1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikLibya

Terbitkan Mosi Tidak Percaya, Parlemen Picu Krisis di Libya

22 September 2021

Konflik bereskalasi usai parlemen yang dikuasai Khalifa Haftar menerbitkan mosi tidak percaya terhadap pemerintahan persatuan nasional di Tripoli. Kisruh teranyar dipicu oleh UU Pemilu yang kontroversial.

Parlemen Libya
Parlemen LibyaFoto: AA/picture alliance

Sebanyak 89 dari 113 anggota legislatif menghadiri sidang istimewa parlemen di kota Tobruk, di timur Libya, Selasa (21/9). Hanya tiga bulan menjelang pemilihan umum, mayoritas mendukung mosi tidak percaya kepada pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdulhamid Dbeibah.

Langkah itu memperkuat perpecahan yang menghinggapi Libya sejak parlemen mengesahkan UU Pemilu tanpa proses pemungutan suara, awal September silam. Legislasi yang baru ditengarai sangat menguntungkan Khalifa Haftar. Bekas perwira berbintang itu mengontrol wilayah timur, dan praktis menguasai parlemen.

Akibatnya Dewan Tinggi (HCS) yang berlaku layaknya senat di Tripoli menuntut agar pemilihan diundur setidaknya selama setahun. Menurut Ketua Umum HCS, Khalid al-Mishri, UU tersebut dibuat "tanpa pencoblosan legal atau konsensus,” kata dia, Senin (20/9).

Hanya beberapa jam sebelumnya, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengumumkan rencana menggelar Konferensi Libya pada 12 November mendatang. Menteri Luar Negeri Jean-Yves Le Drian mengatakan pertemuan itu dilaksanakan dengan agenda "pemilu di bulan Desember,” kata dia seperti dilansir Reuters.

Rabu (22/9), Le Drian dan Menlu Jerman, Heiko Maas dan Luigi Di Maio dari Italia akan mengorganisir pertemuan mengenai Libya di sela-sela Sidang Umum PBB di New York, AS. Prancis bersikeras penyelenggaraan pemilu dilangsungkan sesuai jadwal.

Daerah kekuasaan pemerintah persatuan nasional (GNA) yang bermarkas di Tripoli, dengan Tentara Nasional Libya (LNA) di Benghazi.

Adu sakti kekuatan proksi

Pemilu sedianya diharapkan mampu menjamin perdamaian di Libya. Ia membuka kesempatan bagi kedua pihak menjembatani perbedaan secara damai lewat jalur politik. 

Sesuai kesepakatan yang dibuat beberapa bulan silam, Pemerintahan Persatuan Nasional (GNU) mengemban fungsi eksekutif, sementara Khalifa Haftar diwakili oleh parlemen di Tobruk. Melalui pemilu, PBB berharap juga bisa menjauhkan campur tangan negara asing dalam konflik di Libya.

Keberadaan pasukan asing merupakan rintangan terbesar bagi perdamaian. Menurut PBB, hingga kini sebanyak 20.000 pasukan bayaran dan gerilyawan asing masih bercokol di Libya. 

Di antaranya juga terdapat serdadu Rusia yang disewa perusahaan keamanan swasta, Wagner. Menurut Komando Amerika Serikat di Afrika (AFCOM), Wagner memiliki 2.000 tentara bayaran di Sirte dan Jufra.

Bersama Mesir, Prancis dan Uni Emirat Arab, pemerintah di Moskow giat menyokong pasukan Haftar. Adapun GNU baru mampu mengimbangi rival di timur berkat intervensi militer Turki. Hingga kini Ankara masih menempatkan ratusan serdadunya untuk mengamankan Tripoli.  

Dua pekan lalu, Ketua Senat Libya, al-Misri, diundang oleh Kemenlu Turki untuk membahas proses penyelenggaraan pemilu. Bisa diduga, desakan menunda pemilu sudah dikonsultasikan dengan Ankara. 

Namun begitu, Amerika Serikat yang sudah hengkang, namun masih bekerjasama dengan GNU, bersikeras menilai pemilihan umum sebagai "kesempatan terbaik dalam satu dekade terakhir bagi Libya untuk mengakhiri perang.”

rzn/gtp (ap,afp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya