Lengsernya Kanselir Jerman Munculkan Instabilitas Dunia?
27 Agustus 2021Kanselir Jerman Angela Merkel sempat mendapat julukan sebagai “The Leader of the Free World” ketika para populis otoriter berunjuk rasa di Eropa dan Amerika Serikat; namun Merkel meninggalkan 16 tahun kepemimpinannya dengan penuh ketidakpastian—baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pasalnya, Merkel, 67, selama ini juga acap disebut dalam lingkup eksekutif sebagai “kanselir abadi” karena popularitasnya sangat kuat dan dianggap bisa saja memecahkan rekor memimpin Jerman selama lima periode jika menginginkannya. Namun Merkel justru memutuskan mundur sebagai kanselir Jerman atas pilihannya sendiri; meninggalkan sebuah generasi pemilih tanpa mengetahui siapa orang lain yang bisa menggantikannya.
Para pendukungnya menyebut Merkel telah menghadirkan kepemimpinan yang stabil dan pragmatis dalam melewati berbagai krisis global sebagai pihak penengah dan figur pemersatu. Namun, para kritikus berpendapat gaya kepemimpinan Merkel yang cenderung mengatasi persoalan di depan mata, diperkuat konsensus seluas mungkin, menjadikan Eropa dan perekonomiannya kurang memiliki visi yang jelas untuk beberapa dekade mendatang.
Terlepas dari hal itu, apa yang bisa dipastikan dari berakhirnya masa kepemimpinan Merkel ialah konstelasi politik yang terpecah oleh pertanyaan besar terkait siapa yang akan memimpin Jerman dalam beberapa minggu jelang pemilu 26 September 2021 mendatang.
Afrika ditinggal tanpa kepastian?
Sebuah era akan berakhir Jumat (27/8) ini ketika kanselir Jerman Angela Merkel bertemu para kepala negara Afrika secara langsung dan daring dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) “Compact with Africa Conference.” KTT ini digadang-gadang menandakan berakhirnya peran Afrika yang lebih luas dalam kancah politik Jerman dibanding sebelumnya dengan berakhirnya kepemimpinan Merkel.
KTT di Berlin ini lantas didapuk sebagai acara untuk sebatas menilai keadaan dan situasi. Dari sudut pandang Jerman, hasilnya terlihat positif.
“Tentu saja akan ada lebih banyak perusahaan Jerman yang aktif beroperasi di Afrika, terutama Usaha Mikro, Kecil & Menengah (UMKM). Kami melihat ada pertumbuhan yang signifikan di tahun 2018 dan 2019, sebelum pandemi korona,” terang Christoph Kannengiesser, direktur eksekutif Africa Association of German Business, kepada DW.
Sementara itu, para petinggi Afrika diperkirakan tetap akan menyampaikan kata-kata yang menyenangkan untuk perpisahan kepada Merkel. Namun tidak banyak antusiasme tersisa untuk “Rencana Merkel” itu—seperti yang pernah disampikan Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara di awal tahun 2017 silam.
“Jika saya melihat negara-negara Afrika hari ini dan dibandingkan dengan pernyataan kanselir sebelumnya, saya ragu aktivitas perekonomian Jerman mengalami peningkatan signifikan,” Olumide Abimbola, direktur think-tank Africa Policy Research Institute (APRI) di Berlin, menjelaskan kepada DW.
Akankah “Rencana Merkel” bisa berlanjut?
Tahun 2017 hingga 2019, investasi Jerman di Afrika tumbuh berkisar 1,57 miliar euro (sekitar 26 triliun rupiah). Angka ini terbilang rendah. Pasalnya, seluruh Afrika hanya mendapatkkan 1% dari keseluruhan investasi Jerman di seluruh dunia.
Belum ada data yang dikeluarkan untuk tahun 2020, namun diperkirakan akan stagnan, atau dalam skenario paling baik, tumbuh sedikit akibat pandemi. Selain itu, sebagian besar perusahaan Jerman belum memandang Afrika menarik. Di tahun 2019, hanya 884 perusahaan yang berinvestasi di sana—42 perusahaan lebih banyak dibandingkan tahun 2017.
Selain itu juga belum dapat dipastikan siapa yang akan diuntungkan pada akhirnya.
“Kami harus memastikan kesepakatan investasi di Afrika bisa terpenuhi: yakni menciptakan lapangan kerja, perekonomian tumbuh, dan ada pembangunan berkelanjutan,” sebut Abimbola, menyebut janji yang disampaikan pemerintah Jerman.
Oleh karenanya, dalam KTT yang digelar hari ini, para pemimpin Afrika kemungkinan akan bertanya kepada kanselir petahana sebuah pertanyaan penting: Apa yang terjadi pascapemilu Jerman? Pasalnya, selain Angela Merkel, Menteri Pembangunan Jerman Gerd Müller juga akan absen dalam struktur pemerintahan baru nanti. Artinya, kedua arsitek penting dalam kebijakan baru Jerman untuk Afrika sedang meninggalkan proyeknya.
Merkel dan keinginannya lepas dari dunia politik
Hasil sebuah polling Pew Research Center akhir tahun lalu menunjukkan mayoritas penduduk negara Barat “percaya Merkel bisa melakukan hal yang benar dalam urusan global.”
Namun, setali tiga uang dengan keraguan “Rencana Merkel” di Afrika, hari terakhir Angela Merkel menjabat sebagai kanselir Jerman pun tercoreng oleh apa yang disebut Merkel sendiri sebagai peristiwa yang “pahit, dramatis dan buruk” akibat kembalinya Taliban memimpin Afghanistan—sebuah kegagalan di mana Merkel turut memiliki andil dengan ditariknya pasukan Jerman dari Afghanistan.
Meski begitu, sebagai ahli kimia kuantum terlatih yang dibesarkan di balik Tirai Besi, Merkel telah lama berjalan selaras dengan para pendukung setianya agar tetap bertindak sebagai penjamin stabilitas.
Pergantian besar kebijakan yang diambilnya selama ini dianggap telah merefleksikan keinginan mayoritas warga Jerman—di antaranya menghentikan pembangkit listrik tenaga nuklir pascabencana Fukushima tahun 2011—dan berhasil menarik secara luas koalisi baru pemilih perempuan dan penduduk urban untuk partai CDU yang dulu dikenal sangat amat konservatif.
Meski namanya telah masuk dalam daftar nama yang diunggulkan untuk mengisi posisi kunci di Uni Eropa maupun PBB, Merkel mengatakan dirinya akan meninggalkan dunia politik sepenuhnya.
Ketika diwawancara dalam kunjungan terakhirnya ke Washington, D.C. Juni lalu tentang apa yang akan dia paling ingin lakukan, Merkel menjawab “tidak harus terus menerus mengambil keputusan.”
th/vlz (AFP)