1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

080908 Den Haag Kaukasus

9 September 2008

Sidang dilangsungkan berdasarkan gugatan Georgia. Pada tahap pertama akan memutuskan apakah mereka memiliki kewenenangan hukum untuk menyidakankan materi perkaranya.

Duta Besar Rusia untuk Belanda Kirill Gevorgian (kiri) dalam sidang Mahkamah Internasional di Den Haag, BelandaFoto: AP

Uni Eropa menyatakan telah mendapat kesepakatan dengan Rusia mengenai tenggat waktu penarikan mundur seluruh pasukan Rusia dari Georgia. Sementara itu di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, konflik ini disidangkan pula secara hukum. Selasa (09/09)persidangan memasuki hari kedua, dan akan berakhir Rabu (10/09). Sidang dilangsungkan berdasarkan gugatan Georgia.

Baik Georgia maupun Rusia sama-sama mengerahkan belasan pengacara dalam sidang yang ditangani 15 hakim ini. Pemerintah Georgia diwakili seorang profesor hukumn terkenal dari Universitas Cambridge, James Crawford. Dalam paparannya, James Crawford menjelaskan dasar gugatannya:

"Perkara ini mengenai pembasmian etnis Georgia dan minoritas lain justru di wilayah Georgia sendiri. Khususnya di Abkhazia, Ossetia Selatan, dan lebih khusus lagi di Gori. Ini sebuah bentuk ekstrim dari diskriminasi ras dan merupakan pelanggaran terhadap seluruh hukum internasional yang melarang segala bentuk diskriminasi.“

Pemerintah Rusia mengulang dalih yang diungkapkan di berbagai media mengenai intervensi militer mereka, yakni menyalahkan Georgia, yang dituding justru melakukan diskriminasi terhadap warga etnik Rusia di Ossetia Selatan dan Abhkazia, dua provinsi Georgia yang memberontak dengan dukungan Rusia. Roman Kolodkin, mewakili Departeman Luar negeri Rusia, dalam pembelaannya di sidang mengatakan, bukan Rusia yang pertama kali melancarkan serangan.

"Konflik bersenjata itu justru dipicu oleh Georgia, melalui aksi militer pada malam tanggal 7 Agustus. Ini bisa dilihat juga sebagai bagian dari kebijakan yang sudah lam mereka terapkan di kawasan itu. Sudah sejak awal 90-an pemerintah Georgia mencanangkan program nasionalistik yang dirumuskan dalam slogan Georgia hanya bagi orang Georgia.“

Rusia dan Georgia bagaikan mengulang perang opini di masyarakat internasional. Di sidang ini kedua belah pihak menuduh satu sama lain melakukan genosida atau pembasmian etnis. Rusia lebih menekankan pada langkah militer Georgia untuk merebut kembali Ossetia Selatan dari tangan para pemberontak yang mereka dukung. Sementara Georgia, yang didukung masyarakat internasional, mempermasalahkan invasi militer Rusia, yang merupakan pelanggaran atas kedaulatan sebuah negara.

Tina Burjialiani, dari kementerian Hukum Georgia menyatakan: "Kendati ada Piagam PBB tentang HAM, serta berbagai konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi, Georgia tetap saja berada dalam ancaman tetangga. Rusia berupaya mengguncang kedaulatan Georgia dengan politik adu domba, politik pecah belah dan kuasai.

Sebaliknya, Rusia, berdalih bahwa intervensi terpaksa dilakukan karena tidak ada pilihan lain untuk menyelamatakan warga etnis Rusia di Ossetia Selatan. Karenanya mereka menganggap Mahkamah Internasional tidak memiliki kewenangan hukum untuk menyidangkan perkara ini. Untuk itu meminta mereka hakim untuk menolak perkara yang diajukan Georgia.

Jika hakim meneruskan perkara ini dan memenangkan Georgia, secara teoritis Mahkamah Internasional bisa memerintahkan Rusia untuk menarik seluruh pasukan dari Georgia. Masalahnya, Rusia tidak mengakui kewenangan Mahkamah ini. Karenanya, apapun keputusannya nanti, tidak akan bersifat mengikat. (gg)