Lima puluh tahun lebih hidup di Jerman, dihabiskan Mariana Kwa mantan redaktur pelaksana DW Indonesia 1995-2005 untuk mempromosikan hubungan Indonesia -Jerman.
Mariana KwaFoto: Privat
Iklan
Mariana Kwa, Redaktur Pelaksana DW Indonesia dari tahun 1995 sampai 2005 menjadi saksi perjuangan redaksi DW Indonesia dalam menancapkan kakinya di Jerman. Pada hari ulang tahun DW Indonesia, ia menceritakan DW Indonesia didirikan pada masa perang dingin sedang memuncak di Eropa dan Jerman juga masih terbagi dua, Jerman Barat dan Jerman Timur."Pada saat itu, Jerman Timur pun di Indonesia berusaha memperbesar pengaruhnya di Indonesia. Karena itu, Jerman Barat mengimbangi dengan juga mengadakan siaran dalam Bahasa Indonesia ke Indonesia. "
Ia menceritakan, ketika siaran bahasa Indonesia DW untuk pertama kalinya mengudara pada 30 September 1963, Indonesia sedang dalam konfrontasi dengan Malaysia. Presiden Sukarno ketika itu menentang dengan gigih pembentukan Federasi Malaysia lewat pidato bersejarahnya yang bersemboyan Ganyang Malaysia. Baru pada 1966 ketika Suharto mengambilalih pemerintahan, konfrontasi dengan Malaysia berakhir.
Iklan
Perubahan media
Hampir atau lebih dari 30 tahun bergabung dengan Deutsche Welle ia mengalami perubahan dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dari media yang analog, yang semua masih manual, sampai ke media digital. "Itu yang saya merasa beruntung juga dapat mengalami perkembangan ini," tuturnya.
Tentu sepanjang 30 tahun bekerja di DW ia juga punya pengalaman yang tak terlupakan."Kita waktu itu masih ada siaran langsung, jadi dua kali sehari selama 60 menit, kita harus ke studio dan siaran itu dimulai. Kadang kala, ada yang lupa jam atau datang terlambat. Itu pernah terjadi, bahkan kita lari-lari ke studio, akhirnya kehilangan napas, bicaranya terengah-engah. Dan itu pernah, saya sendiri juga mengalami. Tidak tahu bagaimana, lupa jam siarannya. Tiba-tiba ingat, kita lari ke studio. Waktu itu, studionya tidak di satu tempat ya, kita harus ke tempat lain. Bahkan pada awal-awal itu, gedungnya saja berbeda. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana kalau kita lari-lari, tiba-tiba sampai di studio, mikrofon dibuka, kita harus tarik napas dulu, ya.” Bahkan hingga kini ia sering bermimpi tentang hal tersebut, "Dan saya sampai selalu mimpi, bahwa saya terlambat datang di studio dan tidak bisa mencari, studionya tidak ketemu, begitu. Saking terbawa selalu pengalaman ini."
Sejak muda Mariana aktif membangun hubungan Jerman-Indonesia. Semenjak pensiun dari Deutsche Welle, Mariana makin aktif di Deutsch-Indonesische Gesellschaft (DIG) atau perkumpulan masyarakat Indonesia-Jerman. "DIG atau Deutsch-Indonesische Gesellschaft di Köln, tahun ini sudah 72 tahun usianya. Jadi hampir sama, lebih tua bahkan dengan Deutsche Welle. DIG dan Deutsche Welle siaran Indonesia ini pada intinya sama, yaitu memberikan informasi bilateral Jerman-Indonesia," ungkap Mariana.
Yang berbeda dari apa yang dikerjakan Mariana sebelumnya ketika masih bekerja di DW adalah saat masih bekerja di DW, publiknya terutama di Indonesia sementara di DIG publiknya adalah Jerman. "Jadi, kami di DIG juga mempunyai majalah atau ‘Magazin' kita, yang memuat segala artikel tentang Indonesia dari segala segi kehidupan, baik politik, sejarah, kebudayaan, sosial, olahraga dan segalanya. Itu semua tentang hubungan Jerman-Indonesia. Jadi, semua ada kaitannya dengan Indonesia dan Jerman."
Acara Pasar Senggol yang menampilkan budaya dan diskusi tentang Indonesia menjadi salah satu kegiatan DIG yang hampir dilakukan setiap tahun guna mempromosikan Indonesia di masyarakat Jerman. Jesikka Mohn adalah salah satu yang rutin datang ke acara ini.” Saya suka karena jadi bisa tahu bahwa Indonesia punya begitu banyak ragam budaya. Saya sebelumnya sulit membayangkan sebuah negara dengan 17 ribu pulau. Di acara ini saya juga senang makan masakan Indonesia, terutama ikan bakar dan sate padang,” ujarnya.
"Jadi kalau saya pikir, selama saya di sini sudah hampir 50 tahun bermukim dan hidup di Jerman, pekerjaan saya dan kegiatan saya masih tetap ada kaitannya dengan Indonesia," pungkas Mariana.
Melepas Rindu di Pasar Senggol
Ada sekeping Indonesia di Cologne, Jerman akhir pekan lalu (16/09). Festival Budaya "Pasar Senggol" menjadi momen bagi perantau dan pecinta Indonesia untuk melepas kangen kepada teman, kuliner dan budaya tanah air.
Foto: DW/T. Siregar
Lenggak Lenggok Tari Bali
Bunyi musik gending Bali menyambut para pengunjung yang mendatangi kompleks pusat budaya Alte Feuerwache, Cologne. Setiap tahun sekitar bulan September, Deutsch-Indonesiche Gesselschaft (DGI) atau Persahabatan Jerman-Indonesia, rutin mengadakan Hari Indonesia di Cologne, yang dikenal dengan nama Pasar Senggol. Ini menjadi ajang bagi warga Indonesia dan pecinta nusantara untuk berkumpul.
Foto: DW/T. Siregar
Jajanan Pasar
Layaknya pasar di Indonesia, berbagai penganan kecil yang bisa ditemui di tanah air juga dapat dijumpai di sini. Para penjualnya datang dari berbagai latar belakang, ada yang memang koki di restauran, namun ada juga yang iseng-iseng menggelar lapak. Yang penting jualan yang disajikan harus asli Indonesia.
Foto: DW/T. Siregar
Warna-warni di Atas Piring
Yang terpukau dengan warna-warni cantik penganan kecil di Pasar Senggol adalah Sofie. Dia menata satu persatu kue yang disajikan para penjual di atas piring kertas. Dalam waktu dekat ia berencana mengunjungi saudara kembarnya yang melakukan program volunter di Rantepao, Sulawesi. Sekarang, ia mulai berkenalan dulu dengan kuliner Indonesia di tanah air, bekal cerita untuk saudara kembarnya nanti.
Foto: DW/T. Siregar
Antre demi Siomay
Pengunjung Pasar Senggol mengantre dengan setia demi bisa menikmati aneka panganan khas nusantara mulai dari siomay, sate padang dan bakwan malang. Bahkan es teler durian juga siap memanjakan lidah pengunjung yang merindu cita rasa kuliner tanah air.
Foto: DW/T. Siregar
Corak Nusantara
10 pakaian adat dari Indonesia turut dipamerkan dalam acara Fashion Show di Pasar Senggol. Para peserta bukan model profesional melainkan warga Indonesia yang telah menetap di Cologne dan daerah sekitarnya. Para pengunjung, khususnya warga Jerman, terpukau dengan pakaian adat Indonesia yang kaya dengan warna-warna cerah.
Foto: DW/T. Siregar
Di Bawah Rintik-rintik
Salah satu yang menjadi daya tarik Pasar Senggol adalah ajang bertemu dengan sesama warga Indonesia di perantauan. Begitu memasuki kompleks Alte Feuerwache, hiruk pikuk percakapan dalam bahasa Indonesia langsung terdengar mendominasi. Tentu ini jarang terjadi di Jerman. Inilah yang membuat, meskipun hujan rintik-rintik mulai turun, pengunjung tetap bertahan dan terhanyut dalam obrolan hangat.
Foto: DW/T. Siregar
Pancasila Menarik Minat
Aula di Alte Feuerwache dipenuhi para pengunjung terutama warga Jerman yang sedang mendengarkan pemaparan dari Dr Ingo Wandelt, ahli Asia Tenggara dan penulis buku Professional Dictionary of Modern Indonesian. Ia memaparkan tentang Pancasila, sebagai dasar pemersatu Indonesia. Warga Jerman turut menyoroti berbagai peristiwa di tanah air yang ingin menggoyang harmoni keragaman Indonesia.
Foto: DW/T. Siregar
Duduk dan Minum Bersama
Acara Pasar Senggol digagas sejak 20 tahun lalu sebagai upaya untuk menjembatani keberasamaan dan perbedaan Indonesia-Jerman. "Ini menjadi moment bagi kedua belah pihak untuk duduk dan makan minum bersama-sama, tapi juga sambil tukar menukar mimpi dan harapan bagi Indonesia dan Jerman," kata Ketua DGI Cologne, Karl Mertes.
Foto: DW/T. Siregar
Adu Nyali
Seni bela diri pencak silat menjadi salah satu atraksi yang meramaikan Pasar Senggol. Di hadapan para pengunjung, empat orang ibu dari perguruan Perisai Diri Silat Nasional adu kegesitan dalam menumbangkan lawan. Dalam pertunjukan ini yang menjadi lawan adalah suami mereka sendiri. Selain orang dewasa, pertunjukan pencak silat juga diperagakan anak-anak dan remaja.
Foto: DW/T. Siregar
Tombola
Selain menikmati kuliner dan pertunjukan, para pengunjung juga dapat mengikuti undian berhadiah. Ibu Indri yang sudah menetap lama di Cologne tak mau melewatkan kesempatan untuk membawa pulang hadiah kecil yang disiapkan panitia DIG. Ada tiga bingkisan kecil yang dapat dibawanya pulang kali ini. Tombola alias undian menjadi bagian kecil yang meramaikan acara Pasar Senggol tiap tahunnya.
Foto: DW/T. Siregar
Rasa Indonesia Dalam Botol
Satu yang tak bisa ketinggalan sebelum pulang dari Pasar Senggol adalah membawa makanan yang bisa disimpan untuk jangka panjang. Sambal dari aneka produk ini menjadi salah satu yang ramai diserbu. Selain harga yang terjangkau, sambal kemasan ini juga bisa awet disimpan di lemari pendingin, siap dinikmati bila sewaktu-waktu rasa rindu akan rasa kuliner tanah air kembali muncul. (Ed: ts/hp)