1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mahalnya Harga Krisis Air Global

28 Agustus 2025

Krisis air yang semakin parah akibat meningkatnya suhu global dan kekeringan diperkirakan akan menghancurkan ekonomi lokal dan nasional, menyebabkan kesulitan pangan, pengungsian, dan pergolakan politik.

Pedagang kaki lima di India melintasi sungai Phaldu yang kering.
Pedagang kaki lima di India melintasi sungai Phaldu yang kering.Foto: Franck Metois/imageBROKER/picture alliance

Bumi terdiri dari 70% air, namun hanya sekitar 0,5% yang merupakan air tawar yang dapat digunakan untuk minum, mandi, dan irigasi tanaman. Sebagian besar dari air tawar tersebut semakin langka akibat meningkatnya permintaan dan meningkatnya panas serta kekeringan yang terkait dengan perubahan iklim. 

Sekitar 2 miliar orang di seluruh dunia tidak lagi memiliki akses rutin ke air minum yang bersih, sementara setengah populasi dunia kekurangan air pada periode tertentu dalam setahun.

Krisis air sangatlah mahal. Hal ini menurunkan hasil panen, memperburuk ketahanan pangan, mengurangi produksi energi, dan memperburuk sanitasi yang berdampak pada kesehatan.

Pada tahun 2023, nilai ekonomi dari ekosistem air tawar yang masih berfungsi diperkirakan mencapai €49,4 triliun (Rp 939 kuadriliun) pada tahun 2023 — atau sekitar 60% dari produk domestik bruto (PDB) global, menurut organisasi konservasi World Wildlife Fund (WWF).

 

'Tidak cukup air untuk semua orang'

Krisis air yang signifikan di negara-negara yang mengalami kekeringan di Afrika dan Timur Tengah diperkirakan menyebabkan penurunan ekonomi negara-negara tersebut hingga 25% dalam 20-30 tahun ke depan, jelas Quentin Grafton, Ketua UNESCO dalam Ekonomi Air. 

Hal ini menyebabkan semakin sedikitnya dana yang dimiliki untuk mengimpor pangan atau membangun infrastruktur besar seperti bendungan dan pabrik desalinasi - untuk mengatasi kelangkaan air.

"Ini masa genting. Kita harus beradaptasi dengan cara yang jauh lebih cepat,” kata Grafton akan kebutuhan respon cepat sebelum krisis air merusak ekonomi global.

Krisis air yang berdampak pada kurangnya pasokan pangan, aktivitas ekonomi, dan pekerjaan di suatu wilayah akan disertai gejolak politik dan sosial, kata Grafton, yang juga profesor ekonomi di Australian National University.

Konsekuensinya pengungsian dan migrasi masal. Banyak orang dari wilayah Eropa selatan memilih menyeberangi Laut Mediterania karena penggurunan (kekeringan lahan) yang meningkat.

Solusi atas kekeringan juga membutuhkan biaya yang besar. Ekosistem air tawar kering akibat pembangunan dan irigasi berlebihan. Ekosistem ini memerlukan rehabilitasi besar-besaran. Menurut WWF, dengan dunia telah kehilangan sepertiga dari lahan basahnya sejak 1970.

Krisis air juga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi negara berkembang. Grafton mencontohkan India yang tidak memiliki cukup air untuk mengoperasikan pembangkit listrik batu bara yang menghasilkan listrik termal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. "Tujuan mereka adalah pertumbuhan 7%, tapi ini impian belaka,” katanya tentang negara yang memiliki 18% populasi dunia namun hanya 4% dari pasokan air tawar global. "Tidak cukup air untuk semua orang.”

Kaum miskin pedesaan di India adalah yang paling terdampak dari krisis air. Eksploitasi berlebihan air tanah menyebabkan permukaan air tanah terus menurun, menyebabkan masalah yang serius. Solusinya? Memperkuat tangkapan air lokal dengan bendungan tanah yang efektif menahan hujan di musim hujan sebelum memasuki musim kemarau.

Masalah air untuk pertanian 

Panas dan kekeringan yang ekstrem memperlambat aliran sungai, membuat danau dan waduk mengering, sehingga siklus hidrologi di mana air menguap dan turun kembali sebagai hujan terganggu. Kelembapan dan nutrisi tanah menurun permanen, yang telah menghancurkan produksi pertanian sebagai dasar perekonomian di Asia dan Afrika.

Selama kekeringan parah sepanjang 2020-2023 di semenanjung Afrika timur, sekitar 13 juta ternak mati dan hasil panen gagal, sedikitnya 20 juta orang mengalami krisis pangan, dan kehilangan mata pencaharian. Kekeringan ini menjadi 100 kali lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim. 

Hewan ternak yang mati akibat kekeringan di EtiopiaFoto: Michael Gottschalk/imago/photothek

Di Afrika Sub-Sahara, hanya kegiatan mengumpulkan air saja menyita 40 miliar jam setiap tahunnya — waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk bekerja atau menempuh pendidikan, menurut The Water Project, sebuah organisasi nirlaba yang menangani krisis air di wilayah tersebut.

Krisis air mengancam Eropa 

Krisis air semakin parah di Eropa seiring pemanasan yang lebih cepat di wilayah ini dibandingkan benua-benua lainnya, kecuali Antarktika. Setelah mencatat tahun terpanas sepanjang sejarah pada 2024, Jerman mengalami periode akhir musim dingin hingga awal musim semi terkering. Kekeringan melanda wilayah dari Inggris hingga Eropa Tengah, sementara negara-negara Mediterania menghadapi panas ekstrem, kebakaran hutan, dan kekurangan air berkepanjangan.

Sungai Rhine yang mengeringFoto: Christoph Hardt/Panama Pictures/picture alliance

Pada saat yang sama, semakin banyak sektor industri yang bersaing untuk sumber daya air yang terbatas, menurut Sergiz Moroz, pakar manajemen air di LSM European Environment Bureau.

Sergiz Moroz dari European Environment Bureau mengatakan, "Sektor IT tiba-tiba datang ke Brussels dan mengatakan kami membutuhkan banyak air berkualitas tinggi.” Sementara itu, para petani juga menyuarakan kebutuhan air untuk bertani.

Uni Eropa berencana memberlakukan batasan penggunaan air bagi perusahaan teknologi melalui Strategi Ketahanan Air UE yang akan diberlakukan pada 2026. 

Desalinasi Solusi bagi Kekeringan di Siprus

03:38

This browser does not support the video element.

AS tidak terkecualikan dari krisis

Penduduk Amerika Serikat yang mengalami keterbatasan akses air juga menanggung beban ekonomi yang besar. Studi tahun 2022 oleh organisasi nirlaba DigDeep menunjukkan bahwa rumah tangga tanpa akses air dan sanitasi yang memadai di AS menghabiskan setidaknya $15.800 (Rp 250 juta) per tahun untuk biaya kesehatan - beban kesehatan ini berdampak pula pada hilangnya pekerjaan dan kesempatan menempuh pendidikan.

George McGraw, pendiri dan CEO DigDeep, mengatakan, "Semakin langkanya air, jumlah orang yang tidak memiliki akses diperkirakan akan meningkat akibat tekanan dari peristiwa iklim” Ia menekankan pentingnya "membuat akses air yang univesal” melalui investasi "sistem air cerdas dan berkelanjutan yang terhubung dan tidak terhubung dengan jaringan,” untuk menggantikan sistem distribusi air yang rentan terhadap perubahan iklim.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Yuniman Farid

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait