Lindungi Perempuan dari Kekerasan, UE Sahkan UU Pertamanya
8 Mei 2024
Uni Eropa mengesahkan UU pertamanya untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan. UU ini mewajibkan semua negara UE untuk mengkriminalisasi mutilasi alat kelamin perempuan, pernikahan paksa, dan pelecehan online.
Iklan
Negara-negara Uni Eropa (UE) pada Selasa (07/05) memberikan lampu hijau pada undang-undang (UU) pertama blok tersebut yang ditujukan untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan.
UU baru ini bertujuan untuk melindungi perempuan di UE dari kekerasan berbasis gender, pernikahan paksa, mutilasi alat kelamin perempuan, dan kekerasan dunia maya seperti penguntitan online dan pembagian gambar intim tanpa persetujuan.
UU ini juga memudahkan korban kekerasan dalam rumah tangga untuk melaporkan kejahatannya, yang menurut kerangka baru, dapat dihukum dengan hukuman penjara hingga lima tahun.
Hukuman atas kejahatan terhadap anak-anak, pasangan, mantan pasangan, politisi, jurnalis, dan aktivis hak asasi manusia bisa lebih berat lagi.
Namun, kegagalan untuk mencapai definisi umum tentang pemerkosaan menjadi sumber perdebatan di antara beberapa negara anggota.
Luka dalam Hening: Korban Kekerasan Domestik
04:43
Politisi Eropa sebut UU ini 'terobosan'
"Kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan yang terus berlanjut,” kata Wakil Perdana Menteri Belgia Paul Van Tigchelt. "Undang-undang ini akan memberi jaminan d seluruh Uni Eropa bahwa pelaku akan diberi sanksi keras dan korban akan menerima semua dukungan yang mereka butuhkan.”
Iklan
Parlemen Eropa sebelumnya telah menyetujui regulasi baru tersebut pada April lalu dan adopsi resmi yang dilakukan oleh negara-negara anggota pada Selasa (07/05) merupakan langkah terakhir sebelum regulasi tersebut menjadi UU. Sementara, untuk mengubahnya menjadi UU nasional, negara-negara anggota UE memiliki waktu tiga tahun.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Ini adalah momen terobosan dalam meningkatkan hak-hak perempuan,” kata Marie-Colline Leroy, Menteri Luar Negeri Belgia untuk Kesetaraan Gender.
"Kesetaraan yang nyata hanya dapat terjadi ketika perempuan dapat hidup tanpa rasa takut dilecehkan, diserang dengan kekerasan, atau disakiti secara fisik. Undang-undang ini merupakan langkah penting untuk mewujudkan hal tersebut," tambahnya.
Hukum Perkosaan di Berbagai Negara
Trauma berkepanjangan, hancurnya semangat hidup, bahkan berujung kematian, banyak kepahitan dialami korban perkosaan. Sudah saatnya semua negara memperbaiki perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual.
Foto: Fotolia/Artem Furman
Jerman: No Means No
Tahun 2016 definisi perkosaan diperluas. Jika korban mengatakan 'TIDAK‘ terhadap aktivitas seksual, dan pihak lain tetap memaksa, maka pihka yang memaksa dapat diajukan ke pengadilan. Hukum Jerman sebelumnya terkait kekerasan seksual amat lemah. Sebuah kasus dianggap pemerkosaan hanya jika sang korban secara fisik mencoba melawan pelaku.
Foto: dapd
Perancis: Verbal pun Dapat Dihukum
Istilah "pemerkosaan" mencakup kegiatan seksual tanpa kesepakatan pihak yang terlibat atau adanya unsur pemaksaan. Pelanggar bisa mendapat ancaman vonis hingga 20 tahun penjara. Orang yang berulang kali secara verbal melecehkan orang lain secara seksual dapat dijatuhi vonis denda tinggi - atau bahkan hukuman penjara sampai dua tahun.
Foto: picture alliance/Denkou Images
Italia: Suami pun Bisa Dipenjara
Pada tahun 1996, Italia memperluas hukum kejahatan seks, mencakup pemaksaan aktivitas seksual dalam pernikahan. Ancaman bagi seseorang yang memaksa pasangannya berhubungan seks, sementara pasangannya menolak, bisa terancam hukuman 10 tahun penjara.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
Swiss: Penetrasi Vagina
Swiss membatasi definisi pemerkosaan dengan kegiatan penetrasi pada vagina. Serangan pelecehan seksual lainnya dapat dikategorikan sebagai pemaksaan seksual – jika korban menolak, baik secara fisik maupun verbal. Hukuman untuk semua pelanggaran bisa divonis hingga 10 tahun penjara. Sejak tahun 2014, perkosaan dalam pernikahan dapat dikenai hukuman.
Foto: Fotolia/Ambelrip
Swedia: Korban terpaksa karena takut
Di bawah hukum pidana Swedia, membuka paksa baju orang lain dapat dikenai hukuman hingga 2 tahun penjara. Eksploitasi seks terhadap orang dalam "kondisi tak berdaya," seperti tertidur atau di bawah pengaruh obat/alkohol, termasuk pemerkosaan. Sejak 2013, perkosaan juga termasuk serangan terhadap orang yang tidak menolak karena takut, hingga tercipta kesan terjadinya hubungan seks konsensual.
Foto: Fotolia/Gerhard Seybert
Amerika Serikat: Bahkan terjadi di kampus
Definisi kekerasan seksual bervariasi dari satu negara bagian ke negara bagian lain. Di Kalifornia, misalnya kedua pihak pasangan harus secara jelas menyetujui tindakan seksual, jika tak mau dianggap sebagai perkosaan. Aturan ini juga berlaku untuk mahasiswa di kampus-kampus, di mana dilaporkan meluasnya kekerasan seksual dalam beberapa tahun terakhir
Foto: Fotolia/Yuri Arcurs
Arab Saudi: Melapor malah dihukum
Negara ini menetapkan hukuman mati bagi pemerkosaan, meski masih sulit menjerat pelaku yang memperkosa istri mereka. Ironisnya perempuan yang melaporkan perkosaan malah bisa dihukum jika dianggap "aktif" berkontribusi dalam perkosaan. Misalnya, perempuan yang bertemu dengan laki-laki yang kemudian memperkosa mereka, dapat dihukum karena dianggap mau bertemu dengan lelaki itu.
Foto: picture-alliance/Bildagentur-online/AGF
7 foto1 | 7
Tidak ada definisi umum mengenai pemerkosaan
Tapi, meskipun negara-negara anggota sepenuhnya sepakat terkait pentingnya UU baru ini, teks arahan dalam UU itu justru gagal menentukan definisi umum tentang pemerkosaan, yang menjadi sumber perdebatan selama negosiasi.
Negara-negara seperti Italia dan Yunani mendukung dimasukkannya definisi tersebut, namun Jerman dan Perancis berpendapat bahwa UE tidak memiliki kompetensi dalam hal tersebut.
Menjelang pertemuan di Brussels pada Selasa (07/05), Menteri Kesetaraan Spanyol Ana Redondo bahkan mengatakan dia menginginkan UU yang "sedikit lebih ambisius.”
Meski begitu, dia tetap mengatakan bahwa UU tersebut merupakan "titik awal yang baik.”