1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiGlobal

Lima Tantangan Ekonomi Global di Tahun 2023

3 Januari 2023

Jika 2022 adalah tahun yang sulit bagi ekonomi global, maka tahun 2023 akan menjadi lebih buruk dengan resesi yang membayangi. Namun, prediksi itu tidak akan semuanya jadi malapetaka.

Sebuah papan nama elektronik di ruang transaksi Hana Bank di Seoul pada 29 Juni 2022
Investor keuangan mengalami dinamika di tahun 2022, akankah mereka mendapat kelonggaran tahun ini?Foto: Yonhap/picture alliance

Tahun 2022 sejatinya diperkirakan akan jadi tahun dimana ekonomi global akan pulih dari kekacauan yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19. Namun, Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari menyebabkan ekonomi global didorong ke dalam ketidakpastian.

Perang di Ukraina dan sanksi Barat terhadap Rusia memicu ketegangan geopolitik, membuat harga energi dan pangan melonjak melampaui level yang belum pernah ada sebelumnya, dan mengganggu rantai pasokan, yang membuat pemulihan ekonomi global menjadi sangat sulit.

Ketika inflasi naik ke level tertinggi selama bertahun-tahun, bank sentral terpaksa memperketat aliran uang dengan menaikkan suku bunga dalam menghadapi ekonomi yang sudah melambat, yang selanjutnya meningkatkan prospek resesi pada tahun 2023. Namun, resesi hanyalah salah satu kesulitan ekonomi yang menanti semuanya pada tahun ini. Berikut adalah beberapa tantangan terbesar yang mungkin dihadapi ekonomi global:

Resesi global di ambang pintu

Tahun 2023 diperkirakan akan menjadi tahun terburuk ketiga untuk pertumbuhan ekonomi global abad ini, setelah tahun 2009 ketika krisis keuangan global menyebabkan resesi hebat dan tahun 2020 ketika penguncian COVID-19 membuat ekonomi global terhenti secara virtual.

Analis memperkirakan,  ekonomi utama dunia termasuk Amerika Serikat dan Inggris, serta zona euro, akan tergelincir ke dalam resesi tahun ini, karena bank sentral terus menaikkan suku bunga untuk meredam permintaan barang dan jasa konsumen dalam upaya untuk mengendalikan inflasi.

"Tingkat keparahan yang akan datang terhadap produk domestik bruto (PDB) global terutama bergantung pada kondisi perang di Ukraina," tulis analis dari Institute of International Finance dalam sebuah catatan penelitian, seraya menambahkan bahwa konflik tersebut berisiko menjadi perang yang berkepanjangan.

Kontraksi di negara maju dan dolar Amerika yang lebih kuat akan merugikan ekspor, sehingga menimbulkan masalah bagi ekonomi Asia yang berorientasi ekspor.

"Karena inflasi sekarang tampaknya sedang surut di seluruh dunia, bank sentral harus dapat segera mengendorkan rem darurat, untuk memungkinkan pemulihan dimulai akhir tahun depan (2023)," kata ekonom di Capital Economics pada Desember 2022.

Inflasi yang "membandel"

Kenaikan harga kemungkinan akan moderat pada tahun 2023, dibantu oleh melemahnya permintaan, penurunan harga energi, berkurangnya pasokan, dan penurunan biaya pengiriman. Namun, inflasi akan tetap di atas level target bank sentral, mendorong kenaikan suku bunga lebih lanjut yang berarti lebih banyak "rasa sakit" bagi ekonomi dan risiko memperburuk krisis utang global.

"Ketahanan ekonomi (zona euro), dan khususnya pasar tenaga kerja, menunjukkan bahwa inflasi bisa lebih tinggi dan lebih lama dari yang kami perkirakan," kata Andrew Kenningham, Kepala Ekonom Eropa di Capital Economics. Dia menambahkan, laju inflasi inti akan turun lebih lambat, karena kenaikan upah yang cukup kuat, akan membuat inflasi di sektor jasa tetap tinggi.

Kekacauan pandemi COVID-19 Cina

Hanya beberapa minggu menjelang awal tahun 2023, Cina mencabut kebijakan nol-COVID yang kontroversial. Namun, keputusan tersebut membuat sistem perawatan kesehatan negara itu kewalahan di tengah peningkatan kasus COVID-19 yang mengkhawatirkan.

Mengikuti pengalaman negara lain, melonjaknya infeksi diperkirakan akan menyebabkan gangguan jangka pendek pada ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Sementara prospek jangka pendek tampak suram, analis memperkirakan ekonomi Cina akan mengakhiri tahun 2023 dengan catatan yang lebih cerah dengan dorongan besar yang dihasilkan dari penghapusan nol COVID oleh Beijing dan dukungannya untuk sektor properti yang nyaris ambruk di negara itu.

"Pemulihan Cina, dikombinasikan dengan pembukaan kembali regional, berarti Asia dapat memiliki tahun 2023 yang baik," Christian Nolting, Kepala Investasi Deutsche Bank, mengatakan dalam sebuah catatan kepada klien. Pemulihan itu diyakini dapat "menstabilkan ekonomi negara tetangga dan banyak negara pengekspor komoditas (seperti di Amerika Latin), mengingat Cina adalah konsumen komoditas yang dominan."

Krisis energi

Situasi energi yang genting, terutama di Eropa, akan terus membayangi pemerintah pada tahun 2023. Eropa mungkin berhasil lolos dari krisis energi total musim dingin ini, berkat cuaca yang lebih hangat dari biasanya dan konsumen mengurangi penggunaan energi mereka.

Permintaan yang lebih rendah untuk pemanas berarti fasilitas penyimpanan di kawasan, yang terisi penuh tahun lalu, mungkin tetap memiliki banyak persediaan di akhir musim dingin ini.

Situasinya masih bisa menjadi tantangan menjelang musim dingin mendatang. Setelah menghabiskan ratusan miliar euro pada tahun lalu untuk mencari alternatif energi Rusia dan mengamankan kebutuhan konsumen, Eropa mungkin berjuang untuk sekali lagi mengisi fasilitas penyimpanannya.

Nolting mengatakan, energi tetap menjadi faktor risiko utama di wilayah tersebut, "ditambah dengan kemungkinan kekurangan gas di musim dingin 2023/2024."

Ketegangan geopolitik dan perang teknologi

Ketegangan militer dan politik akan terus menjadi salah satu risiko terbesar bagi perekonomian, seperti tahun yang baru saja berlalu. Di saat perang Rusia di Ukraina belum menunjukkan pertanda akan berakhir, friksi AS dan Cina atas Taiwan, dan meningkatnya ketegangan di semenanjung Korea, kemungkinan akan membuat investor tetap menahan diri pada tahun ini.

"Solusi untuk mengakhiri invasi Rusia ke Ukraina tetap sulit ditemukan. Hal ini pada gilirannya berarti tidak ada solusi untuk efek lanjutan dari konflik ini di bidang-bidang seperti pergerakan migrasi, pasokan global komoditas energi fosil dan bahan pangan serta potensi pergeseran geopolitik yang meluas jauh melampaui wilayah," kata Nolting.

Pertempuran untuk supremasi teknologi antara AS dan Cina mungkin akan semakin intens pada tahun 2023.

"Konflik perdagangan kini telah berubah menjadi upaya untuk menetapkan standar jangka panjang yang berlaku di bidang yang sangat penting seperti 5G, kecerdasan buatan, dan mikrochip,” pungkas Nolting.

(ha/as)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait