1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikLibya

Libya Hadapi Fase Kritis Setelah Berakhirnya Perang Saudara

27 Februari 2021

Libya menaruh harapan besar pada kabinet persatuan untuk sudahi perang saudara yang ikut dikobarkan Rusia dan Turki sejak 2014. Tapi hingga tenggat berakhir, PM Dbeibah gagal mendapat konsensus atas susunan kabinetnya.

Ilustrasi Libya
Ilustrasi LibyaFoto: Abdullah Doma/AFP/Getty Images

Perdana Menteri Libya Abdul Hamid Mohammed Dbeibah sedianya mengumumkan nama anggota kabinetnya pada Kamis (25/02) ini, sesuai tenggat yang disepakati dalam pertemuan di Jenewa. Namun dalam jumpa pers di ibu kota Tripoli, dia mengatakan hanya mengirimkan panduan pemilihan kandidat menteri kepada parlemen.

"Kami siap mengusulkan nama anggota kabinet, tapi kami sebaiknya saling berkonsultasi terlebih dahulu dan mengkaji nama-nama kandidat dengan lebih saksama,” kata dia, tanpa merinci siapa yang menghuni daftar menteri tersebut.

Menurut kesepakatan dengan PBB, pemerintahan transisi Libya harus memberlakukan kuota perempuan sebesar 30 persen untuk jabatan menteri dan wakil menteri. 

Sang perdana menteri menegaskan kabinet teknokrat bentukannya nanti harus mewakili berbagai segmen sosial dan geografi Libya. Menurutnya, perdamaian yang inklusif bernilai krusial bagi penyelenggaraan pemilu di akhir tahun.

Perdana Menteri Libya, Abdul Hamid DbeibahFoto: Mucahit Aydemir/AA/picture alliance

"Saat ini adalah masa-masa yang kritis. Pertimbangan kami adalah bahwa kabinet pemerintah harus mengupayakan persatuan nasional, serta membangun konsensus dan rekonsiliasi,” kata Dbeibah.

Dia menambahkan daftar kandidat menteri-menteri akan dibagi secara merata di antara tiga wilayah kunci di Libya, yakni timur, barat dan selatan. 

Damai di tahun kesepuluh 

Selama lebih dari enam tahun, negeri tandus di utara Afrika itu tenggelam dalam perang saudara, dan terbelah antara wilayah timur di bawah Jendral Khalifa Haftar, dan barat yang dikuasai pemerintahan nasional.

Tahun ini, peringatan kesepuluh revolusi di Libya dirayakan dalam suasana gencatan senjata yang dimediasi PBB sejak Oktober 2020. Kini untuk pertama kalinya, Libya memiliki harapan baru terbentuknya pemerintahan pusat, dan perdamaian yang berkelanjutan.

Awal Februari lalu, sebanyak 75 delegasi pilihan PBB yang mewakili sebagian besar kepentingan Libya diundang ke Swiss. Di sana mereka membentuk "pemerintahan persatuan” yang menggabungkan struktur administrasi barat dan timur hingga pemilihan umum pada Desember mendatang.

Pembagian wilayah kekuasaan di Libya selama perang saudara, 2014-2020.

Dbeibah sendiri adalah seorang pengusaha yang pernah dekat dengan Gaddafi. Pemilihannya didukung warga di bagian barat, dan mendapat restu politik dari Khalifa Haftar.

Medan proksi kekuatan regional

Ketika memediasi gencatan senjata Oktober silam, PBB mengimbau penarikan mundur 20.000 gerilayawan asing yang didukung Turki, Mesir, Rusia, Uni Emirat Arab dan Qatar. Tapi kenyataan berkata lain, menurut Arturo Varvelli, Kepala Kantor Hubungan Luar Negeri Dewan Eropa di Roma, yang meriset politik Libya sejak 2002.

"Libya menjadi semacam medan perang proksi,” kata dia kepada wartawan DW, Cathrin Schaer. "Saya kira masalah terbesar di Libya saat ini adalah berusaha menahan aktor-aktor regional, yang kebanyakan punya visi masing-masing untuk Libya.”

Perang saudara di Libya mulai mereda ketika pasukan Haftar yang didukung Rusia, digerus oleh serangan udara Turki dalam perang di Tripoli. Kedua negara merupakan pemain terbesar dan "punya kaki di lapangan,” imbuh Varvelli.

Dukungan Rusia diyakini bersumber pada industri minyak yang banyak menjamur di wilayah timur. Sementara Turki ingin melebarkan sayap sebagai kekuatan regional, serta mengamankan akses ke sumber energi di utara Afrika.

"Sayangnya, saya khawatir mereka tidak akan mungkin meninggalkan Libya hanya setelah mendapat imbauan dari PBB, atau terbentuknya pemerintahan persatuan nasional.”

rzn/ae (dw, ap, afp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait