Mahkamah Internasional memerintahkan Myanmar untuk mencegah tindak kekerasan dan aksi genosida terhadap minoritas Rohingya. Naypyidaw juga dikenakan kewajiban melapor setelah empat bulan, dan setiap enam bulan setelahnya
Iklan
Mahkamah Internasional ICJ memerintahkan Myanmar untuk mengambil langkah darurat guna melindungi minoritas muslim Rohingya dari presekusi dan kebiadaban, serta melindungi bukti-bukti dugaan kejahatan kemanusiaan terhadap mereka.
Putusan itu diumumkan dalam kasus dugaan genosida terhadap Myanmar yang dilayangkan Gambia, November silam. International Court of Justice adalah lembaga peradilan bentukan PBB untuk menyelesaikan sengketa antar negara. Gambia yang berpenduduk mayoritas muslim menuding militer Myanmar melakukan genosida terhadap Rohingya.
ICJ belum memberikan keputusan akhir dalam kasus dugaan genosida oleh Myanmar. Namun majelis hakim yang berjumlah 17 orang itu sepakat memerintahkan Myanmar agar mengambil langkah-langkah kongkrit untuk mencegah tindak kekereasan terhadap Rohingya.
Naypyidaw diberikan waktu empat bulan untuk menaati keputusan tersebut dan diwajibkan melaporkan perkembangannya kepada IJC. Keputusan final IJC terkait dugaan genosida di Myanmar diyakini akan memakan waktu hingga bertahun-tahun.
Salah seorang hakim IJC, Abdulqawi Yusuf, mengatakan Myanmar harus mencegah terjadinya "pembunuhan terhadap anggota Rohingya" dan "kerusakan terhadap kondisi hidup korban yang disengaja untuk mencapai kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian."
Dia menambahkan "pengadilan meyakini bahwa kaum Rohingya di Myanmar masih rentan" menjadi korban kekerasan. Selain kewajiban melapor setelah empat bulan, pemerintah Myanmar juga diinstruksikan untuk memberikan laporan berkala setiap enam bulan setelahnya.
Bocah Rohingya: Diperkosa, Diculik dan Ditelantarkan
Pelarian Rohingya adalah kisah penderitaan panjang anak-anak. Lebih dari 60% pengungsi etnis minoritas itu berusia di bawah umur. Sebagian besar mengalami trauma berkepanjangan setelah menyaksikan orangtuanya dibantai.
Foto: DW/J. Owens
Ditembak dan Ditusuk
Sejak Agustus silam lebih dari 600.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. "Pada hari ketika tentara datang, mereka membakar desa dan menembak ibu saya ketika dia berusaha melarikan diri. Ayah saya lumpuh, jadi mereka menusuknya. Saya melihatnya dengan mata sendiri," kata Muhammad Bilal, bocah berusia 10 tahun yang kini hidup di kamp pengungsi di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Dihantui Trauma
Saudara perempuan Muhammad, Nur, juga menjadi saksi kebiadaban tersebut. Sejak hidup di kamp pengungsi, keduanya bisa kembali bermain dan mendapat makanan secara berkala. Saat mengungsi dari Myanmar keduanya kerap kelaparan. Namun Nur mengaku masih dihantui trauma yang ia alami. "Saya kangen orangtua, rumah dan negara saya," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Konflik Panjang
Konflik yang telah berlangsung sejak 70 tahun ini bermula setelah Perang Dunia II. Sejak operasi militer Myanmar 2016 silam, lebih dari 2.000 orang meregang nyawa, termasuk ibu bocah berusia 12 tahun, Rahman. "Mereka membakar rumah kami dan ibu saya terlalu sakit untuk melarikan diri," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Pelarian Bocah Yatim
Dilu-Aara, 5, datang ke kamp bersama saudara perempuannya, Rojina, setelah menyaksikan kedua orangtuanya dibunuh tentara. "Saya menangis tanpa henti dan peluru berdesing di atas kepala kami. Entah bagaimana saya melarikan diri." Organisasi Save the Children membantu bocah yatim yang ditampung di kamp Kutupalong. Anak-anak mewakili 60% pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Diburu Seperti Binatang
Jaded Alam termasuk ratusan bocah yatim yang ditampung di Kutupalong. Beruntung bibinya mengurus Jaded dengan baik. Ia besar di desa Mandi Para dan gemar bermain bola. Kehidupannya berubah setelah serangan militer. "Mereka memaksa kami meninggalkan rumah. Ketika saya melarikan diri dengan kedua orangtua saya, tentara menembak mereka. Mereka meninggal di tempat," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Penculikan Anak
Rahman Ali mengitari kamp pengungsi buat mencari anaknya, Zifad, yang berusia 10 tahun dan menghilang tiba-tiba. Sejak beberapa tahun penghuni kamp mencurigai adanya kelompok penculik anak yang berkeliaran di Kutupalong. Rahman mengkhawatirkan puteranya jatuh ke tangan pedagang manusia. "Saya tidak makan, saya tidak bisa tidur. Saya sangat kecewa. Seakan-akan saya jadi gila."
