1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Politik Dinasti di Indonesia Kian Subur

Arti Ekawati
21 September 2019

Persoalan ikut-mengikuti jejak kerabat dan sanak saudara dalam dunia politik di Indonesia memang bukan hal baru dan tampaknya belum akan mereda.

Symbolbild Schach Peer Steinbrück
Foto: Elnur/Fotolia

Pada Rabu (18/08) putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, mengunjungi kediaman dinas Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo. Akibat kunjungan ini, beredar spekulasi bahwa Gibran akan maju untuk mencalonkan diri jadi Walikota Solo. Sejauh ini Gibran memang belum menjawab dengan jelas terkait adanya motif politik di balik kunjungan tersebut.

Masalah akan mencalonkan diri secara atau tidak memang hak politik tiap individu. Namun kunjungan ini kontan menimbulkan tanda tanya apakah nantinya satu per satu anggota keluarga ini juga terjun ke politik praktis?

Dini Suryani, pengamat politik dari LIPIFoto: privat

Mengikuti jejak anggota keluarga ke dalam kancah politik memang bukan hal asing, baik di Indonesia maupun luar negeri. Sebelum era reformasi Soeharto sempat menunjuk putrinya yaitu Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) menjadi menteri sosial. Setelah reformasi, sejumlah nama keluarga pun muncul di berbagai daerah, membentuk klan-klan dimana orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan meduduki berbagai posisi strategis baik di eksekutif maupun legislatif.

Tidak masalah, selama mereka tidak korupsi, adil dan bisa memegang amanah, demikian yang muncul dalam benak pikiran. Namun apakah benar sebegitu mudah? DW berbincang dengan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dini Suryani mengenai fenomena politik dinasti ini. 

Deutsche Welle: Sejauh mana praktik politik dinasti mengakar di Indonesia baik di tingkat nasional maupun regional? Seperti apa perkembangannya jika dilihat dari era reformasi dan sebelumnya?

Dini Suryani: Ketika Orde Baru, politik dinasti lebih mencolok di tingkat nasional. Ditandai dengan kehadiran Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) yang menjadi anggota MPR RI dari Fraksi Golkar dari tahun 1992-1998 ketika ayahnya, Presiden Soeharto untuk ke sekian kalinya menjadi presiden. Ia (Tutut) kemudian ditunjuk menjadi Menteri Sosial ke-23 oleh ayahnya sendiri, meskipun hanya menjabat beberapa bulan (Maret-Mei 1998) karena gelombang tuntutan reformasi tidak bisa dibendung lagi. Ketika Orde Baru runtuh, praktik dinasti justru semakin menyubur, tetapi kali ini di tingkat lokal, seiring dengan perubahan hubungan pusat-daerah yang semula tersentralisasi menjadi desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah. Politik dinasti semakin subur ketika pilkada langsung diberlakukan sejak tahun 2005.

Berdasarkan pengamatan LIPI, propinsi mana yang paling banyak terdapat praktik ini?

Politik dinasti muncul di banyak wilayah misalnya di Dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, Dinasti Narang di Kalimantan Tengah, Dinasti Sjahroeddin di Lampung, ataupun Dinasti Fuad di Bangkalan (Madura). Tetapi menurut saya, politik dinasti yang paling masif terjadi di Banten dengan Dinasti Chasan Sochib (Kelompok Rau). Dalam satu periode yang sama, hampir seluruh anggota keluarga dinasti ini memegang jabatan penting dalam politik di provinsi tersebut: (1) Ratu Atut Chosiyah (anak) sebagai Gubernur Banten selama dua periode dari 2007 hingga 2013; (2) Ratu Tatu Chasanah (anak) sebagai Wakil Bupati Serang periode 2010-2015 dan Bupati Serang periode 2016-2020; (3) Airin Rahmy Diany (menantu) sebagai Walikota Tangerang Selatan selama dua periode sejak 2011 hingga 2020; (5) Andhika Hazrumy (cucu) sebagai anggota DPD RI dari Provinsi Banten periode 2009-2014 dan  anggota DPR RI Dapil I Banten periode 2014-2016 serta Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022; (6) Andiara Aprilia Hikmat (cucu) sebagi anggota DPD RI dari Banten periode 2014-2019; (7) Tubagus Khaerul Jaman (anak) sebagai Walikota Serang periode 2013-2018; (8) Heryani Yuhana (istri ke-5) sebagai anggota DPRD Pandeglang periode 2009-2011; (9) Ratna Komalasari (istri ke-6) sebagai anggota DPRD Kota Serang periode 2009-2013; (10) Ratu Ella Nurlaella (keponakan) sebagai anggota DPRD Prov Banten periode 2009-2019; (11) Ade Rossi Khaerunnisa (cucu menantu) sebagai DPRD Kota Serang periode 2009-2014 dan DPRD Provinsi Banten periode 2014-2019; (12) Tanto Warsono Arban (cucu menantu) sebagai DPRD Provinsi Banten periode 2014-2015; (13) Aden Abdul Khaliq (menantu) sebagai anggota DPRD Provinsi Banten (2009-2012). Belum lagi yang menjabat sebagai fungsionaris Partai Golkar DPW Banten/ DPC wilayah di Banten maupun menjadi pimpinan organisasi pengusaha seperti KADIN dan Gapensi, maupun organisasi sosial. Yang menarik, di Banten bukan hanya ada Dinasti Chasan tetapi juga dinasti Dimyati di Pandeglang, Dinasti Jayabaya di Lebak. 

Mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, dari salah satu keluarga paling berpengaruh di Banten.Foto: Adek Berry/AFP/Getty Images

Mengapa sampai bisa semasif itu?

Secara umum di Banten sampai terjadi dinasti politik yang begitu masif adalah karena Chasan Sochib berhasil mengkooptasi wilayah di Banten secara ekonomi sejak sebelum otonomi daerah dimulai (yaitu sejak masih menjadi bagian dari Jawa Barat). Ketika desentralisasi berjalan, kooptasi itu meluas dengan memasuki bidang politik terutama melalui pilkada. Selain itu di Banten tidak ada organisasi civil society yang secara konsisten membantu masyarakat umum untuk meningkatkan literasi politik mereka. Oleh karena itu, anggota dinasti politik di Banten terus terpilih dalam pemilu/pilkada meskipun kasus korupsi yang melanda anggota keluarganya yang telah menjadi pejabat publik sebelumnya sudah terpampang nyata. 

Apa dampaknya?

Tentu lebih banyak dampak negatif, karena politik dinasti akan mengaburkan atau bahkan meniadakan fungsi checks and balances dalam pemerintahan. Kita tentu sulit mengharapkan seorang anggota DPRD dari dinasti A mengkritisi ekskutif yang juga berasal dari dinasti A di mana mereka memiliki hubungan kekerabatan. Dan checks and balances yang buruk akan mengarah ke pratik korupsi, sebagaimana yang terjadi di Banten. 

Apakah kecenderungan politik dinasti bisa dicegah? Bagaimana caranya?

