1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiJerman

Mahasiswa di Jerman Berada di Garis Kemiskinan

Julia Gießler
21 Oktober 2022

Satu dari tiga mahasiswa di Jerman hidup di bawah garis kemiskinan. Subsidi negara untuk menutupi kenaikan biaya makanan, gas, dan listrik tidak lagi cukup untuk bertahan hidup.

Gambar ilustrasi ruang perkuliahan di universitas di Jerman
Gambar ilustrasi ruang perkuliahan di universitas di JermanFoto: Fabian Stratenschulte/picture alliance/dpa

Bagi Melissa, memasak untuk dirinya sendiri kini menjadi sebuah kemewahan. Mahasiswa psikologi berusia 23 tahun itu lebih memilih makan di kafetaria kampusnya di Kota Bonn, Jerman. "Kamu bisa makan siang di sana seharga €2 hingga €3 (sekitar Rp30 ribu hingga Rp45 ribu)."

Hidup hemat bukanlah hal baru bagi Melissa. Selama masa studi, anggaran belanja mingguannya adalah €25 (sekitar Rp380 ribu). Namun, kini kenaikan harga membuat itu tidak cukup. "Saya kini perlu di €35 hingga €40 (Rp533 ribu hingga Rp609 ribu) seminggu jika saya benar-benar membeli bahan makanan untuk dimasak di rumah."

"Kamu benar-benar menyadarinya saat melihat dompetmu."

Melissa menerima €750 (sekitar Rp11,4 juta) sebulan dalam program tunjangan negara bagi mahasiswa (BAföG) dan orang tuanya memberikan €219 (sekitar Rp3,3 juta) yang didapat dari program tunjangan anak, tapi dari hampir €1.000 (sekitar Rp15,2 juta) itu, sekitar €400 (sekitar Rp6 juta) digunakan untuk sewa kamar seluas 15 meter persegi di sebuah apartemen yang disewa secara bersama-sama di Bonn.

"Makanan adalah hal pertama yang saya hemat," katanya kepada DW. "Saya hanya punya kentang, quark, dan daging filet vegetarian."

Sebesar €300 (sekitar Rp4,5 juta) dibayarkan ketika biaya administrasi universitasnya jatuh tempo pada awal semester.

Inflasi dan krisis energi melanda kaum muda

Menurut laporan kemiskinan tahun ini, hampir satu dari tiga mahasiswa di Jerman hidup di bawah garis kemiskinan.

"Situasinya bisa menjadi lebih buruk dengan tingkat inflasi saat ini dan krisis energi yang akan datang," kata Andreas Aust, seorang pekerja sosial dari Asosiasi Kesejahteraan Paritas Jerman.

"Orang tua sekarang juga akan merasa jauh lebih sulit untuk membiayai anak-anak mereka," katanya. "Tunjangan negara untuk mahasiswa tidak hanya terlalu rendah, tetapi masalah utamanya adalah pembagiannya. Sangat sedikit mahasiswa yang menerima manfaat ini."

Faktanya, hanya satu dari sembilan mahasiswa yang benar-benar merasakan manfaatnya, dari hampir 3 juta mahasiswa di Jerman yang menerima tunjangan negara.

Menurut definisi, dukungan tersebut harus memungkinkan siapa pun, terlepas dari situasi sosial ekonomi mereka, untuk mengejar pendidikan.

Tunjangan maksimal masih di bawah garis kemiskinan

Pemerintah Jerman kini telah memberlakukan kenaikan tunjangan dasar untuk mahasiswa sebesar 5,75% mulai semester musim dingin 2022/23, serta menyesuaikan batas pendapatan bagi orang tua mahasiswa.

Mulai Oktober 2022, tunjangan maksimum adalah €934 (sekitar Rp14,2 juta) sebulan, asalkan mahasiswa tidak tinggal di rumah yang sama dengan orang tua mereka.

Menurut Aust, itu tidak menyelesaikan masalah karena tingkat inflasi 10% saat ini "hanya menelan" kenaikan itu.

Rahel Schüssler dari Free Association of Students, yang mewakili hampir sepertiga dari semua yang berkuliah di Jerman, juga percaya bahwa peningkatan itu tidak cukup. "Tingkat maksimum tunjangan mahasiswa masih di bawah ambang kemiskinan di Jerman," katanya.

Di Jerman, seseorang dianggap berisiko miskin jika mereka hidup dengan kurang dari €1.251 (Sekitar Rp19,1 juta) per bulan.

Subsidi energi bagaikan setetes air di lautan

Karena meningkatnya biaya hidup, sekarang tidak jarang bagi mahasiswa untuk mengambil hingga dua pekerjaan paruh waktu untuk membiayai studi mereka.

"Mereka sebenarnya bekerja untuk bisa belajar. Namun, karena bekerja mereka tidak bisa belajar lagi," kata Schüssler.

Tidak ada statistik resmi tentang berapa banyak mahasiswa yang putus sekolah dalam dua tahun terakhir, tetapi Schüssler telah mendengar dari banyak mahasiswa bahwa keuangan telah menjadi masalah yang besar.

"Mahasiswa juga memutuskan untuk putus kuliah karena kenaikan harga. Mungkin tidak hanya mencari pekerjaan paruh waktu, tetapi justru bekerja 40 jam seminggu."

Para ahli juga melihat tunjangan energi sebesar €200 (sekitar Rp3 juta) - yang akan dibayarkan oleh pemerintah sebagai bonus satu kali kepada mahasiswa - tidak lebih dari "gerakan simbolis."

Aust juga menerangkan bahwa masih "sama sekali tidak jelas bagaimana uang itu seharusnya sampai ke mahasiswa."

Pendaftar mahasiswa baru lebih sedikit

Satu dari dua mahasiswa menerima dukungan keuangan dari orang tua mereka, menurut sebuah studi oleh Asosiasi Nasional Jerman untuk Urusan Kemahasiswaan.

Bagi Aust, jelas bahwa kenaikan harga pangan dan energi juga akan berdampak pada kesempatan berpendidikan di Jerman dalam jangka menengah.

"Mereka yang kekurangan uang akan berpikir dua kali atau bahkan tiga kali sebelum menyekolahkan anak-anaknya. Atau apakah mereka lebih memilih jalan yang lebih tradisional dan mencari nafkah daripada berinvestasi lebih jauh dalam pendidikan," katanya.

Menurut Kantor Statistik Federal, jumlah mahasiswa tahun pertama terus menurun pada tahun 2021. Ada alasan demografis untuk penurunan pendaftaran baru, tetapi juga sebagian karena pandemi COVID-19 — mengapa berkuliah ketika hanya bisa berkegiatan di rumah?

Lebih banyak penutupan universitas dipertimbangkan

Universitas adalah tempat umum pertama yang menutup fasilitas ketika pandemi dimulai pada musim semi 2020. Dan yang terakhir membukanya kembali.

Setelah kembali sebentar ke ruang kuliah, mahasiswa sekali lagi dipaksa untuk belajar dari rumah — tetapi kali ini karena kenaikan harga energi.

Menurut Badan Jaringan Federal Jerman, universitas dianggap sebagai bagian dari infrastruktur penting negara dan dengan demikian memiliki prioritas dalam hal pasokan energi di musim dingin.

Namun demikian, beberapa universitas sudah mempertimbangkan apakah akan mempersingkat jam buka atau memperpanjang liburan Natal karena biaya energi yang tinggi. Sekali lagi, para mahasiswa akan menjadi kelompok yang menderita.

Technische Universität Berlin misalnya, merencanakan "penutupan akhir tahun" dari 19 Desember hingga 4 Januari, di mana semua pemanas akan dimatikan, lampu dipadamkan, dan pintu dikunci.

Rahel Schüssler tidak setuju dengan rencana penguncian kampus itu.

"Kalau ada universitas yang ditutup, itu berarti mengalihkan masalah. Biaya listrik harus dibayar di suatu tempat dan pada akhirnya, mahasiswa yang akan membayar lebih karena mereka belajar di rumah."

(yp/yf)

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Jerman.