Foto: DW/J. Owens
"Pikiran saya tidak normal"
Ketika tentara tiba, Sokina Khatun berbuat segalanya untuk melindungi bayinya. Tapi ia gagal menyelamatkan Yasmie, 15, dan Jamalita, 20, yang saat itu berada di desa tetangga. "Leher mereka dipotong di hadapan kakek-neneknya," ujar Sokina. "Saya tidak bisa lagi merasakan sakit. Saat ini pikiran saya tidak normal," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Dibunuh dan Diperkosa
Yasmine berusia 15 tahun, meski terlihat lebih muda, Di desanya ia terbiasa bermain di antara perkebunan dan sawah. Kini kenangannya akan kampung halaman sama sekali berubah. Tentara Myanmar menyiksa dan membunuh ayah dan saudara laki-lakinya. Dia sendiri diperkosa oleh sekelompok serdadu. "Saya merasakan sakit di sekujur tubuh saya," ujarnya. (Foto: John Owens/rzn/yf)
Foto: DW/J. Owens
8 foto1 | 8
Dalam sebuah editorial di harian Financial Times yang dipublikasikan sehari sebelum pengumuman putusan oleh IJC, Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengakui "kejahatan perang yang mungkin dilakukan oleh anggota dinas pertahanan akan diadili oleh pengadilan militer."
Namun dia membantah terjadinya genosida dan menyerang organisasi HAM lantaran dianggap membuat "pernyataan tanpa dasar" yang memberikan "gambaran miring" terkait operasi militer di negara bagian Rakhine. "Sistem pengadilan internasional mungkin belum dilengkapi dengan kapasitas untuk memfilter informasi yang keliru," tulisnya.
Selama sidang dengar pendapat pada bulan Desember silam, Suu Kyi berulangkali meminta IJC agar menggugurkan dakwaan Gambia.
Lebih dari 100 organisasi hak sipil di Myanmar menerbitkan pernyataan bersama yang meminta agar Mahkamah Internasional bisa "menghadirkan kebenaran" dan mengakhiri impunitas terhadap pemerintah.
"Kebijakan politik dan militer dijalankan dengan tindak kekerasan dan intimidasi terhadap warga Myanmar, secara sistematis dan terinstitusionalisasi, atas dasar keyakinan agama dan politik, serta identitas etnis mereka," bunyi pernyataan tersebut.
"Kami memahami dengan jelas bahwa kasus IJC melawan Myanmar diarahkan kepada mereka yang bertanggungjawab memanfaatkan kekuatan politik dan kekuasaan militer, bukan diarahkan kepada masyarakat Myanmar."
Sejauh ini tercatat lebih dari 730.000 warga Rohingya yang telah melarikan diri dari Myanmar menyusul operasi militer pada 2017 silam. Mereka kebanyakan ditampung di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Sebelumnya penyidik PBB yang ditugaskan mengawasi konflik di Rakhine menyebut kampanye militer Myanmar dilakukan "dengan niatan genosida."
rzn/vlz (rtr, afp)
Warga Rohingya Setahun di Negeri Tak Bertuan
Ribuan warga Rohingya berdemonstrasi di Kutupalong, Bangladesh memperingati setahun sejak mereka terusir dari Myanmar. Selama ini, ratusan ribu jiwa hidup terlantung-lantung di daerah yang disebut “tempat tak bertuan“.
Foto: Reuters/M.P. Hossain
Rohingya tuntut PBB
Lebih dari 15 ribu warga Rohingya turut ambil bagian dalam demonstrasi di tempat pengungsian di Kutupalong, Distrik Cox Bazar, di sebelah selatan Bangladesh (25/08). Mereka menutut "keadilan dari PBB“. Pada sebuah spanduk tertulis: "Tidak terulang lagi: Hari Peringatan Genosida Rohingya, 25 Agustus 2018“.
Foto: Reuters/M.P. Hossain
PBB akui genosida
PBB menyebutkan bahwa peristiwa kekerasan yang dialami warga Rohingya di Myanmar sebagai bentuk "pembersihan etnis". Maret lalu, pejabat khusus PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee mengungkapkan tentang adanya "genosida".
Foto: Reuters/M.P. Hossain
Ribuan terbunuh
Menurut data yang dirilis "Doctors Without Borders" pada bulan pertama ketika kekerasan merebak, sedikitnya 6.700 warga Rohingya terbunuh. Saat ini ada sekitar 900.000 warga Rohingya yang mengungsi di Bangladesh.
Foto: Reuters/M.P. Hossain
Tempat pengungsian terbesar dunia
Selama setahun, para pengungsi Rohingya tidak disebar ke berbagai lokasi di Bangladesh, melainkan hanya menempati lahan seluas 14 kilometer persegi, ini hanya seluas sebuah desa kecil. Tempat itu dikenal saat ini sebagai lokasi pengungsian terbesar di dunia.
Foto: Reuters/M.P. Hossain
Hidup di tenda
Ribuan pengungsi di Kutupalong tidak diperbolehkan meninggalkan kamp dengan bebas atau menetap di tempat lain di Bangladesh. Warga Rohingya pun hidup berhimpitan dalam tenda sederhana. Mereka mencoba membangun kembali rumah, lengkap dengan masjid dan toko-toko, di daerah yang mereka namai "tempat tak bertuan".
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Qadri
Kembali ke rumah
Mungkinkah kembali? Jawabannya tak mudah, meski Bangladesh dan Myanmar telah melakukan perjanjian repatriasi, implementasinya masih tertunda. Persoalan berikutnya: ke mana mereka harus pergi? Meski demikian warga Rohingnya tetap menyuarakan harapan saat demonstrasi berlangsung: "Kami diusir dari negara kami, dari rumah kami. Kami menginginkan keadilan, kami ingin kembali ke rumah kami."