1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gudang Dicuci Bersih, Bumi Merana Dikotori

26 November 2022

Tiap akhir tahun menjelang Natal, pengecer memangkas harga barang dagangan mereka, konsumen pun histeris. Fenomena diskon Black Friday ini murah di kantong, tapi mahal bagi Bumi.

Suasana saat diskon Black Friday di Sao Paulo, Brasil
Suasana saat diskon Black Friday di Sao Paulo, BrasilFoto: Cris Faga/ZUMA/picture alliance

Musim berburu barang murah di Eropa dan Amerika telah dimulai! Setiap tahun menjelang akhir November, para pengecer membombardir calon konsumen dengan beragam promosi diskon nan spektakuler. Mereka berharap bisa menghabiskan sisa stok barang di gudang sebelum Natal.

Di Amerika Serikat, negara asal tradisi cuci gudang yang disebut Black Friday ini, eksploitasi atas kegilaan massa berbelanja, bisa menghasilkan miliaran dolar keuntungan dalam satu hari, dengan pendapatan yang meningkat setiap tahunnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, tren ini juga menjangkiti banyak negara lain. Konsumen seolah dimanjakan dengan produk yang didiskon besar-besaran. Namun lingkungan harus ikut membayar mahal demi kesenangan ini.

Emisi karbon meningkat

"Black Friday adalah tren yang sangat mengkhawatirkan," kata Phil Purnell, profesor ilmu material dan struktur di School of Civil Engineering di Universitas Leeds di Inggris.

"Konsumsi semua bahan itu memiliki dampak lingkungan yang sangat besar, tidak hanya dalam hal polusi yang dihasilkan selama penambangan dan pengurasan sumber daya alam untuk membuat barang-barang yang Anda beli, tetapi juga dalam hal karbon yang dihasilkan dari transportasi," ujar Profesor Purnell.

Peningkatan jumlah belanja saat Black Friday juga terjadi secara online, ditambah lagi dengan adanya hari khusus seperti Cyber Monday yang dirancang untuk memperpanjang histeria konsumerisme massa ini. Karena membeli secara online perlu adanya pengiriman paket, jejak karbonnya pun jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan berbelanja di toko lokal.

Sektor transportasi global saat ini menyumbang hingga 4% dari emisi dunia. Parlemen Eropa memperkirakan bahwa emisi hanya dari industri maritim global dapat meningkat hingga 17% pada tahun 2050.

Fasilitas gratis ongkos kirim dan gratis pengembalian yang biasa diberlakukan saat Black Friday dan Natal, juga ikut memperparah besaran jejak karbon.

"Penelitian kami menunjukkan bahwa 400.000 ton CO2 dapat dilepaskan ke atmosfer sebagai akibat transportasi untuk Black Friday di Inggris pada tahun ini saja," kata Purnell.

Laporan tahun 2021 oleh situs perbandingan harga Inggris, yakni Money.co.uk mendukung temuan ini. Pengiriman barang dari hasil penjualan Black Friday diperkirakan melepaskan lebih dari 429.000 metrik ton emisi gas rumah kaca. Ini setara dengan 435 penerbangan pulang pergi dari London ke New York.

Mayoritas hanya dipakai sekali

Namun, Purnell mengatakan volume CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas pengangkutan barang "belumlah seberapa" bila dibandingkan dengan CO2 yang dihasilkan selama proses manufaktur.

"Memproduksi laptop akan melepaskan 100 hingga 200 kilogram CO2 ke atmosfer dan rata-rata tablet Anda mungkin melepaskan 50 kilogram," kata Purnell. "Membeli baju dapat melepaskan beberapa kali lebih banyak CO2 dibandingkan berat baju itu sendiri." 

"'Kita tidak bisa bergerak menuju nol karbon dalam ekonomi yang didominasi oleh konsumsi berlebihan," ujarPurnellFoto: Rolf Vennenbernd/dpa/picture alliance

Sayangnya, banyak dari barang-barang yang dibeli selama musim diskon Black Friday tidak berumur panjang. Sebuah studi tahun 2019 berdasarkan penelitian Purnell, yang juga co-director dari Textiles Circularity Center yang berbasis di Inggris, mengungkapkan,  pakaian hasil pembelian selama Black Friday seringnya dibuang setelah hanya sekali dipakai. Studi ini juga menemukan bahwa hingga 80% plastik dan tekstil rumah tangga berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar.

Konsumsi untuk mengisi kekosongan batin?

Kenapa kita membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan? "Orang-orang suka berbelanja. Ada dimensi psikologis di dalamnya. Kita mencoba mengisi kekosongan, kita mencoba memenuhi kebutuhan emosional," kata Mathis Wackernagel, pendiri dan presiden kelompok riset internasional, Global Footprint Network.

Menurutnya, orang-orang cenderung menganggap keterbatasan sumber daya dan perubahan iklim sebagai "kebenaran yang tidak menyenangkan." Tapi demikianlah kenyataannya, tambahnya.

Wackernagel mengatakan lebih lanjut, masyarakat dunia saat ini mengonsumsi sumber daya sebesar 75% lebih cepat daripada yang dapat diperbarui oleh Bumi.

Menurut Global Footprint Network, jika semua orang di planet ini hidup seperti warga negara di Jerman, kita akan membutuhkan sumber daya dari setidaknya tiga Bumi. Jika setiap orang mengonsumsi sebanyak orang di AS, kita akan membutuhkan lima Bumi.

Purnell mengatakan orang-orang "mengonsumsi untuk kesenangan, peningkatan endorfin" dan perasaan gembira yang mereka dapatkan dari mengonsumsi.

"Jadi yang perlu kita lakukan adalah mencari alternatif, cara yang tidak terlalu merusak untuk memberikan kepuasan itu kepada mereka."

Perlu perubahan nilai dan model bisnis

Bagi Wackernagel, mengurangi konsumsi adalah masalah kepentingan pribadi. Dia ingin diskusi tentang masalah ini bergeser dari tanggung jawab moral individu ke cara berpikir pragmatis tentang apa yang terbaik bagi kita, dan apa yang logis untuk dilakukan.

"Ini dapat menghilangkan kecemasan. Ini seperti menyikat gigi," katanya sambil menjelaskan bahwa kita belajar melakukannya karena itu baik untuk kesehatan. "Hal yang sama harus diterapkan untuk menjaga agar planet kita tetap sehat. Mari kita belajar untuk mengurangi konsumsi karena itulah yang masuk akal dalam iklim saat ini." 

Sementara bagi Profesor Purnell, perubahan ini juga berarti mengubah model bisnis. "Ekonomi kita masih didominasi oleh bisnis yang menghasilkan uang dengan menggali barang-barang dari tanah, mengubahnya menjadi produk, menjualnya, dan kemudian membujuk orang-orang bahwa mereka perlu membeli kembali barang tersebut."

Ada alternatif lain?

Kini semakin banyak perusahaan yang memboikot Black Friday atas alasan lingkungan, dan menawarkan alternatif lain.

Freitag, perusahaan pengecer tas dan aksesoris asal Swiss ini misalnya, ingin mengubah Black Friday "dari hari belanja menjadi hari bertukar." Mereka pun menutup toko online-nya selama waktu ini dan sebagai gantinya membuka toko di mana para konsumen bisa langsung datang dan menukarkan tas lama mereka, alih-alih membeli baru.

Produsen merek pakaian luar ruangan Patagonia juga memilih tidak bergabung dalam promosi Black Friday. Mereka memilih untuk menyumbangkan 100% dari penjualannya selama akhir pekan Black Friday untuk kampanye lingkungan.

Selain itu, sepanjang bulan November perusahaan kecantikan Deciem mengampanyekan gerakan slow shopping dengan menggunakan saluran media sosialnya dalam meningkatkan kesadaran akan dampak negatif Black Friday.

Pada saat yang sama mereka juga menggunakan tagline Green Friday, yang mempromosikan belanja yang bertanggung jawab, seperti membeli dari toko lokal kecil atau membeli barang bekas atau second-hand.

ae/as

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait