1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Libanon - Setahun Setelah Resolusi PBB

Birgit Kaspar7 Agustus 2007

Sepintas keadaan di Libanon tampaknya membaik. Tetapi kekhawatiran tetap ada, dan perbaikan sepenuhnya belum tampak. Bahkan sebaliknya, perpecahan dapat menyebabkan krisis.

Tentara PBB dalam misi perdamaian di Libanon
Tentara PBB dalam misi perdamaian di LibanonFoto: AP

Warga Libanon kini kembali mengunjungi kolam renang, pusat perbelanjaan dan restoran. Kehidupan di negara itu nampaknya kembali normal, setelah sejumlah serangan bom terjadi. Juga serangan bom yang menyebabkan dua politisi anti Suriah tewas. Tetapi sebenarnya rakyat Libanon merasa khawatir akan adanya serangan.

Setahun Setelah Resolusi PBB

Setahun setelah dikeluarkannya resolusi PBB no. 1701, yang menghasilkan gencatan senjata antara Israel dan milisi radikal Shiah Hisbullah, keamanan di Libanon belum terjamin. Seperti di masa perang saudara dulu, negara itu terpecah antara pemerintah pro Barat di bawah Fuad Siniora, dan oposisi di bawah Hisbullah dan Jendral Aoun.

Memang tidak ada yang menginginkan perang saudara, tetapi tidak ada lagi yang yakin, bahwa perang saudara tidak akan terjadi. Sementara itu keresahan rakyat bertambah, dengan adanya berita-berita tentang fraksi politik yang kembali dipersenjatai. Walid Jumblatt, seorang pemimpin agama dan pendukung penting pemerintahan Siniora membenarkan adanya perpecahan itu. Ia mengatakan, rakyat Libanon terjepit di antara kubu pemerintah di bawah Fuad Siniora dan kubu Hisbullah.

Bantuan dari Luar Negeri

Dengan lebih dari 11.000 tentara helm biru yang mayoritas berasal dari Eropa, UNIFIL berpatroli tiap hari di desa-desa di Selatan sungai Litani. Dengan adanya resolusi PBB no. 1701, setidaknya Libanon mengirimkan 15.000 tentara ke daerah perbatasan dengan Israel. Di daerah ini milisi Hisbullah tidak berperan lagi.

Komandan UNIFIL, Mayor Jenderal Claudio Graziano mengatakan, di Libanon Selatan dan di daerah-daerah lain tentu saja masih ada senjata. Yang penting, senjata itu tidak ditunjukkan dan proses menuju pelucutan senjata tetap berjalan. Tetapi ia menambahkan, hanya proses diplomasilah yang dapat menghasilkan pelucutan senjata.

Penjagaan Keamanan Laut

Keadaan yang tidak aman di Libanon Selatan, juga bagi tentara UNIFIL, tampak jelas dari serangan bom mobil Juni lalu, yang menyebabkan enam tentara helm biru asal Spanyol tewas. Bahaya semacam itu tidak mengancam sekitar 900 marinir Jerman, yang bertugas di pantai Libanon. Mereka membantu tentara Libanon menjaga keamanan batas lautnya.

Admiral Karl Wilhelm Bollow menyatakan puas dengan tugas mereka. Menurutnya, dengan adanya kerjasama Jerman dan Libanon, penyelundup senjata tidak akan berhasil masuk ke Libanon. Itu adalah tanda bagus dan awal yang baik untuk tercapainya kemajuan di Libanon. Demikian ditambahkan Bollow.

Kemajuan Yang Berarti

Tetapi kemajuan yang berarti tidak tampak. Negara itu masih jauh dari kedaulatan dan kemerdekaan. Israel masih tetap saja melanggar wilayah udara Libanon. Sementara Iran dan Suriah berusaha menanamkan pengaruhnya, terutama melalui Hisbullah. Di lain pihak, AS tidak kurang ikut campur di urusan dalam negeri Libanon. Beban politik berikutnya yang harus dihadapi adalah pemilihan presiden baru oleh parlemen, akhir September mendatang.

Jika kedua kubu politik tidak mencapai kesepakatan, kemungkinan krisis akan meningkat. Kalau semua perasaan persatuan nasional hilang, situasi akan berbahaya. Itu dikatakan Amal Saad-Ghorayeb, pakar Hisbullah pada Yayasan Carnegie untuk Perdamaian Internasional. Jika demikian, warga Libanon memang tidak punya pilihan lain, selain menikmati normalitas, selama itu masih berlangsung. (ml)