Di Uganda, komunitas setempat menjalankan proyek apllikasi smartphone yang bisa melaporkan aksi korupsi secara anonim.
Iklan
Douglas Buule, guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) di luar ibu kota Kampala, tampak murung. Kesedihan itu, rupanya karena Buule belakangan ini tidak bisa menjalankan tugasnya dengan leluasa.
“Uang untuk membeli kapur dari pemerintah sering datang terlambat bahkan saat akhir semester. Ini menjadi beban besar karena sebagai pengajar kami harus tetap menulis di papan tulis. Walhasil, kepala sekolah terpaksa berhutang untuk membeli kapur atau menggunakan uang pribadinya,“ kata Buule (29/9).
Menurut Buule, uang subsidi dari pemerintah acap datang terlambat atau bahkan tidak sampai sama sekali. Situasi ini sungguh ironis mengingat 529 murid SD di sekolah itu hanya ujian dua kali dalam satu semester dan bukannya setiap bulan.
Buule sangat yakin, semua ini akibat kurangnya transparansi di banyak institusi-institusi pemerintah terhadap jalur perputaran uang subsidi. Uang yang menjadi hak rakyat itu, dikorupsi. Kejahatan seperti ini di Uganda sudah seperti wabah penyakit yang mudah menyebar.
“Gara-gara kurangnya transparansi, maka dampaknya seperti ini, mempengaruhi kegiatan belajar-mengajar,“ kata Buule kesal.
Menjawab keluhan Buule dan seluruh rakyat Uganda akan buruknya korupsi di negara itu, komunitas masyarakat Uganda di tiga distrik disana sekarang menjalankan sebuah proyek bernama Through the Action for Transperancy (A4T) Smartphone app. Melalui aplikasi ponsel pintar tersebut, maka siapapun atas nama anonim bisa melaporkan alokasi anggaran buat pusat-pusat layanan kesehatan dan sekolah-sekolah negeri yang tidak sampai ke tangan yang berhak.
Terobosan Seni Uganda
Pasar untuk kesenian Uganda tergolong kecil. Hasil karya seniman umumnya digemari turis. Kini harapannya apresiasi seni di Uganda dapat meningkat berkat Buku Harian Seni Uganda 2014.
Foto: Uganda Arts Diary 2014
2014 Penuh Warna
52 seniman terkemuka di Uganda memamerkan karya mereka melalui buku harian bersama. Dicetak di atas kertas halus dan dibundel, setiap pekan dihiasi karya dan seniman yang berbeda. Pecinta seni juga dapat menemukan alamat galeri dan pasar seni di ibukota Uganda, Kampala.
Foto: Uganda Arts Diary 2014
Ide Baru dari Kenya
Buku harian disusun dan dibiayai pengusaha Inggris yang sudah lama tinggal di Uganda, Sam Rich. Ide untuk proyek ini datang dari negara tetangga, Kenya. Asosiasi Seniman Uganda kini dapat menunjukkan kebisaan mereka, seperti misalnya gambar karya Mark Kassi Byamugisha ini yang disebut 'Half Time.'
Foto: Uganda Arts Diary 2014
Memori Seorang Seniman
Dari hasil penjualan karya pertamanya, Joseph Ntensibe membeli mobil Mercedes. Pria berusia 62 tahun itu mengingat masa kecilnya membuat mainan dari daun pisang. Kini Ntensibe gemar menggambar pemandangan yang memperlihatkan keindahan alam Uganda dengan presisi yang luar biasa – karya ini berjudul 'Watering Hole.'
Foto: Uganda Arts Diary 2014
Berjuang untuk Bertahan Hidup
'The Next Meal' menjadi judul yang diberikan untuk karya Arnold Birgungio, melukiskan seorang perempuan Uganda yang sedang memilah-milah biji kopi. Dengan cara ini, perempuan tersebut menafkahi dirinya dan anak-anaknya. Kopi Uganda terkenal di seluruh dunia dan harganya mahal. Birungio yang berusia 41 tahun mengajar kelas kesenian dan bekerja sebagai ilustrator untuk bertahan hidup.
Foto: Uganda Arts Diary 2014
Seni Kehidupan
'Tree of Life ' karya Paul Kaspa menunjukkan ritual tradisional Afrika. Sebuah komunitas desa berkumpul di bayangan sebuah pohon besar. Kaspa yang berusia 33 tahun pernah belajar seni, namun kini ia juga bekerja sebagai konselor untuk penderita HIV/AIDS dan anak-anak jalanan. Suatu hari ia ingin membuka sekolah seni untuk anak-anak.
