1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SejarahFilipina

Lima Dekade Merawat Ingatan Darurat Militer di Filipina

23 September 2022

Tanggal 21 September 2022 menandai 50 tahun pemberlakuan darurat militer oleh eks-diktatur Filipina, Ferdinand Marcos. Peringatan tahun ini dibayangi upaya putranya, Marcos Jr. menghapus sejarah kekejaman sang ayah.

Warga melintasi plakat bekas diktatur Ferdinand Marcos di Manila
Warga melintasi plakat bekas diktatur Ferdinand Marcos di ManilaFoto: Aaron Favila/ASSOCIATED PRESS/picture alliance

Bagi bekas tahanan politik, aktivis atau tokoh oposisi, peringatan tahun ini digelar dalam kesenduan. "Menonton berita yang menyebut seorang putra diktatur sebagai presiden membuat saya jijik,” kata Bonifacio Illagan yang pernah disiksa selama dua tahun di penjara karena memrotes rezim Marcos.

Bekas aktivis mahasiswa pada dekade 1970an itu masih mengingat jelas bagaimana aparat keamanan menggeledah kantor harian bawah tanah yang dia ikut dirikan. Putrinya, Rizalina, menghilang setelah ditahan. Hingga kini namanya masih terukir di Monumen Pahlawan di Manila bersama 300 nama lain.

Illagan menggambarkan kemenangan Ferdinand "Bongbong” Marcos Junior pada pemilu Mei silam sebagai "sebuah mimpi buruk.” Kini, dia khawatir ingatan terhadap pengorbanan generasi revolusi akan menyurut seiring kekuasaan Bongbong Marcos.

"Kami tetap bertekad mencari kebenaran dan keadilan. Saya menghabiskan lebih dari separuh hidup untuk pergulatan ini. Saya kira saya tahu apa konsekuensinya,” kata Illagan yang kini aktif di organisasi Kampanye Melawan Kembalinya Dinasti Marcos dan Darurat Militer (CARMMA). "Sejarah dan kesadaran masih menjadi arena pelawanan.”

Menurut Amnesty International, selama dua dekade darurat militer di bawah Marcos , sekitar 70.000 warga didakwa subversi, lebih dari 34.000 mengaku disiksa dan lebih dari 3.000 tewas dalam pembunuhan tanpa pengadilan

Bukan lagi sekedar sejarah

Kembalinya dinasti Marcos ke Istana Malacanang dimungkinkan pemilih muda yang berjumlah 65 juta orang. Sebagian besar lahir setelah Revolusi Rakyat 1986 dan tidak pernah mengalami kehidupan di bawah darurat militer.

Sebabnya menjadi angin segar ketika pada 18 September lalu, sayap pemuda Partai Aksi Rakyat Akbayan, mengadakan tur sejarah untuk mengingat situasi kelam di bawah rejim Marcos. Mereka juga membahas harta korupsi Marcos yang ditaksir masih berjumlah sebesar USD 2 miliar atau sekitar Rp. 30 triliun.

"Kegiatan seperti ini menjadi lebih penting sekarang,” kata Ketua Pemuda Akbayan, RJ Naguit, kepada DW. "Sejarah bukan lagi sekedar pelajaran, tetapi berdampak nyata bagi kehidupan warga Filipina.”

Pria berusia 27 tahun itu menolak asumsi bahwa kaum muda buta sejarah dan sebabnya bertanggungjawab atas kembalinya keluarga Marcos.

"Krisis lahirkan perlawanan"

Namun bagi Isnahiyah Tomawis, 27 tahun, darurat militer di Filipina merupakan bagian sejarah "yang masih kabur.” Penduduk Pulau Mindanao itu mengaku selama ini mendapat informasi dari tetua desa.

Kekejian "yang diingat para tetua tentang darurat militer tidak sama dengan apa yang saya baca di buku sejarah,” katanya. "Orang berusaha mengubur masa lalu agar bisa melangkah ke depan, kata nenek saya. Ini adalah alasan kenapa sampai sekarang darurat militer masih menjadi hal netral bagi saya,” imbuhnya.

Intervensi pemerintah untuk menutup sejarah kelam rejim Marcos juga diakui Melanie Joy Feranil, juru bicara Asosiasi Editor Kampus Filipina (CEGP). Menurutnya wartawan mahasiswa juga tidak dikecualikan dari represi negara dan sering dilabeli teroris atau pendukung teror.

Juni silam, enam anggota CEGP dan sembilan wartawan mahasiswa ditahan karena meliput. Sementara wartawan lain mengalami luka-luka akibat agresi polisi anti huru-hara. 

"Krisis melahirkan perlawanan. Kaum muda, terutama pers mahasiswa akan sangat aktif menggalang perlawanan,” kata Feranil, mahasiswi berusia 22 tahun.

rzn/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait