1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

LIPI : Pemerintah Harus Lebih Terbuka Tentang Papua

Rizki Akbar Putra
22 Juli 2019

Sebuah lembaga cendekia di Jakarta melaporkan ratusan orang di Ndunga, Papua, meninggal akibat malnutrisi sebagai dampak konflik. Minimnya informasi resmi menyebabkan publik percaya apa pun yang beredar.

Indonesien Rund hundert Masern-Tote in Papua  befürchtet
Foto: Getty Images/AFP/Y. Muhammad

Marthinus Academy melaporkan sebanyak 139 pengungsi asal Nduga di Wamena meninggal dunia karena kelaparan dan hampir setengahnya adalah anak-anak. Laporan ini berdasarkan data yang dihimpun oleh Tim Solidaritas untuk Nduga dan Tim Kemanusiaan Relawan di Wamena hingga Juni silam.

Kapendam XVII Cendrawasih Kolonel Infanteri Muhammad Aidi lantas membantah laporan tersebut melalui sebuah pernyataan. Konflik yang terjadi di Nduga antara militer Indonesia dengan Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) memang telah memaksa warga Nduga untuk mengungsi mencari tempat perlindungan dan meninggalkan pencarian mereka.

Seperti apa kondisi para pengungsi Nduga di Wamena? DW Indonesia mewawancarai anggota Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Rosita Dewi, guna melihat permasalahan ini secara lebih berimbang.

Deutsche Welle : Seperti apa kondisi para pengungsi saat ini, khususnya Nduga?

Rosita Dewi: Ada satu tim kami berangkat ke Wamena untuk melihat  bagaimana kondisi pengungsi di sana. Hanya saja saat itu sedang hari libur, tidak ada sekolah jadi mereka (pengungsi) tidak ada di pengungsian. Mereka biasanya saat hari libur pergi ke saudaranya, ke orang-orang yang mereka kenal di sekitar Nduga. Tapi kalau keseharian mereka ada di pengungsian. Yang saya dengar bantuan dari pemerintah masih cukup minim dan terbatas. Mereka belum berani kembali ke Nduga lagi. Kondisinya masih seperti itu. Masih sangat tertutup Nduga ini, kita tidak bisa mengetahui secara pasti yang terjadi di Nduga sendiri. Apakah masih ada kontak bersenjata. Agak sulit karena ini bersifat politis, pemerintah cenderung agak tertutup untuk informasi-informasi seperti itu.

Rosita Dewi, peneliti Tim Kajian Papua LIPI.Foto: Dr. Rosita Dewi

Lantas apakah penyebab minimnya pangan yang ada di pengungsian?

Kita harus lihat kebiasaan orang Papua karena mereka masih cukup bergantung dengan hasil bumi, mereka sangat terikat dengan tanah adat. Ketika mereka berada di pengungsian, mereka jadi tidak bisa mengakses ladang-ladang, karena (lahan) ada di Nduga, tapi mereka mengungsi ke Wamena. Ketika tidak ada bantuan, akan sulit memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Kecenderungan mereka mencari sumber pangan berasal dari tanah adat mereka. Mereka sudah sangat terikat dengan wilayah-wilayah mereka. Mereka tidak mungkin mengakses tanah yang bukan milik mereka karena secara adat tradisional mereka masih sangat kuat. Biasanya mereka mencari ubi, berburu, tidak bisa mereka lakukan kini di pengungsian. Keterbatasan itu yang kemungkinan bisa mengakibatkan keterbatasan akses terhadap pangan, ketika bantuan pemerintah tidak memenuhi.

Seberapa besar dampak konflik yang berlangsung di Nduga terhadap warganya?

Mata pencaharian langsung berimbas, mereka masih berladang. Kemudian pemenuhan pangan anak, kemudian pendidikan anak juga. Bagaimana itu tidak bisa terpenuhi karena terdampak dari konflik di Nduga itu. Semuanya simultan tidak bisa dipisahkan. Jelas menimbulkan trauma, dengan mereka tidak berani kembali berarti ada sesuatu yang mengkhawatirkan bagi mereka. Makanya proses-proses ini memang melelahkan secara fisik maupun mental karena konfliknya sampai baku tembak. Mau tidak mau ada unsur kekerasan yang kemudian membawa dampak ketakutan warga. Ini harus dilihat dari dua belah pihak. Jatuh korban bukan saja dari pihak sana (kelompok separatis bersenjata), tapi dari pihak aparat pun banyak TNI Polri dan warga sipil. Konflik ini harus benar-benar kita lihat secara berimbang.

Menurut laporan Marthinus Academy, ada 139 pengungsi asal Nduga yang meninggal di  Wamena akibat malnutrisi, bagaimana tangapan Anda?

Memang agak sulit dikonfirmasi. Apakah ada kematian atau tidak kita perlu cross check ulang, harus berhati-hati karena angka ini bisa cukup bias. Cuma yang harus kita perhatikan memang ada pengungsi dari Nduga akibat adanya konflik di Nduga ini. Kita tidak bisa menyangkal bahwa pengungsi itu ada, bahwa konflik di Nduga itu efeknya sampai ke situ. Ini sudah cukup lama dari bulan Desember, sampai saat ini pun mereka belum bisa kembali ke tempat asalnya karena masih adanya kekhawatiran dari para pengungsi.

Kapendam XVII Cendrawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi membantah adanya laporan tersebut, apakah Anda memiliki pandangan serupa?

Apakah itu hoaks atau tidak, kita tidak tahu. Tapi pemerintah harusnya terbuka bahwa apa yang sebenarnya terjadi di sana harusnya dibuka (ke publik) dan apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah itu juga harus dibuka. “Kita sudah memberikan bantuan, kita sudah melakukan penanganan,” jadi masayarakat harus tahu dengan adanya hal-hal seperti ini, media bisa mengimbangi. Kalau tidak ada datanya kita juga tidak tahu, apa sih yang sudah dilakukan pemerintah? Tidak ada informasi apa pun (dari pemerintah) menyebabakan kita percaya apa yang beredar, walaupun mungkin itu tidak benar. Ketika kita melihat fakta dari Desember sampai sekarang, ada pengungsi dan lain sebagainya, ketika kita tahu mereka jauh dari sumber mata pencaharian mereka, asumsi-asumsi  dibangun apakah ini yang menjadi penyebab malnutrisi. Dia (Marthinus Academy) sudah sangat detil menyebutkan ini ada 139 orang meninggal karena malnutrisi. Angka ini cukup bias, bisa saja tidak ada sama sekali, mungkin bisa lebih, kita tidak tahu. 

Persoalan kesehatan selalu menjadi masalah setelah tahun 2018 ditetapkan Kejadian Luar Biasa Gizi Buruk di Kabupaten Asmat. Apakah sebenarnya masih banyak persoalan serupa yang tidak terekspos di wilayah lain di Papua?

Untuk persoalan kesehatan secara umum masih banyak di Papua yang belum tersentuh. Misalnya infrastruktur kesehatan, secara fisik ada, tapi akses masyarakatnya ke sana tidak ada. Bagaimana masyarakat bisa mengakses itu terbatas, jarak antara prasarana-prasarana jauh. Ini belum tepat sasaran apa yang disediakan pemerintah kadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Apa yang harus pemerintah lakukan untuk mengatasi persoalan para penungsi Nduga?

Pemerintah harus terbuka, kita di sini tidak tahu apa yang terjadi di sana, tapi hanya dengan pendekatan militer tidak akan bisa menyelesaikan semuanya. Ini kan semua persoalan yang ada di Papua sifatnya berlapis, tidak hanya soal Organisasi Papua Merdeka, ada persoalan ekonomi di situ, ada persoalan marjinalisasi di situ. Ada berbagai macam persoalan yang harusnya bisa diselesaikan secara simultan. Kalau hanya dengan pendekatan keamanan tidak akan menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak terkait dengan politik. Karena persoalan Papua yang cukup komplek harus benar-benar diselesaikan secara simultan, semua faktor baik ekonomi, politik, kemanan, secara komprehensif.

Wawancara dilakukan oleh Rizki Akbar Putra dan telah diedit sesuai konteks.

Arti Ekawati turut berkontribusi dalam wawancara ini.

Dr. Rosita Dewi adalah seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia merupakan anggota Tim Kajian Papua LIPI. Rosita Dewi menyelesaikan studi S3 di Kyoto University, Jepang.