1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Bagaimana Sri Lanka Berhasil Tekan Angka Kasus Corona?

Ankita Mukhopadhya
21 Mei 2020

Jumlah kematian akibat COVID-19 di Sri lanka tidak bertambah karena tingkat pengujian yang tinggi, ditambah dengan sistem kesehatan dan pengawasan yang memadai. Meski, umat Islam di Sri Lanka tak dapat manfaat yang sama.

Pembatasan sosial di Sri Lanka
Foto: Reuters/D. Liyanawatte

Sri Lanka kembali menerapkan jam malam pada hari Sabtu (16/5) sebagai langkah konkret membatasi pergerakan warga selama akhir pekan, meskipun pemerintah telah melonggarkan kebijakan lockdown.

Dengan diberlakukannya jam malam, otoritas kesehatan mengatakan penyebaran SARS-CoV-2 menjadi terkendali di Sri Lanka. Sektor bisnis swasta dan kantor pemerintah pun kembali dibuka minggu lalu.

Dengan populasi sekitar 21,5 juta orang, negara itu hanya memiliki 960 kasus terkonfirmasi COVID-19 dengan sembilan kematian. Kisah sukses Sri Lanka sebagian dapat dikaitkan dengan tingkat pengujian virus corona yang relatif tinggi. Pada 30 April, negara itu melakukan 930 tes per 1 juta orang, dibandingkan dengan negara-negara Asia Selatan lainnya seperti Bangladesh (393), India (602) dan Pakistan (703).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), penyebaran kasus COVID-19 di Sri Lanka lebih “ringan” karena kebijakan lockdown diterapkan lebih awal.

"Lebih dari 50% kasus COVID-19 di Sri Lanka adalah orang-orang yang berusia antara 20-60 tahun. Para pasien ini adalah orang yang relatif lebih muda yang kurang rentan terhadap penyakit parah.

''Alasan mengapa sebagian besar kasus adalah ringan mungkin karena lockdown di Sri Lanka dimulai sangat awal," ujar Razia Pendse, perwakilan WHO untuk Sri Lanka, kepada DW.

Pelajaran dari Sri Lanka

Pakar kesehatan dari seluruh dunia telah menggunakan sistem perawatan kesehatan Sri Lanka sebagai studi kasus sejak 1980-an.

Pada tahun 1985, laporan Yayasan Rockefeller menyebutkan Sri Lanka menjadi salah satu negara yang berhasil menerapkan pelayanan kesehatan yang baik dengan biaya murah. Negara ini memiliki warisan investasi selama puluhan tahun dalam sistem kesehatan dengan biaya pengeluaran yang rendah. Kebanyakan orang Sri Lanka tinggal dalam jarak 3 kilometer dari fasilitas kesehatan umum, dan sejak tahun 2000 rata-rata ada tiga tempat tidur rumah sakit per 1.000 orang (dibandingkan dengan rata-rata dua tempat tidur per 1.000 orang di negara-negara berpenghasilan menengah).

Menurut laporan itu, akses geografis yang baik serta tidak mahalnya biaya untuk fasilitas publik menghasilkan sistem kesehatan yang relatif adil di Sri Lanka.

Sistem pengawasan yang mapan

Setelah belajar dari pengalaman masa lalunya dengan berbagai penyakit menular dan tidak menular, Sri Lanka juga berinvestasi dalam sistem pengawasan kesehatan masyarakat, yang telah terbukti bermanfaat selama pandemi saat ini.

Sri Lanka memantau dengan seksama penyebaran wabah, tepat setelah kasus pertama muncul di negara itu, dan melacak setiap orang yang berpotensi terinfeksi virus corona SARS-CoV-2.

"Kasus pertama muncul di Sri Lanka pada minggu terakhir Januari, setelah itu tidak ada kasus sampai sekitar pertengahan Maret. Selama rentang waktu itu, pemerintah memastikan bahwa pengawasan kesehatan masyarakat diaktifkan untuk menemukan kasus dengan penyakit pernapasan. Setelah kasus diidentifikasi, kami melakukan diagnosa yang diperlukan sehingga kami dapat mengesampingkan dugaan kasus COVID-19, "jelas Pendse dari WHO.

Sri Lanka telah mengembangkan sistem pengawasan berdasarkan platform DHIS2 Open Source pada awal 2020. Sistem tersebut menjadi dasar bagi penyebaran paket tanggapan DHIS2 COVID-19 di seluruh dunia melalui Program Sistem Informasi Kesehatan (HISP) untuk menanggulangi wabah.

Negara ini juga merilis COVID Shield, sebuah aplikasi di telepon seluler untuk membantu orang melacak kesehatan mereka dan memberikan dukungan selama isolasi diri dan karantina. Aplikasi ini sekarang sedang digunakan di beberapa negara lain, termasuk Maladewa.

Selain itu, pemerintah Sri Lanka juga menutup klinik kesehatan masyarakat dan memberikan pemeriksaan kesehatan rutin dan obat-obatan langsung ke rumah pasien. Sebuah hotline dibuat untuk memungkinkan pasien non-COVID-19 mencari saran dari petugas kesehatan.

Masalah demografi

Oommen C. Kurian, Kepala Prakarsa Kesehatan di Observer Research Foundation (ORF), sebuah lembaga think tank India mengatakan bahwa negara kecil Sri Lanka tidak dapat secara langsung dibandingkan dengan negara tetangganya yang memiliki jumlah penduduk lebih besar, seperti India.

"Perbandingan langsung antara India dan Sri Lanka sulit dilakukan. Sri Lanka adalah negara yang sangat kecil. Mengelola populasi dengan jumlah sedikit lebih mudah dibandingkan dengan India," jelas Kurian.

"Sri Lanka beruntung bila dibandingkan dengan India karena kasus COVID-19 (di Sri Lanka) terkelompok. Sekitar 40% kasus Sri Lanka berasal dari fasilitas angkatan laut. Ini memungkinkan Sri Lanka mengambil pendekatan yang ditargetkan untuk menangani penyebaran virus," tambahnya.

Namun, negara bagian Kerala di India selatan memiliki pendekatan yang mirip dengan yang dilakukan Sri Lanka. Kerala menerapkan lockdown jauh sebelum negara bagian lainnya.

Muslim sebagai kambing hitam?

Meskipun berhasil dalam menangani pandemi COVID-19, penanganan wabah di Sri Lanka bukannya tanpa kritik. Anggota dari minoritas Muslim di negara itu diduga menjadi stigma sebagai pembawa virus. Dari sembilan orang yang meninggal karena COVID-19 di Sri Lanka, empat diantaranya berasal dari komunitas Muslim.

Ketegangan agama di negara itu meningkat, setelah adanya serangan teror pemboman Paskah 2019 pada bulan lalu.

Pada 11 April, pemerintah Sri Lanka semakin memperburuk jurang perpecahan agama ketika mereka mengubah pedoman untuk mengubur jenazah orang yang meninggal akibat COVID-19 dengan mewajibkan proses kremasi. Beberapa Muslim mengecam langkah itu, mengatakan bahwa kremasi bertentangan dengan agama mereka untuk menguburkan orang yang meninggal.

Pihak berwenang Sri Lanka kemudian menangkap pensiunan pejabat pemerintah, Ramzy Razeek, setelah ia mengkritik proses kremasi terhadap orang beragama Islam yang meninggal akibat COVID-19. Ia memperingatkan adanya peningkatan propaganda kebencian terhadap Muslim di media sosial. Sementara menurut pedoman dari WHO, jenazah orang yang meninggal akibat COVID-19 dapat dikremasi atau dikuburkan.

Tantangan dengan pekerja migran

Sri Lanka juga menghadapi risiko kemungkinan gelombang baru virus dari kasus impor. Negara ini memiliki lebih dari satu juta pekerja migran di luar negeri, di antaranya sekitar 60.000 pekerja ingin kembali ke rumah, menurut Organisasi Perburuhan Internasional.

Namun, salah satu syarat untuk memulangkan warga kembali ke Sri Lanka didasarkan pada ketersediaan fasilitas karantina, jelas Pendse. (ha/pkp)