1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Luhut: Eropa Tidak Usah Ajari Indonesia Soal Lingkungan

27 April 2018

Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan berkeliling Eropa dalam misi menyelamatkan ekspor minyak sawit Indonesia. Namun upayanya itu terbentur sikap keras kepala Uni Eropa.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar PandjaitanFoto: picture alliance / dpa / I. Irham

Berwajah teduh dengan diiringi senyum tipis Menteri Lingkungan Jerman, Svenja Schulze, menyambut kedatangan Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan di kantornya di Berlin. Keduanya terlihat santai, meski tetap bergegas menuju ruang pertemuan.

Suasana ringan yang memenuhi ruang rapat di tepi Potsdamer Platz itu tidak banyak mengindikasikan bahwa keduanya sedang membahas nasib 16 juta tenaga kerja Indonesia yang hidup dari industri sawit.

Dalih tersebut dijadikan tulang pungung diplomasi sawit Indonesia di Uni Eropa. Sejak pekan lalu Luhut berkeliling dari Roma, Den Haag, Brussels dan Berlin buat melobi negara konsumen sawit terbesar Indonesia. Ia ingin agar negara-negara ini ikut membantu Indonesia menghadang niat Uni Eropa melarang penggunaan sawit sebagai bahan bakar. Di ibukota Eropa itu ia bahkan menjalani 11 pertemuan dalam satu hari.

"Yang mengagetkan saya banyak pemimpin di Eropa ini yang tidak terlalu paham mengenai keadaan di Indonesia," tuturnya dalam jumpa pers dengan media. "Isu kami adalah pengentasan kemiskinan. Program pemerintah berhasil mengurangi Gini Ratio kita dari 0,41 menjadi 0,39 dalam tiga tahun terakhir. Kenapa itu terjadi? Salah satunya adalah berkat kelapa sawit."

Baca: Terkait Larangan Sawit di Eropa, Menko Luhut: Kami Jangan Terus Disudutkan

Namun Jerman enggan beranjak dari posisinya terkait kerusakan lingkungan. Menteri Lingkungan Svenja Schulze menekankan pentingnya menciptakan kerangka produksi yang ramah lingkungan. Ia tidak ingin ambisi iklim Uni Eropa malah mengorbankan hutan tropis di Asia Tenggara.

"Padahal kita telah mentaati semua aturan Uni Eropa. Jadi musti gimana lagi?" gerutu Luhut kemudian. "Mereka belum bisa memberikan keputusan," pungkasnya.

Januari silam Parlemen Eropa memutuskan untuk melarang penggunaan sawit sebagai bahan campuran biodiesel pada 2021. Sebaliknya penggunaan minyak rapa atau kedelai yang banyak ditanam di Eropa tetap diizinkan. Sebab itu pula Indonesia menilai keputusan tersebut "diskriminatif" dan "tidak adil." Kementerian Luar Negeri bahkan menuding keputusan tersebut digalang oleh petani minyak nabati di Eropa.

Larangan sawit belum mengikat secara hukum. Untuk itu Parlemen Eropa membutuhkan persetujuan negara-negara anggota yang tergabung dalam Dewan Eropa dan juga Komisi Eropa.

Baca: Indonesia Kritik Supermarket Inggris Karena Menolak Minyak Sawit

Luhut mencoba meyakinkan bahwa minyak sawit adalah satu-satunya minyak nabati yang paling efisien dan hemat lahan. Organisasi lingkungan World Wide Fund for Nature (WWF) pernah mewanti-wanti, upaya mengganti minyak sawit dengan jenis minyak nabati lain justru akan mendorong deforestasi lantaran membutuhkan lebih banyak lahan ketimbang sawit.

"Uni Eropa tidak perlu mengajari kami soal lingkungan. Kami sudah melihat kesalahan kami sendiri dan kami juga yang jadi korbannya. Kami tidak ingin generasi ke depan mengalami hambatan pertumbuhan karena masalah lingkungan," kata dia. "Jadi masalah ini sendiri sudah mengajari kami untuk terus hidup dengan kondisi lingkungan yang tidak baik."

Namun Luhut melewatkan perkembangan teranyar di Brussels.

Uni Eropa sedang mempertimbangkan untuk menghentikan sepenuhnya penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar. Kepada harian Die Welt, anggota parlemen Eropa Peter Liese menilai diskursus tentang bahan bakar bio "sudah diracuni oleh isu minyak sawit." Fraksinya, Uni Kristen Demokrat, bahkan mendukung larangan biodiesel di Eropa. "Kita tidak pula harus ikut mendorong pengrusakan lingkungan," imbuhnya.

Mengenai kemungkinan tersebut Indonesia hanya bisa pasrah dan membuka pasar baru, kata Luhut. "Kita harus melihat dalam perspektif yang lebih jauh, agar tidak terlalu bergantung pada pasar Uni Eropa. Pasar kita di belahan bumi selatan juga besar, ada Cina dan India misalnya."