Di Indonesia, Lebaran menjadi perayaan lintas tradisi dan agama. Lebaran jadi semacam pemersatu manusia dari berbagai etnis, suku, dan bahasa. Berikut refleksi Sumanto al Qurtuby di hari Idul Fitri.
Iklan
Tidak seperti negara-negara lain yang juga mayoritas berpenduduk Muslim, Indonesia mempunyai tradisi tahunan unik dalam merayakan hari raya Idul Fitri atau, dalam dalam Bahasa Indonesia, Lebaran. Kata “Lebaran” ini berasal dari Bahasa Jawa “lebar” yang artinya selesai, maksudnya selesai menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Di Indonesia, Lebaran bukan hanya semata-mata hari libur umat Islam tetapi juga hari raya bagi umat semua agama. Sebagaimana kaum Muslim, mereka dari agama non Islam juga turut merayakan Lebaran dengan suka-cita.
Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Lebaran itu adalah sebuah “festival kultural nasional” bukan hanya tradisi agama kaum Muslim saja.
Lebaran juga bisa disebut sebagai semacam simbol simbiose agama-budaya yang mampu menjadi pemersatu manusia dari berbagai etnis, suku, dan bahasa.
Muslim Dunia Rayakan Idul Fitri
Idul Fitri merupakan hari perayaan kemenangan warga Muslim setelah berperang melawan nafsu dalam ibadah puasa sepanjang bulan Ramadhan. Inilah berbagai tradisi Idul Fitri di sejumlah negara.
Foto: Stan Honda/AFP/Getty Images
Mengintip Hilal
Awal penanggalan Islam ditentukan berdasarkan posisi bulan. Berakhirnya ibadah puasa Ramadhan bisa dihitung secara Astronomi atau Rukyah. Namun untuk meyakinkan bulan baru sudah muncul, para ahli biasanya mengintip bulan atau Hilal. Jika dipastikan bulan baru sudah terlihat di ufuk warga Muslim merayakan Idul Fitri.
Foto: imago/imagebroker
Pesta dengan Beragam Nama
Di Indonesia, Idul Fitri kerap disebut Lebaran. Sementara di Jerman, pesta terbesar umat Islam ini dikenal dengan nama "Bayram", satu kata Bahasa Turki yang berarti "Pesta Manis". Secara internasional, hari kemenangan ini disebut Idul Fitri atau juga Ied-ul Fitr, diambil dari Bahasa Arab. Shalat berjamaah di mesjid atau lapangan terbuka merupakan bagian dari perayaan ini.
Foto: MUSTAFA OZER/AFP/Getty Images
Persiapan Panjang
Umat Islam lazimnya sudah mempersiapakan Idul Fitri sejak dimulainya bulan Ramadhan. Selain barang keperluan ibadah, banyak orang juga sudah membeli pakaian, perhiasan atau sepatu. Di banyak negara, permen dan penganan manis merupakan hidangan yang populer untuk menjamu tamu. Di Afghanistan (foto) misalnya, menjelang lebaran, merupakan hari-hari yang menguntungkan bagi para pedagang.
Foto: DW/I. Spezalai
Malam Pergantian Bulan
Di Pakistan dan India, perayaan Idul Fitri sudah dimulai di malam berakhirnya Ramadhan. Banyak perempuan menghias diri dengan henna untuk upacara di hari berikutnya. Di wilayah ini, malam terakhir Ramadhan disebut "Chaand Raat" atau Malam Bulan.
Foto: DW/Zohre Najwa
Kekacauan Angkutan Umum
Bagi warga Muslim, Idul Fitri merupakan kesempatan untuk bertemu dengan keluarga dan kerabat. Warga Muslim di banyak negara berusaha untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Seperti juga Muslim Indonesia. Di hari-hari menjelang dan sesudah Idul Fitri, biasanya kemacetan terjadi di mana-mana. Sistem angkutan umum seringkali tidak dapat mendukung arus penumpang yang membludak.
Foto: Getty Images
Shalat Berjamaah
Hari pertama Idhul Fitri diawali dengan shalat sunnat berjamaah di mesjid-mesid atau lapangan terbuka, seperti juga di Jerman (foto). Biasanya orang-orang pergi ke mesjid bersama keluarganya. Setelah sholat Idhul Fitri, warga Muslim saling mengunjungi keluarga, kerabat atau teman dan juga berziarah ke makam keluarga.
Foto: Barbara Sax/AFP/Getty Images
Makanan Manis untuk Sarapan
Di banyak negara, seperti di Palestina, warga menyantap makanan manis untuk sarapan di hari Idul Fitri. Makanan ini juga dibagikan antar tetangga. Anak-anak kecil mendapatkan hadiah atau uang, yang disebut „Idi“. Dan di banyak negara, pada hari Idul Fitri warga Muslim mengenakan pakaian baru atau pakaian terbaik mereka.
Foto: Said Khatib/AFP/Getty Images
Musik dan Tari
Di Burkina Faso, Afrika Barat seperti juga di banyak negara lainnya, Idul Fitri dirayakan secara meriah. Para remaja berpawai dengan memainkan musik sambil menari. Masa liburan Idul Fitri dimanfaatkan warga Muislim untuk mengunjungi keluarga, kerabat dan teman.
Foto: Ahmed Ouoba/AFP/Getty Images
Penjaja Makanan Panen
Biasanya di hari raya Idul Fitri, jalanan dan tempat-tempat umum juga diramaikan para pedagang, seperti di jalanan kota Dhaka, Bangladesh. Setelah sebulan lamanya mereka hanya bisa berjualan mulai sore hari, kini mereka dapat kembali menawarkan dagangan sepanjang hari.
Foto: dapd
Dihiasi Cahaya
Hari pertama Idul Fitri biasanya dirayakan sampai tengah malam. Jalan-jalan dan bangunan semarak dihiasi lampu-lampu. Gedung Empire State Building di New York juga turut merayakan Idul Fitri dengan menghias diri dengan lampu berwarna hijau.
Foto: Stan Honda/AFP/Getty Images
10 foto1 | 10
Meminjam istilah antropolog Belanda Arnold van Gennep, dalam buku klasiknya The Rites of Passage, Lebaran bisa dimaknai sebagai sebuah “fase liminal rites de passage” dimana Muslim dan non-Muslim merayakan hari raya ini secara bersama-sama tanpa adanya segregasi agama dan sekat budaya.
Batas-batas budaya lebur. Batas-batas agama lumer. Aturan-aturan kaku menjadi lentur. Mereka membaur menjadi satu saling mengunjungi dan bersilaturahmi, saling meminta maaf, saling mengucapkan “salam Idul Fitri,” yakni minal aidin wal faizin (meskipun kadang-ladang tidak jelas pelafalannya), saling berbagi makanan, dan seterusnya. Indah sekali. Inilah yang oleh Arnold van Gennep dan Victor Turner disebut “tahapan liminal” tadi.
Setiap tahun, saat menjelang lebaran, jutaan warga Indonesia dari berbagai latar belakang profesi, agama, dan etnik—baik yang tinggal di kota-kota di Indonesia atau bahkan di manca negara, baik yang puasa maupun yang tidak puasa—selalu atau sering menyempatkan diri untuk “mudik”, sebuah “ritual tahunan” pulang ke kampung halaman (homecoming) untuk bersilaturahmi dengan orang tua, keluarga, teman lawas, dan tetangga.
Menjalin hubungan kekerabatan
Kata “silaturahmi” (atau kadang-kadang disebut juga “silaturahim”) berakar dari Bahasa Arab, yaitu “shilah” yang berarti hubungan dan “rahim” yang berarti “kerabat” atau “kasih-sayang”. Jadi kata “silaturahmi” atau “silaturahim” bisa dimaknai sebagai hubungan kekerabatan atas dasar kasih-sayang. Dalam perkembangannya, kata silaturahmi bukan hanya dipakai dalam konteks antar-keluarga dekat sesama famili tetapi juga dengan “keluarga jauh” sesama warga negara dan umat beragama.
Dengan kata lain, silaturahmi ini bukan hanya berskala lokal tetapi sudah menasional. Salah satu makna penting dari ajaran atau tradisi silaturahmi ini adalah sebagai “mekanisme rekonsiliasi” yang sangat efektif bagi upaya penyelesaian berbagai kekhilafan, perselisihan, ketegangan, atau konflik—baik antar anggota keluarga atau masyarakat—yang terjadi di masa silam. Silaturahmi juga bisa dijadikan sebagai sarana relasi sosial untuk memecahkan perbagai kebuntuan dan problem ruwet di dalam keluarga maupun masyarakat secara umum.
Selain silaturahmi, mudik pada saat Lebaran juga dalam rangka untuk ziarah ke makam orang-orang terdekat yang sudah wafat. Ziarah kubur adalah salah satu bagian integral dari corak keislaman dan keagamaan masyarakat Indonesia yang sulit untuk dihilangkan karena sudah menjadi tradisi dan budaya warisan turun-temurun ratusan tahun. Karena itu meskipun ada sejumlah kelompok Islam reformis-Salafi-Wahabi yang mengkafir-sesatkan atau mem-bidahkan ziarah kubur, kaum Muslim di Indonesia jalan terus mempraktekkan tradisi agama ini.
Ritual mudik
Bagi sebagian besar kaum Muslim di Indonesia, makna lebaran bahkan jauh lebih penting ketimbang puasa itu sendiri. Banyak umat Islam di Indonesia, khususnya “kaum abangan” dan “wong nasional” (bukan “kaum putihan” dan santri), yang tidak puasa selama bulan Ramadan atau mereka puasa hanya pada hari-hari pertama saja. Selebihnya absen.
Tetapi mereka akan mengupayakan sekuat tenaga untuk mudik merayakan “ritual tahunan”: Lebaran dan salat Idul Fitri. Meskipun mereka kadang tidak pernah salat sama sekali tetapi untuk sembahyang Idul Fitri mereka akan mengupayakannya sekuat tenaga karena ada keyakinan bahwa dengan melakukan “salat istimewa” ini, dosa-dosa dan aneka “pelanggaran ibadah” yang mereka perbuat selama setahun akan diampuni oleh Tuhan.
Hidup di Jerman: Ramadan Tiba, Galau Melanda
Perasaan galau yang muncul saat menjalani bulan puasa di negeri orang, dengan jujur dikisahkan Nana yang berasal dari Lombok, NTB. Apa saja kegalauan yang ia rasakan di Jerman saat Ramadan dan bagaimana menyiasatinya?
Foto: DW/A.Purwaningsih
Tak sekedar keimanan
Tantangan ibadah puasa di negeri orang, bagi Nana, bukan sekedar masalah keimanan, namun juga menyangkut persoalan budaya, penyesuaian diri, kejujuran dan keikhlasan dalam menjalankan hidup. Bulan Ramadan selalu menjadi masa penting baginya untuk berefleksi mengenai semua hal menyangkut kehidupan dan keimanananya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Hidup baru
Sejak 2011, Nana tinggal di Jerman. Berbekal pendidikan & pengalaman di Mataram, NTB serta dukungan suaminya yang orang Jerman, Nana membuka usaha spa. Usaha itu sementara terhenti tahun 2014, karena ia dikaruniai seorang bayi. Dari pernikahan sebelumnya, Nana juga sudah memiliki anak remaja berusia 13 tahun yang kini tinggal bersamanya dan suami di Jerman. Kini usaha spanya berlanjut lagi.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Menyesuaikan ibadah
Tidak mudah baginya menyesuaikan budaya Lombok darimana ia berasal dengan budaya baru di Jerman. Begitu pula dalam menyesuaikan kebiasaan beribadah. Biasanya di bulan Ramadan, ia memilih pulang kampung & berpuasa di sana. “Tahun-tahun lalu sudah mencoba puasa di Jerman, tengah bulan puasa biasanya pulang kampung karena tak bisa puasa di Jerman, tak ada euforia Ramadan di sini, sepi dan galau.“
Foto: DW/L. Sanders
Tahun 2016 mulai puasa di Jerman
