Belakangan gencar istilah “diahokkan”, apakah itu? Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
"Diahokkan” kini jadi istilah baru. Artinya yaitu sebuah proses penjatuhan karir, reputasi, dan martabat seseorang melalui gerakan atau mobilisasi massa yang masif-intensif dengan cara-cara kotor dan keji serta tidak mengenal aturan dan norma hukum yang berlaku serta tata-krama berpolitik yang beradab.
Istilah "diahokkan” ini tentu saja merujuk pada sosok yang bernama Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang menjadi lakon dan pemeran utama drama sosial bergenre action comedy ini. Tidak bisa dipungkiri, Ahok memang menjadi korban permainan sejumlah elite politik, elite bisnis, dan elite agama yang merasa dirugikan dengan kehadiran Ahok.
Bagi sebagian kaum elite ini, Ahok dianggap sebagai musuh bersama, momok, dan mimpi buruk yang dapat menghalangi jalan terang dunia kekuasaan, perbisnisan, dan keagamaan yang mereka impikan, khayalkan dan idamkan. Bagi mereka, Ahok adalah duri yang harus dicabut. Oleh mereka, Ahok dianggap sebagai "kanker ganas” yang berpotensi menggerogoti tubuh-tubuh politik kekuasaan, iklim perdagangan, serta wacana dan praktek keagamaan yang mereka idealkan. Oleh karena itu, sebelum "kanker” ini menjalar kemana-mana, ia harus "dikemo” terus-menerus, harus dibersihkan, harus dijegal, harus dijungkalkan, harus dihancurkan sampai binasa.
Maka demikianlah, Ahok diserbu dari berbagai penjuru. Ahok dikepung dari berbagai arah. Berbagai elemen masyarakat yang merasa dirugikan oleh berbagai kebijakan politik-ekonomi Ahok (atau bahkan Presiden Joko Widodo) bersatu padu mengikuti irama gendang yang dimainkan oleh segelintir elite politik, bisnis, dan agama tadi. Para koruptor, preman, pedagang pasar, makelar, dai, ustad, khatib, pengurus masjid, dan jamaah pengajian semua bergerak maju ke "medan perang” melawan Ahok.
Berbagai ormas Islam, meskipun sebetulnya mereka berbeda pandangan keagamaan, mazhab pemikiran, platform, dan tujuan organisasi, juga bersatu padu menjegal Ahok. Tujuan mereka tentu saja agar Jakarta tidak dipimpin oleh, menurut mereka, "gubernur kafir dan penista agama” (baca, Islam).
Ahok Diserang Lagi, Kali Ini Dengan Karangan Bunga
Halaman Balai Kota DKI disesaki dengan sekitar seribu karangan bunga hingga meluber ke jalanan. Plakat kembang itu ditujukan bagi Ahok-Djarot. Pesannya mulai dari ucapan terima kasih, semangat, hingga 'curhat galau'.
Foto: B. T. Purnama
Setelah kalah bersaing di Pilkada
Pasca alami kekalahan dari pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan wakilnya Djarot Syaiful Hidayat menerima ribuan karangan bunga yang dialamatkan ke Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Lama-lama tak muat lagi
Tadinya karangan-karangan bunga kiriman dari berbagai orang dan kelompok masyarakat itu dipajang di halaman Balaikota. Namun karena jumlahnya terus bertambah, akhirnya meluber juga ke jalanan.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Ucapan terima kasih
Rata-rata isi pesan dalam karanagn bunga itu berupa ucapan penyemangat bagi pesangan Ahok-Dajrot yang kalah alam Pilkada DKI Jakarta 2017. Selain itu juga ucapan terima kasih atas perubahan yang warga alami di ibukota.
Foto: B. T. Purnama
1 kekalahan 1000 bunga
Bukan cuma dari individu, kelompok masyarakat juga ikut mengirim bunga. partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dikenal gigih memperjuangkan Ahok-Djarot dalam Pilkada mengirim karangan bunga super besar. Kata-katanya: "Satu kekalahan, seribu bunga merekah."
Foto: Partai Solidaritas Indonesia PSI
Jadi ajang foto
Pernah melihat karangan bunga sebanyak ini yang ditujukan bagi seorang pemimpin? Pajangan karangan-karangan bunga di sekitar Balaikota DKI Jakarta akhirnya jadi ajang selfie maupun foto bersama.
Foto: M. Tobing
Bagaimana membalasnya?
Ahok mengaku bingung ingin membalas karangan bunga dengan ucapan rasa terima kasih, tapi bagaimana caranya jika sebanyak itu? Lewat akun facebooknya, staf Ahok mendokumentasikan karangan-karangan bunga tersbeut.
Foto: Facebook
Menarik perhatian
Anggun, artis Indonesia yang bermukim di Perancis tak mau ketinggalan mengungkapkan perasaannya. lewat twitter ia menulis rasa terharunya melihat bunga-bunga untuk Ahok.
Foto: Twitter
Gagal 'move on'
Tak jarang, pesan dalam plakat bunga ini juga bernada lucu. Misalnya seperti kiriman dari warga yang mengaku galau setelah ditinggal Ahok-Djarot nantinya. (Ed: aap/rzn)
Foto: B. T. Purnama
8 foto1 | 8
Kini dapat momentum
Gerakan massa untuk menyingkirkan Ahok dari kursi gubernuran itu sebetulnya sudah dilakukan cukup lama tetapi selalu gagal karena belum mendapatkan "momentum” yang pas. Bahkan mereka sempat mendeklarasikan "gubernur tandingan” bernama Fahrurrozi Ishaq yang "dilantik” pada bulan Desember 2014 oleh Front Pembela Islam dan Gerakan Masyarakat Jakarta.
Bukannya mendapat sambutan luas, gubernur tandingan ini malah menjadi bahan ejekan dan tertawaan masyarakat. Maka, begitu "momentum” itu tiba, yaitu "kasus Al-Maidah” di Pulau Seribu, maka segera digemakan oleh berbagai kelompok kepentingan tadi sebagai sarana atau jalan untuk menumbangkan Ahok.
Padahal jelas, dalam pidato itu, Ahok tidak melakukan "penistaan agama” seperti yang mereka tuduhkan. Tetapi elite dan massa yang sudah bernafsu untuk menyingkirkan Ahok, tidak memperdulikan semua itu. Kepalsuan dianggap sebagai realitas. Hoax dianggap sebagai fakta. Dusta dianggap sebagai kebenaran. Fantasi dianggap sebagai nyata.
Maka demikianlah, karena mendapat tekanan kuat elite dan massa, hakim pun tak berdaya memutuskan Ahok bersalah karena menurutnya ia telah melakukan “penodaan agama” dan “meresahkan masyarakat”. Padahal, publik tahu, hati-nurani tahu, semua itu hanyalah akal-akalan belaka. Hakim dalam hal ini telah mengabaikan bukti-bukti otentik dan data akademik-ilmiah yang dipaparkan oleh para saksi ahli dari berbagai profesi yang dihadirkan selama persidangan berlangsung. Keputusan hakim atas kasus Ahok itu lebih tepat disebut sebagai “keputusan politik” ketimbang “keputusan hukum”.
Kasus Ahok ini persis seperti yang menimpa almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang digulingkan oleh "sindikat elite” yang bersinergi dengan kekuataan massa. Pelengseran Gus Dur itu bermula dari "kasus fiktif” bernama "Buloggate” yang kemudian menjadi "bola panas” dan dijadikan sebagai senjata oleh lawan-lawan politik Gus Dur untuk mendelegitimasi otoritas kekuasaanya. Karena kekisruhan elite politik, khususnya anggota parlemen, tidak terbendung dan tidak bisa didamaikan, maka ia pun akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden untuk membubarkan DPR/MPR RI seperti yang dulu pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno.
Q&A with Rizki Nugraha from DW's Indonesia desk on the Ahok blasphemy verdict
03:18
Sayang, pimpinan TNI waktu itu "tidak patuh” kepada presiden untuk mengamankan dekrit sehingga tidak efektif. Tiadanya dukungan elite TNI itu bisa jadi karena Gus Dur dulu banyak melakukan kebijakan "demiliterisasi” yang merugikan kelompok militer. Merasa mendapat angin, DPR/MPR pun tidak memperdulikan dekrit itu dan malah balik menyerang, mendelegitimasi dan memakzulkan Gus Dur melalui gerakan politik di parlemen. Demikianlah Greg Barton telah merekam dengan baik detik-detik pelengseran Gus Dur itu dalam bukunya Gus Dur: The Authorized Bioghraphy of Abdurrahman Wahid.
Seperti Gus Dur pula, Ahok juga menjadi sasaran sumpah-serapah. Jika Ahok "dicina-kafirkan”, maka Gus Dur di "disyiah-liberalkan” bahkan dicaci-maki sebagai "presiden buta”. Ahok juga menjadi korban politik rasisme dan etnosentrisme yang menjijikkan. Naifnya, banyak para elite politik yang diam-membisu membiarkan semua itu terjadi, membiarkan para mafia dan kaum rasis itu merobek-robek sendi-sendi kebangsaan hanya karena mereka "mengamini” tersingkirnya Ahok. Sungguh tragis dan memalukan.
Narasi Makar Hizb Tahrir
Keberadaan Hizb Tahrir sering dianggap duri dalam daging buat negara-negara demokrasi. Pasalnya organisasi bentukan Yusuf al-Nabhani itu giat merongrong ideologi sekuler demi memaksakan penerapan Syariah Islam.
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Buah Perang Arab-Israel
Adalah Yusuf al-Nabhani yang mendirikan Hizb Tahrir di Yerusalem tahun 1953 sebagai reaksi atas perang Arab-Israel 1948. Tiga tahun kemudian tokoh Islam Palestina itu mendeklarasikan Hizb Tahrir sebagai partai politik di Yordania. Namun pemerintah Amman kemudian melarang organisasi baru tersebut. Al Nabhani kemudian mengungsikan diri ke Beirut.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mimpi Tentang Khalifah
Dalam bukunya Al Nabhani mengritik kekuatan sekular gagal melindungi nasionalisme Palestina. Ia terutama mengecam penguasa Arab yang berjuang demi kepentingan sendiri dan sebab itu mengimpikan kekhalifahan yang menyatukan semua umat Muslim di dunia dan berdasarkan prinsip Islam, bukan materialisme.
Foto: picture-alliance/dpa/L.Looi
Anti Demokrasi
Tidak heran jika Hizb Tahrir sejak awal bermasalah dengan Demokrasi. Pasalnya prinsip kedaulatan di tangan rakyat dinilai mewujudkan pemerintahan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai hukum Allah. Menurut pasal 22 konstitusi Khilafah yang dipublikasikan Hizb Tahrir, kedaulatan bukan milik rakyat, melainkan milik Syriah (Hukum Allah).
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Kudeta Demi Negara Islam
Hizb Tahrir Indonesia pernah mendesak TNI untuk melakukan kudeta. “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!” tegas Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib di hadapan simpatisan HTI pada 2014 silam.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kemanusiaan Semu di Jantung Khalifah
Buat HT, asas kebebasan sipil seperti yang terkandung dalam prinsip Hak Azasi Manusia merupakan produk "ideologi Kapitalisme" yang berangkat dari prinsip "setiap manusia mewarisi sifat baik, meski pada dasarnya manusia hanya menjadi baik jika ia menaati perintah Allah."
Foto: Reuters
Tunduk Pada Pemerintahan Dzhalim
Kekhalifahan menurut HT mengandung sejumlah prinsip demokrasi, antara lain asas praduga tak bersalah, larangan penyiksaan dan anti diskriminasi. Namun masyarakat diharamkan memberontak karena "Syariah Islam mewajibkan ketaatan pada pemegang otoritas atas umat Muslim, betapapun ketidakadilan atau pelanggaran terhadap hak sipil yang ia lakukan," menurut The Ummah’s Charter.
Foto: Reuters
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Pluralisme dalam kacamata Hizb Tahrir sangat berbahaya, lantaran "merusak Aqidah islam," kata bekas Jurubicara HTI Muhammad Ismail Yusanto, 2010 silam. Perempuan juga dilarang menduduki kekuasaan tertinggi seperti gubernur atau hakim, meski diizinkan berbisnis atau meniti karir. "Pemisahan jender adalah fundamental", tulis HT dalam pasal 109 konstitusi Khilafah. (Ed: rzn/ap)
Foto: picture alliance/dpa/M.Fathi
7 foto1 | 7
Jakarta-lah yang sebenarnya kalah?
Bagi saya, lebih baik "diahokkan” ketimbang "dianieskan”. Ahok kalah dengan cara terhormat dan bermartabat. Bahkan sebetulnya Ahok tidak kalah. Jakarta-lah yang sebenarnya kalah. Bukan Ahok, melainkan Jakarta yang seharusnya rugi dan kehilangan sosok pemimpin yang kredibel, kapabel, tidak korup, dan berintegritas.
Istilah "dianieskan” yang dimaksud di sini adalah proses pendukungan karir politik kekuasaan seseorang melalui gerakan pemolesan kesalehan yang masif-intensif tetapi sebetulnya kamuflase dan penuh hipokrisi serta melalui jalan-jalan kotor penuh intrik dan manipulasi, politik rasisme, dan cara-cara etnosentris untuk menggapai kekuasaan itu.
Tentu saja harus saya tegaskan di sini bahwa tidak semua pendukung Anies dalam Pilkada waktu lalu itu menggunakan cara-cara kampanye dan propaganda yang kotor. Banyak para pendukung Anies-Sandi yang memakai cara-cara intelektualis-akademis yang sangat baik dan mendidik publik. Mereka lebih cocok ke Anies karena merasa kebijakan politik-ekonomi Ahok dinilai kurang pas untuk Jakarta ke depan.
Sayangnya, tidak semua kelompok dan elite itu "waras” dalam berpolitik. Bagi para pejuang sejati yang masih waras, bukan hanya tujuan yang penting, cara atau medium untuk mencapai tujuan itu juga penting. Tetapi bagi para pecundang tulen yang tidak waras, demi mencapai kekuasaan itu, jalan-jalan kotor yang penuh bau busuk itu pun dianggap bersih dan bau wangi karena buat mereka, "politik adalah kotor” dan sudah seharusnya digapai dengan cara-cara kotor.
Wara Wiri Gubernur Petahana
Meski segudang prestasi, gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta banyak mendulang kontroversi. Ini sejumlah skandal yang digunakan musuh politiknya untuk menohok bekas Bupati Belitung Timur tersebut
Foto: picture-alliance/AP Photo/D. Alangkara
Pro dan Kontra
Gayanya yang blak-blakan dan terbuka kerap memicu perang mulut dengan sejumlah politisi atau pejabat di Jakarta. Ahok yang mengincar kursi DKI 1 pada Pilkada 2017 harus menghadapi sejumlah skandal untuk bisa melanjutkan masa jabatannya. Mampukah musuh-musuh politiknya menjungkalkan Ahok?
Foto: picture-alliance/epa/B. Indahono
Singkat Kata Penistaan Agama
Berawal dari pidatonya di Pulau Seribu ihwal politisasi surat Al-Maidah 51, Ahok kini berseteru dengan kelompok Islam konservatif yang digalang FPI buat mencari keadilan di depan meja hijau. Polemik penistaan agama menjadi bola liar pada pilkada, lantaran dampaknya pada elektabilitas yang dinamis dan sulit diukur. Sidang kasus penodaan agama menjadi batu sandungan terbesar ahok menuju kursi DKI 1
Foto: Reuters/B. Indahono/Pool
Reklamasi Sarat Kontroversi
Simpang siur soal kewenangan pemberian izin reklamasi pantai utara Jakarta adalah batu sandungan terbesar buat Ahok jelang Pilkada 2017. Sang gubernur diyakini menyalahi aturan soal pemberian izin. Proyek raksasa tersebut akhirnya ditunda setelah pemerintah turun tangan. KPK menangkap anggota DPRD DKI Sanusi dan Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, atas dugaan kasus suap reklamasi.
Foto: Fotolia/aseph
Sumber Waras Tanah Bertulah
Berawal dari audit Badan Pemeriksa Keuangan, pembelian lahan di rumah sakit Sumber Waras memicu kontroversi karena diindikasikan sarat korupsi. Kasusnya hingga ditangani KPK. Negara ditengarai merugi sekitar 191 miliar Rupiah lantaran pembengkakan harga tanah. Tapi pemerintah daerah DKI meragukan keabsahan audit BPK karena dinilai menghitung harga tanah di jalan yang salah.
Foto: Gacad/AFP/Getty Images
Tumbang Luar Batang
Dengan rencana menata kampung Luar Batang dan Pasar Ikan di Jakarta Utara untuk dijadikan Kawasan Wisata Bahari Sunda Kelapa, Ahok menggusur rumah penduduk yang berdiri di atas tanah ilegal. Penggusuran itu mendulang kritik karena dinilai merugikan kaum miskin. Pemda DKI berkilah telah menyediakan rumah susun yang lebih layak untuk penduduk Luar Batang.
Foto: Reuters/Beawiharta
Darah Kurban di Jalur Hijau
Menjelang hari raya Idul Adha ratusan massa Front Pembela Islam menyantroni Gedung DPRD DKI Jakarta. Mereka mengecam Ahok karena telah melarang penyembelihan dan penjualan hewan kurban. Pemda DKI sebaliknya mengatakan cuma menjalankan peraturan daerah yang melarang penjualan hewan kurban di jalur hijau.
Foto: Reuters/Darren Whiteside
Geger Kalijodo
Selama berpuluh tahun Kalijodo dibiarkan menjadi sarang prostitusi gelap. Ahok nekad menggusur kawasan tersebut untuk dijadikan jalur hijau. Langkah pemda DKI disambut gugatan di PTUN oleh sejumlah tokoh masyarakat Kalijodo. Ahok juga dikritik lantaran menyertakan 1000 tentara dan polisi untuk mengawal penggusuran. Kisruh langsung mereda setelah penggusuran berakhir.
Foto: Imago/Xinhua
Kisruh Bantar Gebang
Berawal dari keluhan DPRD Bekasi soal sampah Jakarta, kisruh seputar TPS Bantar Gebang kembali bergulir. Ahok sebaliknya menuding pengelola TPS, PT. Godang Tua wanprestasi. Hasilnya truk-truk sampah DKI dihadang massa tak dikenal. Ahok pun bentrok dengan DPRD. Kisruh berakhir setelah Presiden Joko Widodo turun tangan.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Anggaran Siluman
Akhir 2014 Ahok murka lantaran menemukan dana siluman sebesar 8,8 trilyun dalam rancangan APBD 2015 yang telah digodok DPRD DKI. Setelah coret sana-sini, APBD kembali diserahkan kepada parlemen untuk dibahas. Namun DPRD memilih berpolemik karena merasa tudingan Ahok soal adanya indikasi mafia anggaran tidak berdasar. APBD DKI akhirnya baru disahkan bulan Februari dengan menggunakan pagu ABPD 2014.
Foto: Imago
9 foto1 | 9
Bagi para pecundang ini, tujuan adalah segalanya, meskipun dilakukan dengan cara-cara manipulatif, keji dan biadap. Bagi mereka, aneka jalan haram itu halal ditempuh yang penting ambisi dan kepentingannya serta kelompoknya bisa tercapai, meskipun harus menghancurkan sendi-sendi kebangsaan dan mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Contoh nyata mengenai hal ini adalah penggunaan masjid-mushala secara masif-intensif sebagai ajang kampanye untuk mendukung paslon Anies-Sandi dan propaganda hitam anti-Ahok. Padahal mestinya masjid dan mushala harus bersih dan netral dari kepentingan politik praktis.
Eep Saifuloh Fatah, penasehat politik Anies-Sandi, adalah figur yang disinyalir paling bertanggung jawab dalam hal ini karena dialah yang memberi "sinyal” dan "lampu hijau” kepada tim Anies-Sandi untuk menggunakan masjid sebagai medium kampanye dan propaganda lantaran "kesengsem” dengan keberhasilan partai Front Islamique du Salut (al-Jabhah al-Islamiyyah li al-Inqadh atau Islamic Salvation Front), sebuah partai Islamis radikal di Aljazair yang didirikan oleh Abbasi Madani dan Ali Belhadj yang sukses memenangkan Pemilu pada awal 1990-an karena menggunakan masjid sebagai instrumen kampanye dan propaganda untuk meraih dukungan pemilih. Partai ini sudah dibekukan, dan banyak anggota dan simpatisannya yang terlibat di berbagai jaringan radikalisme dan terorisme global. Tentang kelompok ini, simak studi Norman Larson, Islamic Resurgence in Algeria: The Rise of the Islamic Salvation Front.
Contoh lain tentu saja adalah berbagai "teror teologis” kepada masyarakat Muslim awam seperti ancaman masuk neraka kalau memilih Ahok atau tidak disalati / diurus jenazah yang semasa hidupnya (atau bahkan keluarganya) mendukung Ahok. Bahkan ancamam Jakarta akan kembali rusuh seperti tragedi "kerusuhan anti-Cina” tahun 1998, jika Ahok menang dalam Pilkada.
Semua itu adalah cara-cara berpolitik yang kotor, manipulatif, rasis, dan etnosentris yang seharusnya dihindari oleh semua pihak jika ingin membangun masa depan Indonesia yang lebih baik, bukan malah digemakan dan "dimasyarakatkan”.
Pat Gulipat ala Rizieq Shihab
Rizieq Shihab yang dulu gemar beradu otot dengan penguasa kini menjadi primadona politik jelang Pilkada. Tapi meski kian berpengaruh, sepak terjangnya kerap membuat gaduh. Kini Rizieq kembali digoyang.
Foto: Getty Images/Adek Berry
Pelarian Terakhir
Sejak 2014 Rizieq Shihab menjadi pelarian terakhir buat calon pejabat tinggi yang kekurangan suara buat memenangkan pemilu. Saat itu Front Pembela Islam (FPI) didekati duet Prabowo dan Hatta hanya sebulan menjelang pemilihan umum kepresidenan. Kini pun Rizieq kembali dirayu dua pasangan calon gubernur DKI yang butuh dukungan buat menggusur Basuki Tjahaja Purnama.
Foto: picture-alliance/dpa/B.Indahono
Tolak Perempuan
Rekam jejak politik FPI sudah berawal sejak era Megawati. Dulu Rizieq menggalang kampanye anti pemimpin perempuan. Saat itu organisasi bentukannya mulai mendulang dukungan lewat aksi-aksi nekat seperti menggerudug lokasi hiburan malam. Namun di tengah popularitasnya yang meluap, Rizieq dijebloskan ke penjara karena menghina Sukarno dan Pancasila.
Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images
Tanpa Daya Pikat
Sebulan menjelang pemilihan presiden pertama 2009, FPI mendeklarasikan dukungan buat Jusuf Kalla dan Wiranto. Serupa 2014, saat itu pun deklarasi dukungan oleh Rizieq gagal mendatangkan jumlah suara yang diharapkan. Pengamat sepakat, ormas agama serupa FPI belum memiliki daya pikat untuk menyihir pemilih muslim.
Foto: picture-alliance/dpa
Perang di Jakarta
Namun roda nasib berbalik arah buat Rizieq. Sejak 2013, dia telah menggalang kampanye menentang Gubernur Petahana Basuki Tjahaja Purnama lantaran tidak beragama Islam. Puncaknya pada 14 Oktober 2014 FPI menggalang aksi demonstrasi sejuta umat. Namun yang datang cuma ribuan orang. Pilkada DKI Jakarta 2016 akhirnya menawarkan panggung buat FPI untuk kembali menanamkan pengaruh.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Kampanye Anti Gubernur Kafir
Pidato Ahok yang mengritik politisasi Al-Quran untuk pemilihan umum dan pilkada menjadi umpan buat FPI. Bersama GNPF-MUI, Rizieq menyeret Ahok ke pengadilan dengan dakwaan penistaan agama. Ia pun menggelar aksi protes melawan Ahok yang kali ini mengundang ratusan ribu umat Muslim dari seluruh Indoensia. Manuver tersebut coba dimanfaatkan pasangan calon lain untuk menggembosi dukungan terhadap Ahok
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Koalisi Oposisi
Rizieq lagi-lagi naik daun. Ia pun didekati Agus Yudhoyono dan Anies Baswedan yang membutuhkan suara tambahan buat memenangkan pilkada. Untuk pertamakalinya FPI berpeluang memenangkan salah satu calon untuk merebut kursi strategis. Tapi serupa 2003, kali ini pun sepak terjang Rizieq di arena politik mendatangkan lawan yang tak kalah garang.
Foto: AFP/Getty Images
Pertaruhan Terakhir
Saat posisinya melambung, Rizieq Shihab terancam kembali diseret ke penjara dengan berbagai dakwaan, antara lain penghinaan simbol negara dan pornografi. Tapi sang Habib tidak tinggal diam dan memilih melancarkan serangan balik kepada Ahok, seakan nasibnya ditentukan pada hasil Pilkada DKI. Pertaruhan Rizieq menyimpan risiko tinggi. Namun jika berhasil, maka kuasa adalah imbalannya.
Foto: Getty Images/Adek Berry
7 foto1 | 7
Pelajaran buat semua warga
Akhirul kalam, semoga pertunjukan sandiwara Pilkada Jakarta bisa menjadi pelajaran buat semua warga dan lapisan masyarakat di seantero Tanah Air. Tentu saja buat mereka yang bersedia belajar dari pengalaman buruk masa lalu karena banyak juga manusia yang tidak mau belajar dari pengalaman pahit masa silam. Sebagai sebuah bangsa dan negara, Indonesia sudah beberapa kali menyajikan tontonan drama politik yang memuakkan dan menjijikkan penuh rasisme dan etnosentrisme, baik di tingkat nasional maupun lokal, yang memakan korban sesama anak-bangsa yang sudah tak terhitung jumlahnya. Gerakan G 30 S tahun 1965/6, tragedi Mei 1998, dan berbagai konflik kekerasan di Maluku, Poso, Sampit, dlsb, semua itu adalah bagian dari sejarah gelap di Indonesia yang semestinya bisa menjadi pelajaran berharga.
Tetapi sayangnya banyak yang tidak mau belajar dari peristiwa masa lampau atau mungkin menderita penyakit amnesia atau mungkin pura-pura pikun dan rabun sehingga selalu saja "drama sosial” yang buruk, kotor, kejam, rasis, etnosentris, dan biadab itu selalu terulang lagi dan lagi. Bukannya menyesali dan meratapi atas pertunjukan drama politik yang kotor dan culas, sejumlah kelompok bahkan tertawa riang-gembira menikmatinya dan merayakannya dengan berpesta-pora karena merasa berhasil menumbangkan rival politiknya dengan cara-cara nista. Sungguh sebuah ironi dan kemunduran sejarah yang luar biasa.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby (ap/yf)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Memilih Pemimpin Jakarta
Tiada hari tanpa pemberitaan ‘panasnya pilkada Jakarta 2017‘. Berbagai pergolakan politik mewarnai proses pemilihan orang nomor satu di ibukota negara ini. Inilah serba-serbi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Tiga paslon Gubernur DKI Jakarta
Tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam pilkada DKI Jakarta 2017: Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dengan nomor urut 1, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat mendapat nomor urut 2. Adapun Anies Baswedan-Sandiaga Uno nomor urut 3.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Demi Jakarta yang lebih baik
Ketiga kandidat menunjukkan bahwa mereka ingin menjadikan ibukota negara menjadi kota yang nyaman dan aman bagi semua penduduknya, serta bebas dari masalah yang selama ini menghantui: banjir, macet, dll. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan penduduk juga jadi tolak ukur.
Foto: Roxana Duerr
Penuh pertikaian dalam pertarungan
Namun, pertarungan dalam memilih pemimpin DKI Jakarta 2017 penuh dengan perseteruan. Aksi saling gempur buzzer yang kadang mengarah pada kampanye hitam, peredaran berita bohong, saling tuding dan berbagai kekisruhan lainnya. Hiruk pikuk jelang pemilihan kepala daerah itu seolah menenggelamkan seratusan wilayah lainnya yang juga akan menggelar pilkada pada tahun 2017.
Foto: Reuters/K. Pempel
Kepentingan siapa?
Kubu petahana bertarung dengan kubu lainnya, Dalam politik, memang ada prinsip tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan. Namun benarkah kepentingan ini adalah kepentingan rakyat?
Foto: AFP/Getty Images/Bay Ismoyo
Calon kontroversial
Jelang pilkada, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang merupakan keturunan Tionghoa dan bukan Muslim, tersandung kasus dugaan penistaan agama. Proses hukum terus berlangsung hingga pilkada digelar. Iapun banyak dikritik atas kasus penggusuran.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Demonstrasi besar
Aksi demonstrasi besar sehubungan dengan kasus dugaan penistaan agama, berlangsung pada akhir tahun 2016 di Jakarta dalam aksi yang disebut #412 dan #212. Para pemrotes yang ingin agar Ahok ditangkap, bukan hanya datang dari Jakarta, namun juga wilayah-wilayah lain.
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Syuflana
Calon putra mantan penguasa
Agus Harimurti Yudhoyono dikenal sebagai perwira muda cemerlang. Kakek dan ayahnya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono-- jenderal yang sangat terkenal. Pilihan Agus untuk pensiun dini adalah proses politik yang masih terus bergulir. Namun dukungan ayahnya, kerap malah jadi ‘bumerang‘ dalam pencalonan Agus. Masyarakat masih harus menunggu bagaimana performa Agus di medan politik.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mantan menteri yang kontroversial
Anies Baswedan membawa karakter-karakter kebalikan dari petahana. Mantan menteri pendidikan dan wakilnya Sandiaga Uno, mengaku banyak menemui tokoh nasional di selama masa kampanye. Namun pertemuan pria yang dulu dikenal amat moderat dengan Front Pembela Islam (FPI) memicu kekecewaan sebagian kalangan. Debat paslon memberi ruang bagi publik melihat kualitas calon yang mereka pilih.
Foto: Reuters/M. Agung Rajasa
Perang hukum dan medsos
Berkaitan dengan situasi jelang Pilkada DKI, perang hukum diwarnai aksi saling lapor ke kepolisian. Mulai dari laporan terhadap Ahok atas dugaan penistaan agama diikuti laporan terhadap ketua FPI, Rizieq Shibab untuk pelbagai kasus. Sementara itu, medsos pun ramai berkomentar setiap kali isu Pilkada mengemuka, apalagi jika menyangkut FPI yang dikenal berseberangan dan paslon petahana. (ap)