1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Suka Sesama Jenis Bukan Penyakit. Ini Penjelasan Ilmiahnya

20 Mei 2025

17 Mei 1990, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menghapus homoseksualitas dari daftar penyakit. Ahli menjelaskan, orientasi sesksual adalah takdir, bukan pilihan.

Simbol LGBTQ
Cinta itu penuh warna, namun orientasi seksual seseorang memecah belah opini masyarakat secara keseluruhanFoto: DyD Fotografos/Geisler-Fotopress/picture alliance

Sebelum tanggal 17 Mei 1990, suka sesama jenis dianggap sebagai semacam "penyakit mental". Banyak dari mereka yang dikurung di rumah sakit jiwa atau penjara dan "diobati” dengan sengatan listrik atau psikoterapi yang efeknya meragukan.

Di masa ini, jelas bahwa orang homoseksual, biseksual, atau transeksual tidak sakit dan tidak pernah sakit, ujar Direktur Institut Seksologi dan Kedokteran Seksual di Charité di Berlin, Prof. Dr. med. Klaus M. Beier.

Ia menjelaskan: "Saat ini sudah jelas: Tidak ada orang yang memilih orientasi seksualnya. Itu adalah takdir, bukan pilihan. Di bawah pengaruh hormon seks selama masa pubertas, terbentuklah apa yang para ahli sebut sebagai 'struktur preferensi seksual.' Dan sejak remaja, sudah terprogram pada diri seseorang, jenis kelamin apa yang menjadi orientasinya, seperti apa tubuh orang yang diinginkan, dan interaksi seksual seperti apa yang diinginkan orang tersebut."

Setelah fase perkembangan pada masa remaja ini, preferensi seksual masing-masing tetap stabil, kata Beier. "Gejala ini berkembang pada masa remaja dan kemudian tetap stabil sepanjang hidup, meskipun ada beberapa orang yang ingin mengubah orientasi seksualnya, misalnya karena tekanan sosial untuk menjadi seperti yang diharapkan masyakarat agar ia menjadi orang lain," tambahnya.

Hungaria: Demonstrasi Mengecam Larangan Acara LGBTQ+

01:26

This browser does not support the video element.

Hiomoseksulitas masih saja dipermasalahkan  di banyak tempat

Hak asasi manusia universal mencakup hak atas kebebasan orientasi seksual. Seksualitas itu beragam dan selalu beragam. Hal ini bukan sekadar tren sesaat atau, misalnya, terbatas pada masyarakat yang sangat liberal.

"Kesetaraan hak asasi manusia mencakup hak untuk orientasi seksual yang bebas. Seksualitas adalah dan selalu menjadi hal yang beragam. Itu bukanlah sebuah tren, dan juga tidak terbatas pada masyarakat yang sangat liberal.

"Orientasi sesama jenis, berdasarkan data yang kami miliki, ada pada sekitar tiga hingga lima persen dari populasi, dan ini berlaku secara lintas budaya. Seksualitas manusia tidak bisa berubah. Itu ditandai dengan keragaman ini – dan tidak bisa dilihat dengan cara lain,' kata ahli seksologi Beier, "Oleh karena itu, adalah salah untuk menilai atau bahkan menghakimi seseorang karena orientasi seksualnya."

Meskipun demikian, orientasi seksual individu kerap memecah belah masyarakat. Stigma ini terkadang menyebabkan pengucilan, diskriminasi dan penganiayaan terhadap mereka.

Homoseksualitas, misalnya, dapat dihukum di sedikitnya 67 negara, dan di tujuh negara tindakan seksual sesama jenis bahkan dihukum mati.

Hampir setengah dari semua negara di dunia yang melarang homoseksualitas, terdapat di Afrika. Hanya 22 dari 54 negara Afrika resmi yang melegalkan homoseksualitas. Di beberapa negara, kaum LGBTQ+ dapat dihukum penjara. Di Mauritania, Nigeria, Somalia, dan Sudan Selatan, bahkan terancam hukuman mati.

Bagaimana orientasi seksual berkembang?

Sebuah pertanyaan sederhana yang tidak ada jawaban yang sederhana atau pasti. Tidak ada penyebab tunggal untuk orientasi seksual, melainkan berbagai model penjelasan genetik, hormonal dan interpretasi sosiokultural.

"Menurut ilmu pengetahuan saat ini, ini adalah proses multifaktorial. Belum ada yang mampu mengidentifikasi satu faktor tunggal yang dapat menjadi penyebab seseorang berorientasi pada sesama jenis dan orang lain berorientasi pada lawan jenis," kata Beier.

Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa interaksi kompleks antara faktor biologis dan sosial bertanggung jawab atas perkembangan orientasi seksual.

Pembunuhan demi Kehormatan, Banyak Transgender di Pakistan jadi Korban

02:29

This browser does not support the video element.

Faktor pengaruh biologis

Faktor biologis yang memengaruhi perkembangan orientasi seksual yang telah diteliti meliputi gen, yaitu faktor keturunan, serta hormon dan zat kimia (prenatal). Hasilnya:  Orientasi seksual bukanlah sesuatu yang bersifat bawaan, artinya tidak turun-temurun.

Studi mengenai keluarga dan saudara kembar memang menunjukkan bahwa dalam beberapa keluarga terdapat lebih banyak kasus homoseksualitas. Namun, penanda genetik yang ditemukan tidak terlalu signifikan, dan tidak ada satu pun 'gen homoseksualitas'.

Dengan kata lain, meskipun ada pola tertentu dalam keluarga yang menunjukkan lebih banyak individu homoseksual, hal itu tidak membuktikan bahwa homoseksualitas diturunkan melalui gen secara langsung.

Hormon dan zat kimia lainnya

Kemungkinan juga hormon seperti testosteron dan zat kimia seperti feromon berperan dalam perkembangan orientasi seksual. Feromon adalah zat yang mengeluarkan aroma yang bisa mempengaruhi perilaku seksual.

Penelitian menunjukkan bahwa feromon pria dapat merangsang aktivitas hipotalamus pada perempuan heteroseksual dan pria homoseksual – tapi tidak pada pria heteroseksual. Hipotalamus adalah kelenjar di otak yang mempengaruhi perilaku insting atau naluri dan fungsi seksual kita.

Pengaruh sosial terhadap orientasi seksual

Boneka dan pakaian untuk anak perempuan, peralatan dan mobil untuk anak laki-laki – biasanya mainan perempuan atau laki-laki tidak mempunyai pengaruh terhadap orientasi seksual. Hal yang sama berlaku pula dalam hal pendidikan atau bagaimana seorang anak dibesarkan.

Memang benar bahwa ada sebagian orang baru menjalani orientasi seksualnya di kemudian hari. Namun pada prinsipnya, preferensi seksual tidak berubah sepanjang hidup.

"Kami memiliki bukti yang sangat kuat bahwa hal ini tidak mungkin. Ada penelitian lanjutan tentang orientasi seksual. Ada 'upaya konversi' pada pria yang berorientasi penyuka sesama jenis.

Hal ini dicoba dalam penelitian yang lebih besar di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Namun upaya konversi tidak membuahkan hasil, yang artinya ini jadi bukti kuat bahwa orientasi seksual sangat stabil.

Sementara orientasi seksual berkembang selama masa pubertas, perkembangan identitas gender dimulai pada masa kanak-kanak dan sudah selesai atau tak dipertanyakan lagi bagi kebanyakan orang pada usia lima atau enam tahun, demikian menurut Prof. Beier.

Sejak usia ini, anak-anak dapat melihat diri mereka sendiri dalam jenis kelamin pada masa depan mereka dan dengan demikian membuat asumsi tentang masa depan mereka sebagai pria atau perempuan.

Setelah orientasi seksual seseorang terbentuk, itu tidak akan berubah lagi. Bahkan tidak melalui 'godaan' atau kontak seksual di usia dini. 'Itu tidak benar,' kata ahli seksologi Beier. 'Bukti pentingnya: Ada banyak orang yang saat remaja melakukan kontak seksual dengan sesama jenis, tetapi mereka tidak memiliki orientasi sesama jenis.'"

Faktor penentu bagi perkembangan identitas seseorang adalah apakah anak tersebut mendapat dukungan atau penolakan dari orang tuanya. Jika anak-anak dan remaja menghadapi penolakan yang kuat, mereka sering kali harga dirinya jadi relatif lebih lemah. Jika penolakan orang tua berkaitan dengan identitas atau orientasi seksual anak, hal itu dapat menimbulkan depresi dan pikiran untuk bunuh diri.

Seksualitas itu beragam

Terutama dalam masyarakat di mana kaum minoritas seksual dikecualikan dan dianiaya, perdebatan bebas prasangka tentang keberagaman seksual sangatlah penting, ujar Direktur Institut Seksologi dan Kedokteran Seksual di Charité di Berlin itu.

Dari sudut pandang ilmiah, orientasi seksual bukan merupakan penyakit atau "tidak wajar." Namun apa yang ditoleransi, atau apa yang dianggap "normal” atau "tidak alami,” ditentukan oleh norma sosial. Norma-norma ini dapat berubah secara signifikan tergantung pada waktu dan konteks. Namun sifat alamiah manusia tidak berubah.

*Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jernan

Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

Editor: Yuniman Farid

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya