1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

LGBT Terancam Dijerat Pidana?

Rahka Susanto
20 Mei 2022

Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan pemerintah setuju terkait pasal pidana bagi LGBT di RUU KUHP. Sikap Mahfud MD dinilai sarat agenda politik dan menyebar kebencian pada kelompok minoritas.

Parade LGBTQ di Taipei, Taiwan
Ilustrasi: Parade LGBTQ di Taipei, TaiwanFoto: Ceng Shou Yi/NurPhoto/picture alliance

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyatakan setuju pada munculnya pasal pidana bagi lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Menurut Mahfud, pasal pidana bagi LGBT di Indonesia tengah digodok dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

"Iya (LGBT bisa dipidana). Di RUU KUHP dipidana. Di RUU KUHP sudah masuk, bahwa dalam cara-cara tertentu dilarang dan ada ancaman pidananya. Kan gitu. Tetapi waktu itu kan ribut. Karena ribut, ya ditunda," ungkap Mahfud Md dalam acara Simposium Nasional Hukum Tata Negara di Nusa Dua, Bali (18/5).

Menko Polhukam juga menyatakan sepakat dengan rumusan LGBT di RUU KUHP. "Kalau saya sejak dulu ya sudah, sudah bener rumusannya. Kalau masih ada yang tidak setuju, sampai kapan volume yang setuju itu di Indonesia? Jadi disahkan saja. Kalau nggak, ya diperkarakan saja ke MK, dinilai oleh MK. Kan sudah ada prosedurnya," tegas Mahfud.

Dikritik kelompok pembela hak asasi

Pernyataan Mahfud MD sebagai Menko Polhukam dikritisi oleh banyak pihak. Ujaran Mahfud MD dinilai sebagai pembangkangan terhadap hak asasi manusia (HAM). Kepada DW Indonesia, Pengacara Publik dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Ma'ruf Bajammal mempertanyakan komitmen negara dalam menjamin terwujudnya nilai-nilai anti-diskriminasi.

"Dengan adanya statement tersebut, maka komitnen negara sebagai penanggungjawab terhadap pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan HAM dipertanyakan,” ujar Ma'ruf Bajammal.

Sebelumnya, Indonesia tidak mengatur adanya aturan hukum pidana bagi LGBT. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, seseorang yang mengidentifikasikan diri sebagai LGBT tidak dapat dijerat oleh aturan hukum. KUHP hanya mengatur pidana bagi pelaku kekerasan seksual.

Dalam perjalanannya RUU KUHP itu sudah beberapa kali masuk sebagai program legislasi nasional. Pada 2022, RUU KUHP kembali berstatus sebagai RUU Prioritas yang harus segera diselesaikan oleh DPR. Sementara, KUHP yang berlaku saat ini, merupakan aturan pidana yang sudah diterapkan sejak era kolonial.

Ucapan dinilai mengarahkan kebencian pada LGBT

Munculnya pernyataan Mahfud MD terkait jerat pidana pada LGBT di RUU KUHP itu, dinilai sebagai menyesatkan. Staf Respon dari Crisis Response Mechanism (CRM), konsorsium yang berfokus pada penanganan krisis bagi kelompok minoritas seksual dan gender, Riska Carolina, menyebut pernyataan Menko Polhukam mengarahkan masyarakat pada kebencian terhadap kelompok LGBT.

"Agenda apa yang dimainkan oleh Mahfud MD? Sehingga menyerang LGBT. Ada tujuan politik apa? Jangan sampai karena ada agenda tertentu jadi melanggar HAM. LGBT-nya tidak ada agenda, tapi malah Mahfud MD yang sebenarnya punya agenda,” ungkap Riska Carolina kepada DW Indonesia.

Munculnya pasal yang memidanakan LGBT dianggap bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang menjamin perlindungan pada setiap individu tanpa rasa diskriminasi. Hal ini berimplikasi pada upaya kriminalisasi seseorang berdasarkan orientasi seksual. "Negara tidak sepatutnya memidanakan seseorang hanya berdasar pada orientasi seksual,” tegas Ma'ruf Bajammal dari LBHM.

Menurut data CRM, draft RUU KUHP pada medio 2019-2020 tidak menyatakan adanya pasal yang memidanakan LGBT. "Sebelumnya memang ada pasal pencabulan yang awalnya diskriminatif yang memberi pidana lebih besar bagi pelaku pencabulan sesama jenis. Namun sudah direvisi pasalnya,” jelas Riska Carolina. Terkait adanya ungkapan Mahfud MD soal pasal pidana bagi LGBT, CRM meminta pemerintah untuk dapat membuka secara transparan draft terbaru RUU KUHP.

Terkait pro dan kontra di masyarakat, Mahfud MD menyebut "Kan sudah 63 tahun dibahas, menunggu semua orang setuju, nggak selesai. Menurut saya, ya sudah. Kalau tidak sesuai, nanti dicoret oleh MK. Sudah biasa.”

Sementara, kepada DW Indonesia, Pengamat Hukum Tata Negara sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan,  Atang Irawan mengatakan, secara konstitusi aturan terkait HAM dapat saja disimpangi oleh Undang-Undang, meski demikian, ia mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog dalam perumusan RUU KUHP.

"Bagi yang kontra, berpandangan bahwa negara melulu mengatur moralitas, maka dipandang terlalu berlebihan negara mengintervensi hak privat warga negaranya. menurut saya, memang yang paling signifikan dibuka ruang dialog,” pungkas Atang Irawan. 

(as)