1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Mahasiswa Papua di Mancanegara Resah soal Program Beasiswa

20 Februari 2022

Para mahasiswa asal Papua yang kuliah di mancanegara resah setelah beberapa rekan mereka menerima surat penghentian beasiswa. Mereka berharap ada solusi dari pemerintah.

Daniel Game, mahasiswa University of Embry Riddle, Oregon
Mahasiswa Papua di Oregon, Amerika SerikatFoto: privat

Badan mahasiswa global asal Papua – The International Alliance of Papuan Students Association Overseas (IAPSAO) mendesak pertemuan dengan Presiden Joko  Widodo untuk mencari jalan keluar pemutusan beasiswa beberapa mahasiswa Papua di mancanegara. "Kami ingin berbicara lebih spesifik tentang satu aspek hak asasi manusia, yaitu hak kami untuk memperoleh pendidikan," demikian isi tuntutan mereka dalam surat terbukanya.

IAPSAO mengeluarkan surat terbuka berjudul "Jangan ganggu dan halangi kami - tinggalkan kami untuk belajar dengan tenang" yang menyatakan bahwa perubahan pendanaan yang dibuat di bawah undang-undang otonomi baru bisa berpotensi melumpuhkan pendidikan. Sekitar seratusan mahasiswa Papua yang studi di mancanegara kini terancam dipulangkan, demikian disampaikan para perwakilan mahasiswa Papua itu. Meilani S. Ramandey, Presiden Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Jepang dan  Representatif dari IAPSAO menyebutkan: "Penerima beasiswa, rata-rata datang dari keluarga ekonomi kelas menengah bawah. ini bukan hanya berdampak  ke studi kami, tapi mental kami ke depan dan juga masa depan generasi Papua. APSAO  berdiri karena adanya masalah ini, kami bersama-sama dalam satu payung, berjuang untuk menyelesaikan program studi tanpa ada intervensi unsur politik dan sebagainya,” tegasnya.

Dalam surat pemberhentian beasiswa kepada mahasiswa tertera pernyataan bahwa mahasiswa yang menerima surat itu dianggap tidak tepat waktu dalam penyelesaian studi hingga kahir tahun 2021 dan diminta mempersiapkan kepulangannya dari lokasi studi.

Keterlambatan studi, apa faktornya?

Dikutip dari asiapacificreport.nz, menanggapi pernyataan APSAO tersebut, Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru dan Pasifik, Fientje Maritje Suebu mengatakan bahwa pemulangan siswa didasarkan pada "penilaian menyeluruh" yang dimulai pada tahun 2017 oleh pemerintah Provinsi Papua atas prestasi mereka di lembaga pendidikan masing-masing.

"Hanya mereka yang telah melebihi alokasi waktu beasiswa dan mereka yang tidak dapat memenuhi persyaratan akademik yang ditarik,” lanjutnya. Lebih lanjut, menurutnya tidak akan ada pemotongan anggaran untuk dana Beasiswa Otonom Papua. "Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dijelaskan Menteri Keuangan RI pada November 2021 menegaskan tidak ada pemotongan anggaran untuk Dana Otsus Papua, termasuk untuk keperluan pendidikan, seperti beasiswa bagi pelajar Indonesia di luar negeri, " paparnya.

Namun para mahasiswa yang tergabung dalam IAPSAO menyebutkan, ada juga  mahasiswa yang namanya tercantum dalam daftar pemulangan, yang sedang menempuh pendidikan di program studi masing-masing. Bahkan ada juga yang sedang menyelesaikan tugas akhir atau skripsi, sebagaimana diungkap Daniel Game, mahasiswa jurusan Aeronautical Science di Embry-Riddle University di Oregon, Amerika Serikat.

Daniel juga memaparkan, ada beberapa faktor yang membuat sampai beberapa mahasiswa tidak bisa menyelesaikan dalam waktu yang cepat. "Biasanya biaya hidup terlambat masuk. Dan ketika biaya hidup terlambat masuk, kalau kelas sudah mulai, otomatis kita butuh biaya untuk pembelian buku. Dan pembelian buku di Amerika khususnya itu lewat online dan semua materi diakses lewat online. Jadi, ketika sudah terlambat, kadang sampai dua minggu, tiga minggu, satu bulan, itu membuat kita punya tugas-tugas tidak bisa terselesaikan. Akhirnya karena itu, nilai kita jatuh. Kadang dapat nilai D, dapat nilai F, karena memang dalam perkembangan satu bulan itu, kita tidak menyelesaikan tugas-tugas yang diminta oleh profesor," kata Daniel.

Faktor kedua, menurutnya karena keterlambatan surat sponsor. Surat sponsor ini adalah surat yang dikeluarkan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Provinsi Papua BPSDM  "Dalam isi suratnya menyatakan bahwa siswa A atau siswa B, kami, pemerintah provinsi Papua, siap membiayai. Dan itu menjadi surat jaminan, garansi antara kampus dengan pemerintah Papua. Dan surat ini kadang terjadi keterlambatan, salah satu contohnya saya sendiri. Pada tahun 2019 bulan Juni-Juli, saya lulus dari community college, mau lanjut lagi ke Embry-Riddle, itu butuh waktu sekitar satu tahun enam bulan kemudian, baru saya dapat surat sponsor,” tandas Daniel.

Salah seorang mahasiswa  Papua di New Zealand, Laurens Ikinia mengaku menemukan ada kesalahan data yang dikeluarkan oleh pihak BPSDM. Di dalam daftar pemulangan mahasiswa yang dikeluarkan oleh BPSDM, "Ada beberapa nama-nama mahasiswa yang sudah menyelesaikan pendidikannya dan sudah balik ke Indonesia, ada juga nama-nama mahasiswa yang sedang dalam tahun kedua dan ketiga program mereka dimasukkan namanya. Kalau mereka ini diberhentikan dalam perjalanan, apakah mereka bisa menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan di Indonesia? Ini bukan perkara yang mudah,” paparnya. BPSDM Papua dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang dihubungi DW, hingga artikel ini diturunkan belum memberi tanggapan.

Sementara mahasiswa Papua di Amerika Serikat, Dimy Kagoya cemas akan adanya kebijakan baru dalam dana dari pemerintah provinsi ke kabupaten/kotamadya. "Kami khawatir, kebijakan itu tidak mempertimbangkan program yang sedang berjalan. Karena itu, kami sebagai mahasiswa menuntut hak kami untuk menyelesaikan kuliah di luar negeri dengan tenang,” pungkasnya. Ia berharap segera akan ada penyelesaian atas kegelisahan yang dialami mahasiswa Papua di mancanegara saat ini.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait