Lee Jae-myung, presiden baru Korea Selatan, resmi mengucapkan sumpah jabatan. Dia menekankan pentingnya rekonsiliasi dan mengembalikan demokrasi setelah menang dalam pemilihan presiden pada Selasa (03/06).
Presiden baru Korea Selatan Lee Jae-myung mengucapkan sumpahnya dalam upacara pelantikan di Majelis NasionalFoto: ANTHONY WALLACE/Pool via REUTERS
Iklan
Lee Jae-myung dilantik sebagai presiden baru Korea Selatan dalam upacara pengambilan sumpah pada Rabu (04/06) pagi di Majelis Nasional, Seoul. Dalam pidatonya, dia berjanji akan membangkitkan kembali ekonomi yang sedang lesu dan membangun jembatan rekonsiliasi antarwarga.
Lee dan pemerintah Partai Demokrat yang liberal mewarisi ekonomi yang diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 0,8%, angka pertumbuhan terendah sejak tahun 2020. Selain itu, ia juga harus menyatukan kembali negara yang terpolarisasi akibat upaya mantan presiden Yoon Suk Yeol yang dimakzulkan, karena memberlakukan darurat militer pada Desember 2024.
Dalam pidatonya, Lee menekankan bahwa inilah saatnya untuk memulihkan demokrasi setelah “krisis darurat militer”. Ia juga mengatakan akan mengupayakan dialog dengan Korea Utara demi menjaga perdamaian di Semenanjung Korea.
“Betapapun mahalnya, perdamaian lebih baik daripada perang,” katanya.
Komisi Pemilihan resmi kukuhkan Lee Jae-myung sebagai Presiden
Komisi Pemilihan Korea Selatan secara resmi mengumumkan Lee Jae-myung sebagai presiden baru.
"Masa jabatan presiden dimulai saat pemenang diumumkan, jadi sekarang saya akan mengonfirmasi waktunya. Waktu saat ini adalah pukul 6:21 pagi (21:21 WIB),” kata ketua Komisi Pemilihan Roh Tae-ak.
“Komisi Pemilihan Nasional dengan ini menyatakan Lee Jae-myung dari Partai Demokrat sebagai presiden terpilih.”
Korea Selatan biasanya memiliki masa transisi selama 60 hari untuk presidennya. Namun, karena negara itu diperintah oleh seorang pelaksana tugas presiden setelah pemakzulan mantan Presiden Yoon Suk Yeol, maka dalam hal ini Lee bisa langsung menjabat saat kemenangannya dikonfirmasi.
Lee mulai terjun ke politik pada tahun 2005 dan sempat kalah beberapa kaliFoto: ANTHONY WALLACE/Pool via REUTERS
Siapa sebenarnya Lee Jae-myung?
Lee Jae-myung punya kisah hidup yang penuh perjuangan. Dari pekerja anak, dia berhasil jadi pemimpin negara. Keluarga Lee tidak mampu membiayai pendidikan menengahnya, sehingga setelah lulus SD, ia harus bekerja di berbagai pabrik di Seongnam, sebuah kota dekat Seoul.
Di sebuah pabrik pembuat sarung tangan baseball, lengan kiri bawahnya terluka parah akibat mesin press, yang menyebabkan cacat permanen pada lengannya. Dalam keputusasaan, Lee dua kali mencoba bunuh diri.
Namun, meski memulai hidup dengan sulit, Lee berhasil masuk Universitas Chung-Ang Seoul dengan beasiswa penuh dan menjadi pengacara hak asasi manusia.
“Harapan dan ujian selalu datang bersama. Peran ujian bukan untuk membuat orang menyerah, tapi untuk menguji seberapa serius dan seberapa besar harapan mereka,” tulis Lee dalam memoar yang diterbitkan pada 2017.
Lee mulai terjun ke politik sejak 2005 dan sempat kalah beberapa kali dalam pemilihan. Pada 2010, ia terpilih sebagai Wali Kota Seongnam dan terpilih kembali pada 2014. Ia kemudian menjabat sebagai Gubernur Provinsi Gyeonggi, wilayah terpadat di negara itu yang mengelilingi ibu kota, selama lebih dari tiga tahun.
Pada 2022, Lee gagal menjadi presiden dengan selisih yang tipis dari Yoon Suk Yeol. Itu merupakan salah satu margin kemenangan terkecil dalam sejarah pemilihan Korea Selatan. Lee juga pernah menghadapi masalah hukum, termasuk tuduhan korupsi terkait proyek pengembangan properti dan pelanggaran undang-undang pemilu yang berkaitan dengan penyebaran informasi palsu. Ia membantah semua tuduhan dan menegaskan bahwa kasus-kasus itu bermotif politik.
Menurut para ahli hukum, dengan kemenangan Lee, proses hukum akan ditangguhkan karena kekebalan presiden dan baru akan dilanjutkan setelah masa jabatannya berakhir pada tahun 2030.
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Foto: Public Domain
13 foto1 | 13
Kandidat konservatif Kim Moon Soo akui kekalahan
Kim Moon Soo, kandidat konservatif utama, mengakui kekalahan dalam pemilihan presiden. Ia menyatakan dalam konferensi pers Rabu (04/06) pagi bahwa ia “dengan rendah hati menerima pilihan rakyat” dan mengucapkan selamat kepada rivalnya dari kubu liberal, Lee Jae-myung, atas kemenangan dalam pemilu. Lee berterima kasih kepada para pemilih dan berjanji akan bekerja “agar tidak mengecewakan harapan rakyat kita.”
Sebelum Kim mengakui kekalahan, hasil perhitungan suara sementara dan exit poll dari stasiun televisi utama menunjukkan Lee memimpin dengan selisih yang nyaman. Dengan lebih dari 86% suara yang sudah dihitung, Lee memimpin lebih dari 48% suara, sementara Kim memperoleh 42,7% suara.
Enam bulan lalu, mantan Presiden Yoon Suk Yeol -- yang berasal dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) konservatif yang sama dengan Kim, memicu krisis politik dengan mendeklarasikan darurat militer. Ia dimakzulkan dan diberhentikan dari jabatannya, sehingga memicu pemilihan yang baru ini. Lee mengatakan bahwa ia akan “maju dengan harapan dan memulai awal baru mulai saat ini.”
Iklan
Yang perlu kamu tahu soal Pemilu Korea Selatan
Sekitar 44,4 juta warga Korea Selatan memberikan suara pada pemilihan presiden mendadak Selasa lalu. Pemilu ini digelar karena Yoon Suk Yeol dimakzulkan.
Kandidat konservatif Kim Moon Soo gagal menarik dukungan pemilih karena partainya mengalami konflik internal. Pemungutan suara di 14.295 TPS di seluruh Korea Selatan dimulai pukul 6 pagi waktu setempat (21:30 GMT hari sebelumnya) dan berlangsung hingga pukul 8 malam.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris