawancara oleh satu kedutaan besar di Indonesia. Mereka diinapkan di sebuah hotel di Jakarta Pusat atas biaya Organisasi Pengungsi Internasional (IOM).
Foto: Monique Rijkers
Menunggu Jawaban Suaka
Pria asal Afghanistan ini sudah menghuni kamar hotel di Jakarta Pusat selama 8 bulan. Ia sedang menunggu jawaban penempatan ke negara ketiga jika ia beruntung, ia bisa menjadi imigran legal dan memulai hidup baru di negara baru. Pria ini berkata, “Negara apa saja yang mau menerima saya, saya mau. Saya tidak mau tinggal di negara perang Afghanistan,” ujarnya dalam bahasa Indonesia yang lancar.
Foto: Monique Rijkers
Masakan Kampung Halaman
Meski sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, pencari suaka asal Afghanistan ini sedang menyiapkan adonan roti khas negerinya (pita bread). Di hotel yang disewa IOM ini, pengungsi bebas memasak dan keluar dari hotel. Mereka tidak akan melarikan diri karena mereka menunggu ditempatkan ke negara penerima suaka.
Foto: Monique Rijkers
12 foto1 | 12
Lebih banyak anak lahir sebagai pengungsi
Menurut laporan UNHCR, anak-anak sangat terpengaruh selama krisis pengungsian, terutama jika perpindahan mereka berlangsung selama bertahun-tahun. PBB memperkirakan hampir 1 juta anak lahir sebagai pengungsi antara 2018 dan 2020.
Selain itu, 42% pengungsi adalah anak perempuan dan laki-laki di bawah usia 18 tahun. Banyak dari mereka berisiko tetap berada di pengasingan selama bertahun-tahun yang akan datang, sebagian dari mereka berpotensi menjadi pengungsi seumur hidupnya.
"Tragedi begitu banyak anak yang lahir di pengasingan paksa seharusnya menjadi alasan yang cukup untuk secara signifikan meningkatkan upaya penyelesaian konflik dan kekerasan," kata Filippo Grandi.