Jika biasanya pulang kampung saat Ramadan, sejak 2016 Nana bertekad Ramadan di Jerman. Jadi baru tahun 2016 Nana menjalankan puasa di Jerman. 2017, puasa di musim panas di Jerman bisa 19 jam. “Masih bolong-bolong,“ akunya jujur. “Kadang tak kuat puasa 19 jam. Kangen suasana Ramadan yang tak terasa di sini. Beberapa hari ini saya sudah berhasil puasa di sini, rasanya nikmat sekali,“ ujar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Anaknya belajar menyesuaikan diri
Anak pertama Nana dari pernikahan sebelumnya bernama Putri. Ia tinggal bersama ibu dan keluarga barunya di Jerman sejak 2014. Di sekolah, ditambah bimbingan ayah barunya, ia belajar bahasa Jerman dengan cepat. Karena terbiasa dari kecil beribadah bersama nenek di Lombok, kebiasaan beribadah dari kampung halaman itu, tidak dilupakannya di Jerman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Berbagi cerita dan perasaan
Seperti ibunya, sejak kecil di Mataram, Lombok, Putri sudah terbiasa mengaji. Di sekolah ia juga punya teman-teman dekat dari berbagai negara lain, seperti Turki, Marokko, Tunisia dan Palestina yang juga beragama Islam. Jika kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru, mereka saling berbagi tips dan pengalaman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Mengaji bersama
“Meski belum mampu menjalankan ibadah sepenuhnya, saya selalu berusaha.. Saya ajak anak saya mengaji. Putri dari dulu pandai mengaji,“ papar Nana tentang putri sulungnya. Karena ia dan keluarga barunya pulang kampung pada saat Lebaran, mereka punya waktu banyak di Jerman selama Ramadan untuk melakukan berbagai kegiatan rohani bersama, di antaranya mengaji dan mencoba berpuasa.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Beda puasa di Lombok dan di Jerman
“Di Lombok dulu, Putri sudah puasa sejak usia tujuh tahun. Karena pada musim panas di Jerman puasanya bisa 19 jam, saya tak terlalu memaksakan diri atau putri saya.” tambahnya. Tahun 2016 ini, mereka beberapa kali berpuasa. “Di kampung, ada ngabuburit, tarawih bersama, buka puasa bersama, suasana yang sangat kami rindukan," papar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Tak pernah dipaksa
Suami Nana, Marcel, kini beragama Islam. Istrinya ikut mengajarkannya salat. “Tapi saya tidak pernah memaksanya dalam beribadah. Yang paling baik adalah kesadaran itu tumbuh dari dirinya sendiri. Dia banyak bertanya dan sebisa mungkin saya mencari tahu jawaban-jawabannya mengenai agama Islam. Agama bukan untuk dipaksakan,” papar Nana.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Dukungan suami
“Dulu waktu kami masih pacaran di Lombok, Marcel selalu ikut berpuasa, padahal belum mualaf. Tapi selalu ingin ikut-ikutan kita berpuasa,” tutur Nana menceritakan kisah suaminya. Dengan mengenal budaya dan kebiasaan ibadah tersebut, sang suami tak heran lagi jika istri dan anak perempuannya berpuasa belasan jam.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Sholat bersama
Jika Marcel melihat istri dan putrinya salat, ia pun tak ragu untuk ikut beribadah bersama keluarga kecilnya. Menurutnya, menjadi imam dalam beribadah, adalah bagian dari tanggung jawabnya kini sebagai kepala keluarga. Sejauh ini ia masih belum bisa mengaji dan masih kesulitan dalam menjalankan ibadah puasa. Namun ia bangga, istrinya mulai menyesuaikan diri untuk berpuasa di Jerman.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Masak untuk berbuka
Selain beribadah bersama, berbuka bersama membangun rasa kebersamaan dalam keluarga yang sangat membahagiakan. Ia selalu berusaha menyajikan masakan Indonesia untuk berbuka sekaligus bisa dihangatkan untuk sahur.
