Majelis Rendah Inggris telah memberikan suara mendukung amandemen yang secara efektif memaksa Perdana Menteri Boris Johnson untuk meminta perpanjangan baru Brexit.
Iklan
Anggota parlemen Inggris memberi pukulan telak pada kesepakatan Brexit di menit-menit terakhir pada hari Sabtu (19/10) dengan menyetujui amandemen yang menunda Brexit sampai undang-undang terkait penarikan diri negara itu dari Uni Eropa disahkan.
Anggota parlemen memutuskan dengan 322 suara untuk mendukung langkah yang diajukan oleh mantan menteri kabinet Oliver Letwin.
Amandemen ini menunda keputusan apakah akan mendukung kesepakatan Brexit dan secara efektif memaksa Johnson untuk meminta perpanjangan ketiga kalinya keluar dari Uni Eropa.
Keputusan tersebut merupakan kemunduran besar bagi Johnson, yang mengatakan kepada anggota parlemen segera setelah pemungutan suara bahwa pemerintah akan memperkenalkan undang-undang yang diperlukan minggu depan.
"Saya tidak akan menegosiasikan penundaan dengan Uni Eropa dan aturan hukum juga tidak memaksa saya untuk melakukan itu," tandasnya.
Oposisi desak perdana menteri patuhi hukum
Pemimpin oposisi Jeremy Corbyn menjawab bahwa "perdana menteri sekarang harus mematuhi hukum" dan meminta perpanjangan waktu untuk Brexit.
Bulan lalu, para anggota parlemen menyetujui undang-undang yang secara eksplisit memaksa Johnson untuk mengirim surat penundaan ke UE jika kesepakatan Brexit-nya tidak disetujui pada hari Sabtu ini. Sebelumnya Johnson sudah mencapai kesepakatan yang direvisi dengan Brussels pada hari Kamis lalu.
Boris Johnson telah berusaha keras untuk memenangkan dukungan untuk pakta Brexit terbaru yang ia buat di Brussels tersebut, di mana Inggris dan Uni Eropa telah menyetujui syarat-syarat perjanjian baru.
Berbicara kepada anggota parlemen di majelis rendah, Johnson mengatakan mereka memiliki kesempatan bersejarah untuk mendukung "jalan baru ke depan" bagi Inggris dan Uni Eropa.
"Saya berharap ... bahwa ini adalah saat ketika kita akhirnya dapat mencapai resolusi itu dan mendamaikan naluri yang bersaing dalam diri kita," katanya. "Sekarang adalah waktunya bagi majelis rendah yang luar biasa ini untuk berkumpul dan mempersatukan masyarakat."
Namun pemimpin oposisi dari Partai Buruh Jeremy Corbyn mendesak para anggota parlemen untuk tidak mendukung kesepakatan itu, dengan mengatakan hal itu akan membahayakan pekerjaan, lingkungan dan pelayanan kesehatan Inggris.
Sementara itu, puluhan ribu demonstran anti-Brexit berkumpul di London untuk menuntut referendum.
Brexit: Tarik Ulur Politik Inggris Keluar Dari Uni Eropa
Inggris kejutkan dunia dengan hasil referendum 23 Juni 2016 yang sepakat keluar dari Uni Eropa. Mulailah rentang waktu penuh kisruh, tarik uluk dan adu kekuatan politik di Eropa terkait Brexit.
Foto: picture-alliance/empics/Y. Mok
Juni 2016: Kehendak Rakyat Inggris
Hasil referendum yang diumumkan 24 Juni 2016, hampir 52 persen dari pemilih setuju, Inggris keluar dari Uni Eropa. Perdana Menteri Inggris saat itu, David Cameron dari partai konservatif menerima "kehendak rakyat Inggris, dan mengundurkan diri sehari setelah referendum..
Foto: picture-alliance/dpa/A. Rain
Juli 2016: Brexit berarti Brexit
Mantan Menteri Dalam Negeri, Theresa May gantikan posisi Cameron sebagai Perdana Menteri pada 11 Juli. Ia menjanjikan´Brexit berarti Brexit´. Sebelumnya, May diam-diam dukung kampanye Inggris tetap di Uni Eropa. Dia tidak secara jelas mengatakan kapan akan memulai pembicaraan diberlakukannya Pasal 50 Perjanjian Uni Eropa terkait masa dua tahun sebelum Inggris resmi keluar Uni Eropa.
Foto: Reuters/D. Lipinski
Maret 2017: Kami siap Berpisah
May tandatangani nota diplomatik untuk memulai Pasal 50, 29 Maret. Beberapa jam kemudian, Duta Besar Inggris untuk UE, Tim Barrow serahkan nota itu kepada Presiden Dewan Eropal, Donald Tusk. Inggris dijadwalkan keluar dari Uni Eropa 29 Maret 2019. Tusk merespon nota itu dengan komentar: “Kami sudah siap berpisah. Terima kasih dan selamat tinggal”.
Foto: picture alliance / Photoshot
Juni 2017: Perundingan Dimulai
Menteri Brexit, David Davis dan ketua jururunding UE, Michel Barnier memulai perundingan di Brussel pada 19 Juni. Perundingan pertama diakhiri dengan kesepakatan Inggris akan mematuhi aturan UE terkait sisa negosiasi. Tahap pertama membahas persyaratan keluarnya Inggris dan tahap kedua membahas hubungan UE dan Inggris pasca-Brexit.
Foto: picture alliance/ZUMAPRESS.com/W. Daboski
Juli – Oktober 2017: Uang, Hak-hak dan Irlandia
Tahap kedua perundingan dimulai dengan berfoto bersama tim Inggris yang terlihat tak siap. Perundingan gagal raih kemajuan terkait tiga masalah pasca-Brexit: Berapa banyak yang masih harus dibayar Inggris ke anggaran UE, bagaimana dengan hak warga negara UE dan Inggris dan apakah Inggris tetap dapat membuka perbatasan antara Irlandia dan Irlandia Utara.
Foto: Getty Images/T.Charlier
November 2017: May Tunjukkan Kemajuan?
Kemajuan baru terlihat setelah putaran perundingan ke-6 di awal November. Inggris setuju untuk membayar 57 miliar Euro atau sekitar Rp 900 triliun sebagai “biaya perceraian”. Awalnya May hanya mau membayar 20 juta, padahal UE telah menghitung biayanya sebesar 60 juta Euro. Laporan konsensi Inggris ini memicu kemarahan di kalangan politikus dan media pro-Brexit.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Hoppe
Desember 2017: Maju ke fase ke-2
Para pimpinan dari 27 anggota UE secara resmi menyetujui “kemajuan yang cukup” itu untuk diteruskan ke fase kedua: transisi periode pasca-Brexit dan masa depan hubungan perdagangan UE-Inggris. Perdana Menteri Theresa May mengungkapkan kegembiraannya atas keputusan ini, sebaliknya Presiden Dewan Eropa, Tusk memperingatkan bahwa perindingan putaran kedua akan “sangat sulit.
Foto: picture-alliance/AP Photo/dpa/O. Matthys
September 2018: Tidak ada ceri untuk Inggris
Proposal May tidak berjalan mulus. Pada pertemuan puncak di Salzburg akhir September, para pimpinan UE sampaikan kepada May bahwa proposalnya tidak dapat diterima. Presiden Dewan Eropa,Tusk menyindir May lewat Instagram dengan postingan foto mereka yang sedang melihat sepotong kue: “Sepotong kue barangkali? Maaf, tidak ada ceri”. Ini sindiran bahwa Inggris cuma mau keuntungan sepihak dari Eropa.
Foto: Reuters/P. Nicholls
November 2018: Kemajuan di Brussel
Para pimpinan UE dukung draft kesepakatan perceraian serta deklarasi politis soal hubungan pasca-Brexit setebal 585 halaman. Draft ini dikecam habis anggota parlemen yang pro maupun kontra Brexit dalam perdebatan di Parlemen Inggris beberapa minggu sebelumnya. Menteri Brexit, Dominic Raab bersama dengan beberapa menteri mencoba memicu mosi tidak percaya di bulai Mei.
Foto: Getty Images/AFP/E. Dunand
Desember 2019: May Lolos Dari Mosi Tidak Percaya
Menghadapi oposisi yang sulit, May menunda pemungutan suara di parlemen pada 10 Desember. Besoknya ia bertemu Kanselir Jerman, Angela Merkel untuk mencari kepercayaan diri dalam meyakinkan para anggota parlemen yang skeptis kembali ke kesepakatan. Sementara ia pergi, anggota parlemen dari Partai Konservatif ajukan mosi tidak percaya. May menang mosi kepercayaan di hari berikutnya.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Januari 2019: Kesepakatan ditolak
Kesepakatan Brexit May, ditolak Parlemen Inggris dengan 432 suara dan hanya 202 suara mendukungnya. Sebagai respon hasil tersebut, Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk sarankan agar Inggris tetap bertahan di Uni Eropa. Partai Buruh Inggris menyerukanmosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri. Ini adalah tantangan berat dalam kepemimpinan kedua May dalam bulan-bulan terakhir.
Foto: Reuters
11 foto1 | 11
Menjauhkan dari Uni Eropa
Pendahulu Johnson, Theresa May, gagal pada tiga kesempatan untuk mendapatkan persetujuannya yang disahkan oleh parlemen. Berbeda dengan pakta buatan Theresa May, kesepakatan yang dirangkai Boris Johnson semakin menjauhkan Inggris dari Uni Eropa.
Atas dasar ini ekonom mewanti-wanti terhadap dampak negatif pakta Brexit teranyar. Seperti dilansir The Guardian, studi terakhir memprediksi penghasilan tahunan semua warga Inggris akan terpangkas sebesar 2.000 Pounds atau sekitar Rp. 13 juta jika Brexit versi Boris jadi kenyataan.
Pemungutan suara hari Sabtu ini terhitung tiga tahun setelah hasil pemungutan suara menunjukkan 52% warga Inggris memilih untuk menjadi negara berdaulat pertama yang meninggalkan Uni Eropa.
Pertemuan di majelis rendah ini adalah pertemuan akhir pekan pertama Parlemen Inggris sejak invasi Falklands pada tahun 1982