Foto: Uganda Arts Diary 2014
Kangen Kampung Halaman
Taga Nuwagaba menjual karya pertamanya saat masih duduk di bangku sekolah. Ia kemudian mencari peruntungan di London sebagai pedagang kaki lima. Namun ia sangat merindukan kampung halamannya Uganda. Perasaan itu ia tuangkan ke dalam lukisan. Mancing di Danau Victoria menjadi salah satu subyek khasnya. Kini lelaki berusia 45 tahun itu sudah kembali ke Uganda.
Foto: Uganda Arts Diary 2014
Bercerita Melalui Warna Cerah
Gambar karya Robert Yiga menyerupai komik dan menceritakan masa kecilnya yang sulit sebagai yatim piatu di sebuah desa di Uganda. Juga bagaimana dirinya berjuang mendapatkan uang untuk bersekolah. Warna kuning dan oranye yang mentereng menjadi ciri khas karyanya. Ia membiayai studinya di sekolah seni dengan menjual karya-karyanya.
Foto: Uganda Arts Diary 2014
Kota Penuh Kekacauan
Ibukota Uganda, Kampala, bisa disebut kota penuh kekacauan. Dan bertahan hidup di Kampala merupakan seni tersendiri. Namun kota ini tetap menarik sosok-sosok kreatif dari seluruh penjuru negeri. Di Kampala, mereka dapat membuat jaringan, berpameran dan menjual karya seni. Bagi Cliff Kibuuka, Kampala merupakan sumber inspirasi. Cliff menjadikan kota itu sebagai motivasi untuk berkarya.
Foto: Uganda Arts Diary 2014
Melawan Korupsi dengan Kuas
Seniman-seniman Uganda berkampanye melawan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Eria Nsubuga menggambarkan pegawai negeri yang 'menelan' dana pajak yang seharusnya digunakan untuk sektor kesehatan. Ini contoh bagaimana seniman Uganda memandang diri sebagai otoritas moral. Nsubuga juga gemar mengilustrasikan bintang pop serta politisi di dalam mobil-mobil mewah.
Foto: Uganda Arts Diary 2014
Seni Demi Satwa Liar
Awalnya Sam Rich tidak mau gambar hewan atau pemandangan dalam buku harian. Namun ia melihat gambar gorila pegunungan karya Jjuuko Hood. Dengan hasil penjualan karyanya ini, Hood ingin membantu menyelamatkan hutan hujan dan habitat gorila. Karya ini menjadi bagian buku harian yang dapat dilihat melalui: facebook.com/ugandaartsdiary
Foto: Uganda Arts Diary 2014
10 foto1 | 10
Bagaimana cara kerja A4T?
Langkah-langkah menggunakan apliaksi ini tidak rumit. Melalui GPS yang ada dalam aplikasi A4T, user (pelapor) akan menerima lokasi sekolah atau pusat layanan kesehatan, termasuk jumlah staf pemerintahan atau institusi yang bekerja disana. Bukan hanya itu, user juga akan menerima informasi jumlah anggaran yang disetujui dan uang sudah dikirimkan pemerintah Uganda.
Apabila para user sangat yakin uang negara tersebut, sudah disalahgunakan, misalnya dipakai untuk membeli ambulan tetapi mobil ambulannya tidak ada, maka mereka dengan mudah tinggal meng-klik tombol aplikasi A4T bergambar peluit, yang kemudian akan mengirimkan sebuah laporan instan ke website A4T serta laman facebook mereka.
“Jika ini kasus kriminal, maka kami akan melaporkannya ke polisi, tetapi jika ini sebuah masalah yang membutuhkan pembelaan, maka akan dilaporkan ke menteri,” kata Moses Karatunga, ko-ordinator Transparansi International (TI) Uganda kepada AFP, Senin (29/9).
Memerangi korupsi
Dikatakannya, praktik korupsi di Uganda sudah sangat parah dalam beberapa tahun terakhir. Untuk itu, diperkenalkanlah aplikasi A4T hasil kerjasama dengan Uganda Media Develpoment Foundation (UMDF), African Center for Media Excellence (ACME) dan Fojo Media Institute, sebuah badan yang merupakan bagian dari Linnaeus Unversity di Swedia.
“Mereka (yang korupsi) harus dipecat, apalagi muncul pula kekhawatiran laporan sudah dibuat tetapi tidak ada tindak lanjut. Maka itu, melalui apliaksi A4T kami ingin kasus - kasus ini dibawa ke pengadilan umum,“ kata Kepala Koordinator A4T, Gerald Businge.
Sedangkan lembaga Swedish International Development Agency (SIDA), yang mendanai proyek ini, dalam keterangan tertulisnya berharap, melalui A4T maka kesalahan pengelolaan uang bisa dicegah. Sebab ketika seseorang menyadari sedang diawasi, maka dia tidak akan terlalu menghambur-hamburkan uang.