1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Larangan Sawit UE Ancam Nasib Petani Kecil

24 September 2018

Larangan sawit yang akan diberlakukan Uni Eropa pada 2030 diklaim mengancam petani kecil. Langkah tersebut menempatkan mereka dalam belas kasihan perusahaan multinasional sebagai pembeli tunggal.

Biodiversität Palmöl in Sierra Leone
Foto: DW

Petani sawit Kawal Surbakti mengaku mata pencahariannya sedang terancam, bukan karena hama atau orangutan yang  menyantap hasil panennya, tetapi oleh tren global yang tidak terhenti.

Di ujung Bumi yang lain parlemen Eropa menetapkan larangan penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar kendaraan mulai 2030 dan supermarket waralaba Inggris, Iceland, mengumumkan tidak lagi membuat produk yang mengandung minyak sawit. 

Menyusutnya pasar Eropa membuat petani kecil seperti Surbakti dan jutaan lain di Indonesia dan Malaysia kehilangan akal, terutama ketika harga sawit anjlok selama bulan September. "Saya mencatat kerugian besar," kata Surbakti yang memiliki kebun seluas dua hektar di Sumatera. "Sebelumnya saya bisa menabung. Sekarang tidak lagi," imbuhnya.

Baca Juga: Studi: Larangan Sawit Tidak Hentikan Deforestasi 

Di sebrang selat Malaka, petani Malaysia Mohamad Isa Mansor, mengalami nasib serupa. "Jika Uni Eropa menerbitkan larangan, saya mati," katanya. "Tanpa hasil panen ini, kami akan hidup miskin. Ini adalah sumber pendapatan buat ribuan orang di sini."

Di samping India dan Cina, Eropa selama ini adalah konsumen sawit terbesar di dunia. Hampir separuh minyak sawit yang dikonsumsi di Eropa selama tahun lalu mendarat di tangki kendaraan, klaim organisasi lingkungan.

Produsen minyak sawit terbesar di Dunia

Sebab itu Indonesia dan Malaysia meradang ketika parlemen Eropa mengusulkan larangan sawit. Namun berkat diplomasi tingkat tinggi, larangan yang tadinya ingin diberlakukan mulai 2021 itu diundur menjadi 2030.

Petani kecil seperti Slamet Ketaren, mengatakan dia dan petani lain bergantung pada kemurahan hari perusahaan raksasa yang memborong hasil panen mereka. "Petani kecil seperti kami hanya korban perusahaan besar," kata pria yang sudah menanam sawit sejak pertengahan 1980an tersebut.

Baca Juga: Greenpeace: Industri Sawit Nasional Masih Manjakan Penyuplai Nakal

Industri makanan internasional selama ini dituding ikut mempercepat laju deforestasi di Indonesia dan Malaysia, serta mengancam eksistensi sejumlah satwa langka. Pekan lalu organisasi lingkungan Greenpeace mengumumkan betapa perusahaan besar seperti Unilever atau Nestle masih memanjakan penyuplai nakal yang berulangkali terbukti merusak hutan dan mempekerjakan buruh anak.

Hal ini tidak bisa dimengerti oleh petani seperti Mansor. "UE bilang saya menebang hutan. Tapi lahan saya adalah lahan gambut, sebelum sawit lahan ini ditanami pohon karet," kata dia. "Bagaimana UE bisa bilang saya membunuh Bumi?"

Dewan Sawit Malaysia mengklaim larangan Uni Eropa akan mengancam sumber mata pencaharian bagi 650,000 petani dan lebih dari 3,2 juta warga Malaysia yang menggantungkan hidup dari industri sawit.

Angka konsumsi minyak sawit di dunia dalam juta ton.

rzn/hp (afp)