Mahkamah Eropa: Pelecehan Agama Bukan Kebebasan Berbicara
26 Oktober 2018
Mahkamah HAM Eropa menolak gugatan perempuan Austria yang di negaranya divonis denda 480 Euro karena dinilai melecehkan doktrin agama. Perempuan itu mengklaim mempertahankan hak kebebasan berbicara.
Iklan
Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa yang berkedudukan di Stassbourg, Perancis, hari Kamis (25/10) menolak gugatan seorang perempuan Austria yang mempermasalahkan vonis pengadilan Austria terhadap dirinya. Ia didera kasus, karena dalam sebuah acara publik, perempuan itu menyebut Nabi Muhammad seorang pedofil.
Pengadilan Austria kemudian menjatuhkan hukuman denda sebesar 480 Euro, dengan alasan perempuan itu telah melecehkan doktrin agama. Terdakwa kemudian mengajukan banding ke pengadilan lain di Austria, namun pengadilan banding mengukuhkan vonis tersebut. Kasus itu akhirnya dibawa ke Mahkamah HAM Eropa. Perempuan itu berpendapat bahwa kebebasan berbicaranya dibatasi.
Mahkamah HAM Eropa menolak klaim pemohon dengan argumen, bahwa pengadilan di Austria sudah benar dan sudah bertindak hati-hati dalam "menyeimbangkan hak pemohon kebebasan berekspresi dengan hak orang lain untuk memiliki perasaan religius yang dilindungi konstitusi dan punya tujuan yang sah demi menjaga kerukunan agama di Austria."
Kebebasan berbicara ada batasnya
Perempuan Austria itu tahun 2009 mengadakan dua seminar berjudul "Informasi Dasar tentang Islam". Dalam acara itu dia menyatakan bahwa pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah adalah pedofilia. Aisyah adalah putri sahabat terbaik Muhammad dan khalifah pertama, Abu Bakar.
Terdakwa yang tidak menerima vonis pengadilan, bersikeras bahwa apa yang dia lakukan dilindungi oleh hak kebebasan berbicara dan kelompok-kelompok agama harus bisa bertoleransi atas kritik. Dia juga mengatakan, tindakan yang dilakukannya adalah sebuah kontribusi untuk debat publik dan tidak dirancang mencemarkan doktrin agama.
Mahkamah HAM Eropa dalam putusannya mengakui bahwa kebebasan beragama memang tidak berarti bahwa agama tidak boleh dikritik. Namun Mahkamah menyatakan, komentar pemohon tidak obyektif, gagal memberikan latar belakang sejarah dan tidak berniat mempromosikan diskusi publik.
"Komentar pemohon hanya bisa dipahami sebagai bertujuan untuk menunjukkan bahwa Muhammad tidak layak dihormati," kata Mahkamah HAM Eropa seraya menambahkan, pernyataan itu dimaksudkan untuk merendahkan Islam.
Mahkamah HAM Eropa juga menegaskan, tindakan "mengemas pernyataan kebencian dan membungkusnya dengan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat" tidak dapat dibenarkan karena sudah "melewati batas-batas yang diizinkan dalam kebebasan berekspresi".
Tanpa Sensor: Perempuan Muslim Berbicara Soal HAM
Dalam buku berjudul Usensurert (Tanpa Sensor) penulis dan wartawan Norwegia Birgitte C. Huitfeldt menunjukkan hidup perempuan Muslim dalam dunia Islam.
Foto: Nawal El Saadawi
Mendambakan Kebebasan di Mesir
Buku itu diawali dengan penuturan dokter perempuan asal Mesir Nawal El Saadawi, yang juga penulis dan aktivis hak perempuan. Es Saadai menjelaskan, mengapa perempuan di Timur Tengah belum berhasil dalam perjuangan mereka: "Dalam sistem patriarkal, imperial dan militer, perempuan tidak bisa bebas. Kami dikekang oleh kekuasaan bukan keadilan, oleh demokrasi palsu, bukan kebebasan."
Foto: Nawal El Saadawi
Psikolog Asal Suriah dalam Pengasingan
Pakar psikologi Rafah Nached ditangkap September 2011 di Damaskus, ketika ia ingin membantu demonstran anti Assad yang menderita trauma. Dua bulan kemudian ia dibebaskan. Ia kemudian tinggal di Paris dalam pengasingan. "Masyarakat Arab menolak perubahan, karena siapapun yang tidak sepaham dengan masa, dianggap ateis dan tidak normal", kata Rafah Nached dalam buku yang ditulis Huitfeldts.
Foto: Liberation
Demokrasi Adalah Kehendak Rakyat
Shirin Ebadi adalah pengacara asal Iran, yang berjuang bagi hak-hak perempuan, anak-anak dan pengungsi. Akibatnya, pemerintah dan polisi di Iran mengancam Ebadi. 2003 ia mendapat Nobel Perdamaian. "Bagi demokrasi tidak ada Barat dan Timur. Demokrasi adalah kehendak rakyat. Jadi saya tidak mengakui ide adanya model demokrasi yang berbeda-beda," katanya.
Foto: Shirin Ebadi
Perdamaian antara Israel dan Palestina
"Pendudukan adalah sifat pria, terutama pendudukan militer. Konflik antara Israel dan Palestina diakibatkan manusia, dan kita sebagai perempuan harus mengakhiri konflik itu," demikian dikatakan anggota parlemen Palestina, Hanan Ashrawi, yang juga aktivis dan ilmuwan. Ashrawi memberikan sumbangan penting bagi perdamaian Israel-Palestina.
Foto: Hanan Ashrawi
Rasa Takut Pria terhadap Perempuan di Yaman
Amal Basha adalah feminis asal Yaman. Dalam indeks PBB tentang kesetaraan antara perempuan dan pria, negaranya ada di posisi bawah. Hak perempuan Yaman di bidang ekonomi, sosial dan budaya dibatasi hukum Shariah. Penyebabnya? "Pria takut kepada perempuan, karena perempuan adalah suara kebebasan. Perempuan tidak tertarik untuk berperang, karena perempuan bukan pedagang senjata," kata Amal Basha.
Foto: Salzburg Global Seminar
Pembunuhan Kehormatan di Yordania
Di Yordania, aktivis HAM dan feminis serta wartawan penyelidik Rana Husseini menulis tentang kekerasan terhadap perempuan. "Masyarakat Yordania
menyalahkan perempuan untuk segalanya. Membiarkan diri diperkosa dan dilecehkan, karena lahirkan anak, karena seks yang tak memuaskan, juga kalau suami tidak setia. Daftarnya masih panjang lagi." Itu penjelasannya bagi pembunuhan dengan alasan kehormatan.
Foto: Rana Husseini
Secercah Harapan di Libya?
Untuk mengakhiri perang saudara yang terus berlangsung di Libya, pria dan perempuan harus mengubah sikap, demikian pendapat Hajer Sharief, staf PBB asal Libya. "Kalau orang menengok ke rumah-rumah, orang bisa melihat para ibu, yang mengirim putra mereka ke medan perang. Walaupun ibu itu sendiri tidak mengangkat senjata, mereka ikut mendorong spiral kekerasan di Libya." Penulis: Jan Tomes (ml/hp)