Lockdown Suburkan Praktik Pornografi Anak di Filipina
Ana P. Santos (Manila)
30 Mei 2020
Akses internet tak berbatas dan larangan keluar rumah menyuburkan industri pornografi anak di Filipina. Situasi muram itu diperparah oleh sikap penyedia layanan internet yang enggan menyensor konten bermasalah
Iklan
Aktivis Hak Asasi Manusia di Filipina mengkhawatirkan tren muram meningkatnya penyebaran konten pornografi anak secara online di tengah wabah corona. Mereka mewanti-wanti penutupan sekolah dan larangan keluar rumah menjauhkan anak-anak dari guru atau masyarakat sehingga menyulitkan deteksi dini penganiayaan.
“Situasi ekonomi yang memburuk bisa mendorong orang dewasa menjajakan anak-anaknya secara online kepada predator seks,” kata Aissa Ereneta, Direktur Dana Bantuan Anak, ChildFund Philippines.
Menurut unit kejahatan siber di Kementerian Kehakiman Filipina, angka kasus eksploitasi seksual terhadap anak-anak di dunia maya terutama mencuat di Pulau Luzon sejak 1 Maret hingga 24 Mei, ketika larangan keluar rumah masih diberlakukan.
Data Pusat Pengaduan untuk Kekerasan Anak mencatat 279.000 kasus aduan dalam periode tersebut, atau naik 265% dalam jumlah kasus tahunan.
Penyalahgunaan Teknologi
Ponsel dan akses internet mempermudah siapa pun untuk menjual konten seksual di internet. Adapun pembayaran melalui layanan pengiriman uang tunai internasional membuat pelaku sulit dilacak.
Salah satu perkara adalah keenggaanan penyedia jasa telekomunikasi untuk memblokir konten seksual anak-anak. Tidak jarang kasus eksploitasi seksual diadukan oleh kepolisian asing yang melacak jejak pelaku ke Filipina.
“Sangat disayangkan bahwa 11 tahun setelah adanya undang-undang yang melarang pornografi anak, penyedia jasa internet masih tidak mau menggunakan teknologi filter. Tanpanya, tren mengeksploitasi anak akan terus berlanjut,” kata pejabat Kementerian Kehakiman, Mark Perete.
Sumber pornografi anak
Sebuah studi oleh International Justice Mission (IJM) mengungkap kasus eksploitasi seksual anak-anak di internetmeningkat 250%, dari 23.000 menjadi 81.000 antara 2014 dan 2017. Angka tersebut memastikan reputasi gelap Filipina sebagai salah satu negara produsen konten pornografi anak terbesar di dunia.
Menurut laporan IJM, rata-rata korban berusia 11 tahun. Korban paling mudah bahkan tercatat berusia di bawah satu tahun. Sebanyak 62% tindak eksploitasi difasilitasi oleh orang tua atau salah seorang anggota keluarga, dan bahkan tetangga.
“Eksploitasi seksual anak-anak secara online adalah bentuk paling kejam dari eksploitasi seksual. Kejahatan ini melibatkan anak-anak berusia sangat muda yang kebanyakan adalah anak perempuan. Trauma fisik sangat kentara dan mudah disembuhkan, tapi trauma psikologis bisa bertahan berbulan atau bahkan bertahun-tahun,” kata Evelyn Pingul, Direktur Eksekutif IJM.
Rabu (27/05), sebuah pengadilan di FIlipina memvonis warga negara Amerika Serikat dengan hukuman kurung seumur hidup, usai kedapatan memproduksi video dan foto porno anak-anak untuk dijual ke luar negeri. Pelaku baru ditangkap usai identitasnya dibocorkan Biro Investigasi Federal Amerika Serikat.
Filipina: Anak-anak dari Wisata Seks
Mereka terlihat berbeda dari anak-anak lain, tumbuh tanpa ayah dan dalam kemiskinan. Mereka adalah anak-anak wisatawan seks di Filipina.
Foto: DW/R. I. Duerr
Tergantung pada Industri Seks
Kemiskinan dan tidak adanya peluang kerja, kerap membawa gadis-gadis muda di kota Olopango, terjun dalam dunia prostitusi. Banyak juga perempuan muda dari kota lian datang ke sini untuk mencari pekerjaan di bar. Di negara bermayoritas Katolik ini , alat kontrasepsi sulit didapat. Akibatnya, setiap tahun lahir ribuan anak berayahkan wisatawan asing. Kebanyakan dari mereka tumbuh dalam kemiskinan.
Foto: DW/R. I. Duerr
Generasi tanpa Ayah
Daniel (4 tahun) kemungkinan tidak akan pernah mengenal ayahnya, seorang Amerika. Kedua kakaknya berayahkan orang Filipina, yang juga meninggalkan ibunya. Sejak bertahun-tahun ia bekerja di sebuah bar. Agar dapat memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya, kini ia berharap dapat bekerja di sebuah pabrik elektro milik Korea Selatan.
Foto: DW/R. I. Duerr
Warisan Wisata Seks
Bermain dengan bola basket merupakan aktivitas favorit Ryan (tengah). Ayahnya berasal dari Jepang. Ibu Ryan masih bekerja sebagai PSK di sebuah bar di Olongapo. Ryan memiliki empat saudara, juga dengan ayah yang berbeda-beda.
Foto: DW/R. I. Duerr
Peluang Karir?
Anak berkulit putih, seperti Sabrina (tengah) kadang dijuluki "Bangus" atau Ikan Bandeng. Dalam lingkungan mereka, anak-anak ini biasanya "dibedakan". Namun, berkat wajah mereka kadang mereka beruntung bisa berkarir di Dunia film atau mode. Sabrina, maupun ibunya, tidak memiliki kontak lagi dengan ayahnya di Jerman.
Foto: DW/R. I. Duerr
Ditinggal sebelum Bertemu
Setiap hari Leila menyandang ranselnya yang penuh dengan buku dan pensil. Gadis berusia lima tahun ini tidak sabar lagi untuk bisa pergi ke sekolah tahun depan. Ayahnya 'kabur' kembali ke Amerika Serikat Saat Leila masih berada dalam kandungan.
Foto: DW/R. I. Duerr
Tanpa Peluang
Ayah Ayla merupakan seorang Amerika berkulit hitam. Ibunya, yang tidak pernah belajar membaca dan menulis, dulu bekerja sebagai PSK . Sekarang ia membuka jasa cuci baju.
Foto: DW/R. I. Duerr
Stigma Seumur Hidup
Anak-anak yang berayahkan warga Afrika atau Afro-Amerika kerap menghadapi "diskriminasi" di lingkungan mereka, dengan menyebut mMereka "Negro".
Foto: DW/R. I. Duerr
Tidak Mampu Berobat
Lester masih berusia satu tahun saat ayahnya meninggal. Selama tujuh tahun, ibunya, Jessica, hidup bersama dengan ayah Lester, seorang Amerika, yang merupakan manajer di sebuah bar tempat Jessica bekerja. Lester menderita pneumonia parah. Namun ibunya yang kini bekerja di sebuah laundry tidak memapu membawanya ke dokter.
Foto: DW/R. I. Duerr
Hidup Baru
Putra Angela, Samuel, berayahkan seorang warga Swiss. Angela tidak memiliki kontak lagi dengannya sejak ia mengandung Samuel. Kini Angela bersuamikan orang Filipina, dan telah dikaruniai bayi. Pekerjaannya di bar ia tinggalkan demi suaminya.
Foto: DW/R. I. Duerr
Kabar Terputus
Sejak lahir ibu Rachel, Pamela (kiri), tunarungu dan tunawicara. Pada usia 16 tahun, Pamela mulai bekerja di bar di Olongapo. Dengan ponslenya, Rachel menunjukkan foto ibunya, Saat berumur sekitar 20 tahun, bersama pacar Jermannya. Sejak kelahiran Rachel, ayahnya kerpa mengirim uang dari Jerman. Namun sejak beberapa bulan, tidak ada kabar lagi darinya.