Theresa May Minta Perpanjangan Waktu Lagi Untuk Brexit
3 April 2019
PM Inggris Theresa May ingin menghadap Uni Eropa lagi untuk meminta perpanjangan waktu Brexit. Dia mengatakan akan berunding dengan oposisi Partai Buruh untuk menyusun rencana baru.
Iklan
Perdana Menteri Inggris Theresa May mengatakan hari Selasa (02/04), dia akan menghubungi pimpinan oposisi dari Partai Buruh Jeremy Corbyn untuk menyusun agenda baru soal Brexit. Sehari sebelumnya, parlemen Inggris kembali menolak semua opsi alternatif Brexit. Inilah untuk pertama kalinya, Theresa May mengatakan akan mencari kompromi dengan oposisi.
Uni Eropa sebelumnya sudah memperpanjang Brexit, yang menurut rencana semula seharusnya terjadi 28 Maret lalu. Namun atas permintaan Theresa May, Uni Eropa setuju mengundurkan jadwal sampai 22 Mei, seandainya parlemen Inggris mampu menyepakati agenda Brexit. Namun kesepakatan itu harus dilaporkan kepada Uni Eropa selambatnya 12 April.
Jika sampai 12 April parlemen Inggris gagal menyepakati agenda Brexit, maka Inggris akan resmi keluar dari Uni Eropa pada 12 April tanpa kesepakatan sama sekali, kondisi yang sering disebut No-Deal-brexit atau "hard Brexit".
Theresa May mengatakan, dia hanya minta perpanjangan waktu yang "sesingkat mungkin" agar bisa mencapai kesepakatan dengan pihak oposisi. Dia sebelumnya menolak keras perundingan dengann oposisi soal Brexit. Namun setelah berkali-kali gagal meloloskan agendanya di parlemen, inilah tampaknya jalan terkahir bagi Theresa May untuk mencegah "hard Brexit".
Pimpinan oposisi: 'senang' berbicara dengan May
Pemimpin Partai Buruh Inggris Jeremy Corbyn mengatakan dia "sangat senang" kalau bisa bekerja sama dengan Theresa May. Dia menekankan pentingnya mencegah skenario No-Deal-Brexit.
Partai Buruh selama ini menuntut agar Inggris tetap berada dalam sistem bea bersama dengan Uni Eropa, sekalipun keluar dari Uni Eropa. Dengan tetap berada dalam sistem bea Uni Eropa, barang-barang dari Inggris ke Uni Eropa dan sebaliknya tidak perlu dikenakan bea khusus. Theresa May mengatakan dia akan mencari pendekatan yang bisa disepakati bersama.
Parlemen Inggris dijadwalkan untuk melanjutkan debat soal prosedur Brexit hari Rabu (03/04) dengan pemungutan suara tentang opsi-opsinya Senin mendatang (08/04).
Uni Eropa "frustasi"
Seorang pejabat Uni Eropa mengatakan, mereka sudah frustasi dengan "kekacauan di London". Tapi Presiden Dewan Eropa Donald Tusk masih berusaha bersabar. "Sekalipun setelah hari ini, kita (tetap) tidak tahu apa hasil akhirnya, mari bersabar", tulisnya lewat Twitter.
Menteri luar negeri Perancis dan Jerman mengatakan mereka menyesalkan kekacauan politik di Inggris soal Brexit. Selama ini parlemen Inggris selalu menolak semua opsi alternatif, baik yang diajukan pemerintah maupun yang diajukan fraksi-fraksi. Dari 12 opsi yang diajukan untuk pemungutan suara, semaunya ditolak mayoritas anggota parlemen.
"Jujurnya, kadang-kadang ini sulit dimengerti," kata Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian. "Tiga tahun setelah keputusan mereka (untuk keluar), alangkah baiknya jika mereka memiliki posisi yang jelas. Kalau tidak, 'hard Brexit' akan terjadi dalam beberapa hari mendatang," katanya.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan, masih belum jelas apakah pendekatan baru Theresa May kepada pihak oposisi akan berhasil.
"Pada akhirnya, kita harus menunggu dan melihat apa yang diputuskan London. Tapi waktunya hampir habis, dan London juga harus menyadari itu," kata Maas.
hp/vlz (rtr, afp, ap)
Brexit: Tarik Ulur Politik Inggris Keluar Dari Uni Eropa
Inggris kejutkan dunia dengan hasil referendum 23 Juni 2016 yang sepakat keluar dari Uni Eropa. Mulailah rentang waktu penuh kisruh, tarik uluk dan adu kekuatan politik di Eropa terkait Brexit.
Foto: picture-alliance/empics/Y. Mok
Juni 2016: Kehendak Rakyat Inggris
Hasil referendum yang diumumkan 24 Juni 2016, hampir 52 persen dari pemilih setuju, Inggris keluar dari Uni Eropa. Perdana Menteri Inggris saat itu, David Cameron dari partai konservatif menerima "kehendak rakyat Inggris, dan mengundurkan diri sehari setelah referendum..
Foto: picture-alliance/dpa/A. Rain
Juli 2016: Brexit berarti Brexit
Mantan Menteri Dalam Negeri, Theresa May gantikan posisi Cameron sebagai Perdana Menteri pada 11 Juli. Ia menjanjikan´Brexit berarti Brexit´. Sebelumnya, May diam-diam dukung kampanye Inggris tetap di Uni Eropa. Dia tidak secara jelas mengatakan kapan akan memulai pembicaraan diberlakukannya Pasal 50 Perjanjian Uni Eropa terkait masa dua tahun sebelum Inggris resmi keluar Uni Eropa.
Foto: Reuters/D. Lipinski
Maret 2017: Kami siap Berpisah
May tandatangani nota diplomatik untuk memulai Pasal 50, 29 Maret. Beberapa jam kemudian, Duta Besar Inggris untuk UE, Tim Barrow serahkan nota itu kepada Presiden Dewan Eropal, Donald Tusk. Inggris dijadwalkan keluar dari Uni Eropa 29 Maret 2019. Tusk merespon nota itu dengan komentar: “Kami sudah siap berpisah. Terima kasih dan selamat tinggal”.
Foto: picture alliance / Photoshot
Juni 2017: Perundingan Dimulai
Menteri Brexit, David Davis dan ketua jururunding UE, Michel Barnier memulai perundingan di Brussel pada 19 Juni. Perundingan pertama diakhiri dengan kesepakatan Inggris akan mematuhi aturan UE terkait sisa negosiasi. Tahap pertama membahas persyaratan keluarnya Inggris dan tahap kedua membahas hubungan UE dan Inggris pasca-Brexit.
Foto: picture alliance/ZUMAPRESS.com/W. Daboski
Juli – Oktober 2017: Uang, Hak-hak dan Irlandia
Tahap kedua perundingan dimulai dengan berfoto bersama tim Inggris yang terlihat tak siap. Perundingan gagal raih kemajuan terkait tiga masalah pasca-Brexit: Berapa banyak yang masih harus dibayar Inggris ke anggaran UE, bagaimana dengan hak warga negara UE dan Inggris dan apakah Inggris tetap dapat membuka perbatasan antara Irlandia dan Irlandia Utara.
Foto: Getty Images/T.Charlier
November 2017: May Tunjukkan Kemajuan?
Kemajuan baru terlihat setelah putaran perundingan ke-6 di awal November. Inggris setuju untuk membayar 57 miliar Euro atau sekitar Rp 900 triliun sebagai “biaya perceraian”. Awalnya May hanya mau membayar 20 juta, padahal UE telah menghitung biayanya sebesar 60 juta Euro. Laporan konsensi Inggris ini memicu kemarahan di kalangan politikus dan media pro-Brexit.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Desember 2017: Maju ke fase ke-2
Para pimpinan dari 27 anggota UE secara resmi menyetujui “kemajuan yang cukup” itu untuk diteruskan ke fase kedua: transisi periode pasca-Brexit dan masa depan hubungan perdagangan UE-Inggris. Perdana Menteri Theresa May mengungkapkan kegembiraannya atas keputusan ini, sebaliknya Presiden Dewan Eropa, Tusk memperingatkan bahwa perindingan putaran kedua akan “sangat sulit.
Foto: picture-alliance/AP Photo/dpa/O. Matthys
September 2018: Tidak ada ceri untuk Inggris
Proposal May tidak berjalan mulus. Pada pertemuan puncak di Salzburg akhir September, para pimpinan UE sampaikan kepada May bahwa proposalnya tidak dapat diterima. Presiden Dewan Eropa,Tusk menyindir May lewat Instagram dengan postingan foto mereka yang sedang melihat sepotong kue: “Sepotong kue barangkali? Maaf, tidak ada ceri”. Ini sindiran bahwa Inggris cuma mau keuntungan sepihak dari Eropa.
Foto: Reuters/P. Nicholls
November 2018: Kemajuan di Brussel
Para pimpinan UE dukung draft kesepakatan perceraian serta deklarasi politis soal hubungan pasca-Brexit setebal 585 halaman. Draft ini dikecam habis anggota parlemen yang pro maupun kontra Brexit dalam perdebatan di Parlemen Inggris beberapa minggu sebelumnya. Menteri Brexit, Dominic Raab bersama dengan beberapa menteri mencoba memicu mosi tidak percaya di bulai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/E. Dunand
Desember 2019: May Lolos Dari Mosi Tidak Percaya
Menghadapi oposisi yang sulit, May menunda pemungutan suara di parlemen pada 10 Desember. Besoknya ia bertemu Kanselir Jerman, Angela Merkel untuk mencari kepercayaan diri dalam meyakinkan para anggota parlemen yang skeptis kembali ke kesepakatan. Sementara ia pergi, anggota parlemen dari Partai Konservatif ajukan mosi tidak percaya. May menang mosi kepercayaan di hari berikutnya.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Januari 2019: Kesepakatan ditolak
Kesepakatan Brexit May, ditolak Parlemen Inggris dengan 432 suara dan hanya 202 suara mendukungnya. Sebagai respon hasil tersebut, Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk sarankan agar Inggris tetap bertahan di Uni Eropa. Partai Buruh Inggris menyerukanmosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri. Ini adalah tantangan berat dalam kepemimpinan kedua May dalam bulan-bulan terakhir.