"Lu Olo" Rebut Mayoritas Suara di Pilpres Timor Leste
21 Maret 2017
Mantan pejuang kemerdekaan Timor Leste Francisco "Lu Olo" Guterres tampaknya merebut kursi kepresidenan dalam satu putaran. Berdasarkan perhitungan awal, Lu Olo mendapat 57% suara.
Iklan
Fransisco Guterres, yang dikenal dengan julukan Lu Olo, memimpin perolehan suara dalam pemilihan presiden di Timor Leste. Menurut perhitungan awal, dia mengumpulkan 57% suara pemilih.
Pesaing terdekat lu Olo, Antonio de Conceicao dari Partai Demokrat, sementara ini berhasil mengumpulkan 33 persen suara.
Sekretariat nasional untuk pelaksanaan pemilihan sampai Selasa pagi (21/3) telah menghitung lebih dari 30 persen suara. Untuk menang dalam satu putaran, seroang kaniddat harus mengumpulkan lebih dari 50 persen suara.
"Saya percaya tidak akan ada putaran kedua," kata Fransisco Guterres, yang didukung oleh koalisi pemerintahan Partai Fretilin dan Partai CNRT.
Komisi pemilihan umum akan mengumumkan secara resmi hasil pemilihan presiden pada hari Kamis, 23 Maret. Sebulan kemudian, hasil itu akan diverifikasi oleh pengadilan.
Menurut pengamat, tantangan besar yang akan dihadapi Timor Leste adalah melepaskan diri dari ketergantungan minyak dan melakukan diversifikasi pendapatan negara melalui pengembangan sektor dalam pertanian dan manufaktur.
Timor Leste masih merupakan salah satu negara termiskin dunia dengan tingkat pengangguran sekitar 60 persen.
Sektor energi menyumbang sekitar 60 persen PDB pada tahun 2014. Lebih dari 90 persen pendapatan pemerintah berasal dari pemasukan di sektor energi.
"Saya akan mendorong pemerintah untuk bekerja keras menutup kekurangan yang masih kita lihat pada semua sektor ekonomi lain," kata Guterres.
Pemilihan presiden hari Senin (20/3) adalah pemilu pertama yang digelar Timor Leste setelah penjaga perdamaian PBB meninggalkan negara itu tahun 2012.
Timor Leste diduduki tentara Indonesia tahun 1975, setelah kawasan itu dilepaskan oleh penguasa kolonial Portugal untuk merdeka. Selama 24 tahun pendudukan militer, puluhan ribu orang tewas dalam perjuangan kemerdekaan.
Tahun 1999, Presiden Indonesia saat itu BJ Habibie mengijinkan pelaksanaan referendum oleh PBB yang dimenangkan oleh pendukung opsi kemerdekaan. Tahun 2002, Timor Leste secara resmi mendeklarasikan kemerdekaan.
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.