1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Lonjakan Pemakaman dan Perlunya Perluasan Tes Cepat

8 April 2020

Angka pemakaman di ibu kota selama bulan Maret 2020 mengalami peningkatan tajam di tengah pandemi corona. Pakar menilai perlu ada perluasan cakupan tes cepat yang disertai pembatasan pergerakan masyarakat. 

Relawan Palang Merang kenakan APD semprot disinfektan di sebuah sekola
Foto ilustrasi pembersihan sekolahFoto: Reuters/Antara Foto/N. Wahyudi

Indonesia memiliki persentase tingkat kematian atau case fatality rate (CFR) untuk kasus COVID-19 sebesar 8,07%. Angka ini berdasarkan data dari gugus tugas penanggulangan COVID-19, pada Selasa (07/04) siang. CFR dihitung dengan cara membagi angka kematian dengan angka kasus yang terkonfirmasi positif corona dikalikan 100. Merujuk data di hari yang sama, sudah ada 2.738 kasus positif COVID-19 dan 221 orang meninggal dunia. 

Sementara, di bulan Maret 2020 angka pemakaman di DKI Jakarta mengalami peningkatan tajam. Menurut data dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta pada Minggu (05/04),  ada sebanyak 4.377 pemakaman sepanjang Maret 2020 dan angka ini disebut 40 persen lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya sejak Januari 2018.  

Gubernur Jakarta, Anies Baswedan menaruh perhatian terhadap angka pemakaman jenazah di Jakarta yang mengalami pelonjakan, khususnya pemakaman jenazah dengan prosedur tetap (protap) virus corona.

Pada Senin (06/04) Anies mengatakan bahwa pemakaman jenazah dengan protap sebanyak 283 kasus. Dari 283 orang yang dikubur dengan protap jenazah corona, belum semuanya terkonfirmasi positif karena kemungkinan hasil laboratorium belum keluar. 

"Ini sangat mengganggu," kata Anies seperti dilansir dari Reuters, Jumat (03/04), merujuk pada statistik pemakaman. "Saya berusaha untuk menemukan alasan lain selain kematian COVID-19 yang tidak dilaporkan." 

Dari 4.377 pemakaman jenazah di DKI Jakarta, hanya 354 yang dimakamkan dengan protap virus corona pada bulan Maret 2020.  

Lonjakan pemakaman di tengah pandemi corona 

Kepada DW Indonesia, peneliti senior LBM Eijkman Prof. David Muljono mengatakan bahwa peningkatan angka pemakaman selama bulan Maret tidak dapat dipastikan apakah terkait corona atau tidak. 

‘’Mungkin saja kita bisa menduga, kita menduga itu kan (supaya) tidak boleh lengah. Lebih baik menduga positif tapi ternyata hasilnya negatif daripada sebaliknya. Tapi itu saya kira dibuktikan nya dengan tracing,’’ ujar David. 

David menjelaskan setiap orang yang meninggal telah memiliki catatan dari rumah sakit, namun perlu mempertimbangkan pasien dengan kategori komorbid atau yang memiliki penyakit penyerta. 

‘’Tapi yang saya khawatirkan masih ada kemungkinan komorbid. Komorbid itu dengan diabetes ternyata kena (corona),’’ ujarnya. 

Meskipun masih belum dapat dipastikan apakah peningkatan pemakaman ini terjadi karena wabah corona atau bukan, yang jelas menurut David perlu pelacakan lebih lanjut terhadap mereka yang melakukan kontak dekat, seperti petugas pemakaman. Menurutnya, pelacakan dengan tes cepat antibodi yang dilakukan kepada publik saat ini sudah tepat, namun perlu cakupan yang lebih luas.  

‘’Saya kira langkahnya adalah rapid test ini dilaksanakan lebih luas, disertai pembatasan pergerakan masyarakat,  terutama yang pindah wilayah kalau tidak nanti lepas. Kan susah nanti tanpa dites tapi angka kematiannya tinggi,’’ jelasnya. 

Indonesia peringkat terendah keempat tes corona 

Dilansir dari situs data pandemi Worldometer, dituliskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat pengujian COVID-19 terburuk keempat di antara negara-negara dengan populasi 50 juta lebih.  

Indonesia berada di atas Ethiopia, Nigeria dan Bangladesh. Indonesia dengan 270 juta penduduk disebut hanya melaksanakan 36 tes per satu juta penduduk. Sementara Ethiophia  melaksanakan 16 tes per satu juta penduduk, Bangladesh dengan 18 tes, dan Nigeria dengan tes 19. 

Sebagai perbandingan, Korea Selatan mengadakan pengujian sebanyak 8.996 per satu juta penduduk, Singapura sebanyak 6.666 tes, dan Malaysia 1.605 tes. 

Juru bicara pemerintah untuk urusan COVID-19 Achmad Yurianto, mengatakan: "Kami tidak menguji berdasarkan ukuran populasi, tetapi berdasarkan penelusuran kontak dari kasus positif, juga berdasarkan kunjungan ke fasilitas kesehatan oleh orang-orang dengan gejala COVID-19", seperti dikutip dari The Straits Times pada Senin (06/04). 

David menjelaskan bahwa tes cepat sebenarnya tidak seakurat tes polymerase chain reaction (PCR). Tes cepat hanya digunakan untuk pemindaian awal orang yang mungkin tertular virus. Orang yang dites negatif menggunakan alat tes cepat, nantinya harus mengikuti tes ulang setelah periode waktu tertentu. Sementara orang yang dites positif saat tes cepat, harus melanjutkan tes PCR untuk mendapatkan hasil yang lebih valid.

pkp/vlz (dari berbagai sumber)