Foto: DW/A.Purwaningsih
berbuka bersama
“Ketika sukses berpuasa, rasanya senang sekali, saya berhasil menang lawan hawa nafsu,” tambahnya. “19 jam tak boleh ngomel, berkeluh kesah, atau suntuk.”Meski tak puasa, sang suami tak segan menunggu makan bersama pada waktu berbuka sekitar pukul sekitar 22.00 waktu Jerman. Saat melayani suaminya makan, Nana berseloroh: “Suami lebih suka masakan Indonesia, meski pedas.” ujarnyal tertawa.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Menu spesial
Salah satu menu yang pasti dibuatnya di bulan puasa adalah ikan belado tongkol yang pedas, dan sate ayam. Untuk hidangan penutup, tak lupa Nana menyiapkan kolak singkong pisang, kurma dan es jeruk.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Asyiknya makan pakai tangan
“Kurang seru rasanya jika makan pakai sendok garpu,“ ujar Putri kepada ibunya sambil menyuap makanan ke mulut dengan genggaman tangannya. “Masakan mama saya selalu enak. Mengingatkan saya pada kampung halaman,” tambahnya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Bulan berkah
Baginya, bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah dan pengampunan. "Berpuasa bagiku tak hanya menahan lapar dan haus, tapi juga kesabaran. Sebagai umat Muslim, saya harus menjalankannya,“ tandas Nana. “Tak terasanya suasana Ramadan membuat saya sedih dan secara psikologis mengganggu,“ katanya. “Saya akan membayar zakat pada anak yatim di kampung saat Lebaran.”
Foto: DW/A.Purwaningsih
Yang penting berimbang
Nana selalu berusaha mengimbangi antara kehidupan modernitas di dunia barat, perbedaan budaya dan ketaaan beragama. “Akhir pekan saya meluangkan waktu berkegiatan latihan menyanyi musik Melayu untuk berbagai pementasan budaya. Ini penting untuk mempromosikan budaya Indonesia di masyarakat Jerman, dimana kini saya tinggal,“ ungkapnya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Masa depan
“Membiasakan diri melakukan kegiatan agama terutama di bulan Ramadan itu penting, karena suatu saat nanti saya dan suami sama-sama ingin tinggal di Lombok. Bukan hanya materi, mental dan hati harus siap,” tandasnya. “Di negara ini saya digembleng menghalau galau dan gamang dalam banyak hal, termasuk keimanan. Yang paling penting dari semua itu,selalu berbuat baik,” demikian Nana menutup kisahnya.
Foto: DW/A.Purwaningsih
18 foto1 | 18
Tujuan mendasar atau “makna utama” dari tradisi Lebaran ini adalah silaturahmi sekaligus permintaan maaf dan pengampunan kepada sesama manusia biasanya dimulai dari mereka yang statusnya “lebih rendah” dengan mereka yang “lebih tinggi” seperti anak kepada orang tua, buruh kepada majikan, yang muda kepada yang tua, anak buah kepada bos, dan seterusnya. Inilah yang disebut dengan halal bihalal yang menjadi inti atau ruh dari Lebaran, yakni sebuah pernyataan saling meminta maaf satu sama lainnya yang diterjemahkan dalam konteks bahasa lokal menjadi “Mohon maaf lahir dan batin.” Kadang-kadang disambung dengan kalimat “Minal aidin wal faizin”.
Ritual mohon maaf
Penting untuk dicatat bahwa “ritual tahunan permintaan maaf” ini, lagi-lagi, bukan hanya diucapkan oleh sesama Muslim saja tetapi juga berlaku untuk non-Muslim. Setiap tahun, saya juga mendapat ucapan “Mohon maaf lahir-batin, minal aidin wal faizin” ini dari berbagai teman—baik “teman nyata” maupun “teman maya” di internet.
Ketika mengomentari tentang tradisi Lebaran, mendiang antropolog Amerika, Clifford Geertz (1926–2006), dalam buku The Religion of Java yang sangat populer itu, menulis dengan cermat: “In a broad, diffuse and very general way, it [Lebaran] stresses the commonalities among all Indonesians, stresses tolerance concerning their differences [and] stresses their oneness as a nation. It is, in fact, the most truly nationalist of their rituals, and, as such, it indicates the reality and the attainability of what is now the explicit ideal of all Indonesians — cultural unity and continuing social progress.”
Meskipun observasi Clifford Geertz itu dilakukan pada tahun 1950-an ketika ia sedang meneliti tentang agama dan perubahan sosial di masyarakat Jawa, komentarnya dalam banyak hal masih valid hingga kini.
Melihat karakter, kualitas, dan “fungsi sosial” Lebaran ini yang mampu menjadi “perekat budaya”, maka bukanlah mengada-ada jika tradisi tahunan ini sebetulnya bisa dijadikan sebagai medium kultural untuk menggapai integrasi sosial, toleransi agama, persaudaraan antaragama, atau bahkan rekonsiliasi nasional sehingga hubungan antaragama dan antarkelompok yang kadang diwarnai ketegangan, konflik, dan kekerasan itu bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan dari bumi pertiwi Indonesia.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby
Visiting Senior Research Fellow, Middle East Institute, National University of Singapore, dan Staf Pengajar di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Ramadan di Jerman: Air Putih Pun Serasa Es Dawet
Mulai dari "bablas" sahur, buka puasa, sampai terlewat halte bis: inilah beragam suka duka warga Indonesia yang tinggal di Jerman di bulan puasa. Rata-rata yang mereka rasakan: rindu keluarga di tanah air.
Foto: DW/Y. Farid
Air putih serasa es dawet
Banyak hal ajaib yang dirasakan Andias Wira Alam saat berpuasa di Jerman. Jika puasa jatuhnya di musim panas --dimana puasa bisa 19 jam panjangnya--, air putih yang diminumnya saat buka serasa senikmat es dawet. Karyawan IT ini tinggal bersama istri dan dua putrinya di kota Bonn, Jerman. Tahun 2019 ini bulan puasa berlangsung di musim semi.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Diburu batas waktu tesis
Devi Fitria harus menjelaskan pada rekan kerjanya yang non-muslim mengapa ia stop makan, minum dan merokok pada bulan puasa. Kini rekannya lebih mengenal makna Ramadan. Devi berpuasa di tengah kesibukan kerja. Dulu saat kerja di sektor gastronomi, berat baginya berpuasa karena berjam-jam lamanya ia harus berdiri, menuang minuman dan menyiapkan makanan bagi tamu.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Terhindar godaan tukang bakso
Kegiatan Anggi Pradita segudang: kuliah, kerja di kafe & layanan kebersihan, aktif dalam kegiatan mahasiswa dan budaya. Meski sibuk berat, sejak tahun 2011 tinggal di Jerman, Anggi tak pernah sakit ketika berpuasa. Walau durasi puasa lebih lama, Anggi lebih suka berpuasa di Jerman: “Di Jerman tak banyak godaan, misalnya godaan jajanan bakso yang banyak mangkal di jalanan Indonesia.“
Foto: DW/A. Purwaningsih
Silat jalan terus
Tiap Ramadan tiba, Joko Suseno, sering merindukan suasana “heboh“ di kampung halaman, silaturahmi dengan teman-teman atau organisasi lain dengan berbuka puasa bersama. Pendiri Perguruan silat di Jerman ini sempat tak puasa ketika sakit kepala mendera dan harus minum obat. Namun jarang sekali puasanya ‘bolong‘. Bahkan saat puasa, ia tetap mengajar silat di dua kota, Bonn dan Köln seperti biasa.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Begadang menanti sahur
Saat masih di Indonesia, Siti sangat senang bisa tarawih bersama kawan-kawan. Di Jerman, tiap bulan puasa tiba, awalnya kesepian. Namun kini--Siti yang sangat aktif mengorganisir kegiatan budaya dan sosial di Jerman-- senang melihat banyak orang di Jerman yang juga berpuasa. Ia dan kawan-kawan kadang ‘begadang‘ bersama menunggu sahur tiba.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Tergoda perempuan cantik
Syamsir Alamsyah biasanya pulang kampung ke Kalimantan saat bulan puasa. Gitaris band Melayu di Jerman ini mengatakan: “Susah puasa di Jerman jika jatuhnya pada musim panas, banyak perempuan cantik jalan-jalan atau menikmati matahari yang jarang muncul di Jerman, dengan busana seronok. Di kampung, saya sibuk bersama keluarga dan teman, tak sempat jalan-jalan keluar seperti di Jerman.“
Foto: DW/A. Purwaningsih
Musim panasnya sejuk
Di Jerman tak ada Adzan Maghrib yang biasa terdengar dimana-mana, sehingga harus disiplin sendiri mengontrol waktu berbuka puasa maupun sahur, ujar Hosy Indradwianto. Jadi ia memantaunya lewat internet di telepon genggam. Karyawan Konsulat RI di Frankfurt ini mengaku mengalami kesulitan di awal bulan puasa. Lama-lama ia bisa menikmatinya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Reflek menjilat tumpahan sup
Bekerja di sektor gastronomi pada bulan puasa adalah tantangan berat bagi Bambang Susiadi. Namun ia tetap menjalankan ibadah puasa. ia berkisah, dulu, saat menyiapkan makan siang anak-anak sekolah di tempat kerja, tangannya pernah terkena tumpahan sup. Reflek, ia menjilatnya. Namun sebelum tertelan ia ingat sedang berpuasa.
Foto: Bonnindo
Halte bis jadi sering terlewat
Sebelum ke Jerman, Lenny Martini, sempat ‘keder’ dengan panjanganya jam berpuasa di musim panas, “Pas dijalani, ternyata biasa saja,“ ujar peneliti urban ini sambil tertawa. Tapi karena jam berbuka dan sahur menjadi amat pendek, otomatis jam tidurnya pun sangat berkurang, “Jadi sering ngantuk, tiap naik bis sering terlewat halte stopnya karena ketiduran.“
Foto: DW/A.Purwaningsih
Ramadan tak Ramadan, di Jerman sama saja
Sanusi kadang tak berpuasa, karena tidak mendapatkan suasana serupa seperti di kampung halaman. Di Jerman, bagi petugas museum ini, suasana Ramadan sama saja seperti bulan-bulan lainnya. “Semua sama saja, jadi tak ada perasaan apa-apa…“ Namun jika Ramadan tiba, rasa rindu Sanusi pada rang tua dan kampung halaman semakin menggebu.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Kangen "ngabuburit"
Michi Widyastuti kangen sahur dan berbuka puasa bersama keluarga. Ia tak pernah lupa asyiknya “ngabuburit“ di tanah air, sebelum akhirnya pindah ke Jerman. Meski karyawan toko organik ini pandai dan hobi memasak, tiap bulan puasa, ia tetap ‘ngidam‘ makanan enak di Indonesia. Ia tinggal di Jerman bersama suaminya yang orang Jerman dan putri kembarnya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Lupa buka puasa gara-gara nonton bola
"Tak ada adzan, tak ada kultum, tak ada tukang kolak..." demikian tutur Anky Padmadinata tentang Ramadan di Jerman. Ia mengaku jika keasyikan melakukan sesuatu, seperti nonton bola misalnya, kadang-kadang terlewat berbuka puasa. Tiga hari pertama puasa terasa berat karena tubuh belum terbiasa, setelahnya tak ada masalah.