Lindungi Pemohon Suaka, Gereja Jerman Rela Abaikan UU
Richard A. Fuchs
23 Agustus 2018
Gereja-gereja di Jerman mengikuti tradisi lama memberi perlindungan pada mereka yang memerlukan. Banyak gereja memberi "suaka" kepada pengungsi, sekalipun melanggar UU yang ada.
Iklan
Untuk para pencari suaka yang permohonannya ditolak di Jerman, berpaling kepada gereja seringkali merupakan harapan terakhir. Banyak gereja membuka pintunya dan menerima mereka berlindung untuk menunda atau mencegah deportasi. Para pengungsi kemudian tinggal selama beberapa minggu atau bulan di kompleks gereja, dan tidak mengizinkan polisi masuk.
"Suaka Gereja" adalah alternatif "untuk menyelidiki kasus-kasus individu dan memberi kesempatan pihak berwenang untuk melakukan pemeriksaan ulang dan dengan demikian mencegah derita kemanusiaan," kata Karl Jüsten, Kepala Keuskupan di Berlin, yang juga bertuigas sebagai penghubung Konferensi Waligereja Jerman DBK dengan badan-badan pemerintahan dalam urusan politik.
Masalah suaka gereja membutuhkan banyak kebijaksanaan, karena ini adalah wilayah abu-abu di mana hukum, kemanusiaan, dan politik nasional bersinggungan, tambahnya.
Baru-baru ini, kantor berita Jerman DPA melaporkan, banyak gereja mengabaikan peraturan prosedural suaka politik, karena yang berhak memutuskan permohonan suaka politik adalah pengadilan dan pemerintah Jerman.
Menurut Kementerian Dalam Negeri Jerman bulan Juli lalu, dari awal 2017 sampai Juni 2018, pihak gereja menyerahkan dokumentasi 2.533 kasus suaka gereja kepada pihak berwenang
Kasus-kasus "darurat kemanusiaan"
Tradisi suaka gereja sudah ada berabad-abad di Jerman, namun tidak ada dasar hukum untuk itu. Juga tidak ada aturan formal yang menetapkan bahwa negara atau otoritas pemerintahan harus menyetujui kebijakan gereja.
Aturan hukum suaka di Jerman memang menyebut "kasus-kasus sulit" yang disebut sebagai kondisi "Härtefall". Yang dimaksud adalah kasus-kasus darurat kemanusiaan, di mana serpoang pemohon suaka yang ditolak permohonannya tidak bisa dideportasi ke negaranya karena misalnya terancam dianiaya atau dijatuhi hukuman mati.
Selama ini, gereja-gereja yang memberi perlindungan kepada pengungsi melandasi tindakannya berdasarkan kondisi kemanusiaan itu. Tapi tidak semua gereja membuat dokumentasi dari individu yang mereka lindungi berdasarkan aturan "Härtefall". Tanpa dokumentasi yang lengkap, Dinas Migrasi dan Pengungsi BAMF menolak meninjau kembali kasus-kasus tersebut.
Lembaga gereja sekarang mulai melakukan pelatihan kepada para pimpinan gereja untuk menyusun dokumentasi kasus "darurat kemanusiaan". Uskup Berlin Karl Jüsten juga menekankan perlunya "membangun hubungan baik" dengan pihak berwenang.
Simbol kemanusiaan gereja
Menanggapi kritik dari kalangan gereja, Kementerian Dalam Negeri baru-baru ini mengubah aturan proses permohonan suaka. Sebelumnya, para pemohon suaka akan dideportasi daam waktu enam bulan jika permohonan suakanya ditolak. Sejak 1 Agustus lalu, batas waktu itu diperpanjang sampai 18 bulan, untuk memberi waktu yang cukup kepada gereja melengkapi berkas-berkas "kondisi darurat kemanusiaan" demi mencegah pengungsi dideportasi.
Christian Weisner; jurubicara gerakan reformasi Katolik "Kami Adalah Gereja" mengatakan, peraturan baru itu pun tidak sesuai dengan semangat kemanusiaan yang sering diangkat di Eropa.
"Mengingat jumlah suaka gereja yang sangat rendah dibanding jumlah keseluruhan pemohon suaka, sangat disayangkan jika negara lalu membatasi aksi simbol kemanusiaan Kristen yang sangat penting, yaitu memberi perlindungan," katanya kepada kantor berita DPA.
Kekurangan Tahanan, Penjara Belanda Jadi Rumah Pengungsi
Belanda kekurangan tahanan. Alhasil penjara di Haarlem beralih fungsi jadi penampungan sementara para pengungsi. Di penjara mereka malah merasa aman.
Foto: picture-alliance/AP/M. Muheisen
Jumlah penjahat turun, arus pengungsi melonjak
Belanda telah membuka pintu penjaranya yang kosong untuk mengakomodasi masuknya migran pencari suaka. Tingkat kejahatan di negara itu telah terus menurun selama bertahun-tahun. Puluhan lembaga pemasyarakatan telah ditutup sama sekali. Ketika árus pengungsi melonjak, Badan Pusat Penerimaan Pencari Suaka Belanda melihat penjara-penjara kosong ini sebagai solusi.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Hidup dalam sel
Fotografer Muhammed Muheisen, dua kali peraih pengghargaan Pulitzer Prize dan kepala fotografer Associated Press untuk Timur Tengah, dalam beberapa tahun terakhir memotret krisis pengungsi. Ia mengabadikan kehidupan baru para pengungsi yang ditampung di penjara kosong ini. Tampak dalam foto, seorang gadis Afghanistan bernama Shazia Lutfi melongok dari pintu sel.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Bisa juga jadi salon
Butuh enam bulan bagi sang fotografer untuk diizinkan masuk ke penjara tersebut. Berhari-hari waktu dihabiskannya untuk mengenal pengungsi lebih dekat. tampak dalam foto, Yassir Hajji, asal Irak, tengah merapikan alis istrinya, Gerbia, di sebuah ruang sel.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Belajar bahasa Belanda
Pengungsi tidak diizinkan untuk bekerja, tetapi mereka berlatih berbicara bahasa Belanda dan naik sepeda --keterampilan penting untuk hidup di Belanda. Karena mereka melakukan semua itu di penjara, maka tidak mengusik warga. Pada umunya para pengungsi berkomentar: "Kami di sini di bawah atap, di tempat penampungan, jadi kami merasa aman."
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Bebas untuk tinggal maupun pergi
Para pengungsi tersebut tinggal di penjara sekitar 6 bulan sebelum mendapat keputusan suaka. Mereka bebas untuk tinggal dan pergi kapan saja. Beberapa pengungsi bahkan menjalin persahabatan dengan warga Belanda.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Tak ada penjahat, aman untuk tinggal
Seorang pengungsi Suriah bahkan berkata pada Muhesein, bahwa penjara ini memberinya harapan untuk hidup. “Jika sebuah penjara tak ada tahanannya, maka artinya ini adalah negara yang aman, dimana saya ingin hidup.” Pengungsi lainnya,asal Afghanistan --Siratullah Hayatullah tampak asyik minum teh dengan tenang di depan kamarnya.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Fasilitasnya lengkap
Pengungsi Afghanistan Siratullah Hayatullah mencuci pakaiannya di ruang cuci. Infrastruktur dalam penjara cukup lengkap sehingga memudahkan pengungsi untuk menjalani hidup mereka sementara.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Tanpa diskriminasi
Pengungsi asal Maroko ini berpose di dalam kamarnya di penjara. Ia seorang gay. Selama di sini, tak pernah ia merasakan diskriminasi. Sebelumnya penjara di Belanda pernah dimanfaatkan juga untuk menampung tahanan dari Belgia dan Norwegia.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Bebas beribadah
Pengungsi Irak, Fatima Hussein beribadah di ruangannya di bekas penjara de Koepel di Haarlem.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Sehat jasmani dan rohani
Meski boleh keluar masuk penjara sesuka hati, bisa jadi kadang-kadang timbul rasa bosan. Mereka bisa juga berolah raga untuk mengisi waktu senggang.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Main basket juga bisa
Pengungsi asal Mongolia, Naaran Baatar, berusia 40 tahun. Di penjara, ia bisa main basket. Di hatinya terpupuk harapan akan hidup baru dan kebebasan.
Foto: picture alliance/AP Photo/M. Muheisen
Menenun harapan haru
Pengungsi Somalia, Ijaawa Mohamed, duduk di kursi di luar ruangan. Meski tinggal di penjara, mereka rata-rata merasa aman dan menenun harapan atas kehidupan baru. Editor : ap/as (nationalgeograpic,smh,nbc,dailymail)
Foto: Muhammed Muheisen (ap)