Cara efektif sebenarnya adalah melalui kebijakan (undang-undang) yang mencegah orang untuk mendapatkan kekuasaan yang sarat konflik kepentingan. Salah satunya adalah UU/pasal antipolitik dinasti. Tapi pasal ini sudah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai akan menghalangi hak konstitusional seseorang untuk berpartisipasi dalam pemilu. Ketika pencegahan via hukum positif sudah tidak bisa, maka ya harus dari luar kebijakan. Oleh karena itu ada beberapa cara untuk mengatasinya pertama yaitu dengan meningkatkan literasi politik masyarakat agar memilih calon sesuai kompetensinya dan bukan hanya karena populer (modal awal para calon dinasti politik). Selain itu perlu untuk menghilangkan politik uang dalam pemilihan, agar lebih banyak orang bisa berpartisipasi dalam ajang pilkada/pemilu. Selama ini calon yang muncul berasal dari kelompok dinasti yang notabene telah memiliki sumber daya ekonomi yang banyak sehingga memungkinkan untuk melakukan money politics untuk membuat mereka terpilih. Dalam survei LIPI 2019, terlihat bahwa 47 persen responden bersifat permisif terhadap politik uang. Cara lain adalah menguatkan pelembagaan partai politik yang masih lemah dengan mendorong partai politik untuk membentuk kader, tidak sekedar mencomot calon yang punya modal ekonomi dan popularitas tinggi yang biasanya berasal dari dinasti politik. 

Berapa kisaran jumlah pejabat yang kemudian juga menerjunkan anggota keluarganya ke politik?

Tahun 2016 angka daerah yang melibatkan dinasti politik ada 65 daerah. Saat ini jumlahnya mungkin tidak berkurang jauh.

Salah satu tujuan reformasi adalah menghapus sistem kekronian namun dengan berlanjutnya politik dinasti ini, berarti tujuan ini gagal?

Tujuan bahwa kekuasaan tidak lagi terpusat di satu orang (Soeharto) dapat dikatakan berhasil, tetapi memang kekuasaan saat ini berada di tangan beberapa kelompok karena konsolidasi demokrasi belum berada di titik finalnya. Istilahnya adalah the iron law of oligarchy yaitu keadaan ketika dalam situasi demokrasi, selalu ada tendensi untuk penguasaan kekuasaan oleh satu kelompok. Jadi, di Indonesia, situasi oligarki sangat mungkin terjadi, karena kita bahkan belum sampai pada posisi demokrasi yang terkonsolidasi.

Siapa saja pemimpin di Indonesia baik tingkat nasional dan daerah yang berkualitas namun tidak berpolitik dinasti? Apa pelajaran yang bisa dipetik dari mereka?

Banyak, misalnya Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, atau Nurdin Abdullah yang berhasil mengalahkan Dinasti Limpo di Sulsel. Ketiganya memperlihatkan bahwa meskipun pilkada banyak dimanfaatkan oleh dinasti politik untuk merebut kekuasaan, namun di sisi mata uang yang lain, pilkada juga memungkinkan orang-orang yang tidak memiliki eksposur kekuasaan sebelumnya untuk muncul sebagai pemimpin. Jokowi sendiri bukan berasal dari dinasti politik, tetapi kalau akhirnya dia malah membangun dinasti, itu lain soal lagi.

Negara lain mana yang juga terdapat praktik ini? Seperti apa tingkat korupsi di negara-negara itu?

Yang paling mirip dengan kita adalah Filipina, dimana dinasti politik langgeng tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat daerah. Tingkat Korupsi di sana juga mirip dengan kita, CPI-nya hanya terpaut 2 poin. Bedanya mereka sudah punya UU Anti Politik Dinasti meskipun belum efektif. Di Asia sendiri dinasti politik memang langgeng, seperti di India, Pakistan, Singapura. Yang terbaru, di Amerika Serikat, negara yang mendaku sebagai negara demokratis saat ini presidennya mendorong anaknya maju untuk terlibat banyak dalam politik negara.

 

Wawancara dilakukan oleh Arti Ekawati dan telah diedit sesuai konteks.

Dini Suryani adalah peneliti di Pusat Studi Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Fokus penelitiannya adalah pada isu-isu politik lokal Indonesia, terutama otonomi daerah, desentralisasi, konflik, dan masyarakat sipil. Dini Suryani meraih gelar sarjana dari Departemen Pemerintahan dan Politik Universitas Gadjah Mada tahun 2010. Dia lulus dari program Magister Asia dan Studi Pasifik dari Australian National University (ANU) tahun 2015.