Akhirnya TKI Indonesia Erwiana Sulistyaningsih mendapat keadilan. Hakim di Pengadilan Hongkong memutuskan, majikannya Law Wan Tung bersalah dalam 18 dakwaan, antara lain penganiayaan dan intimidasi.
Iklan
Pengadilan di Hongkong menjatuhkan vonis bersalah terhadap Law Wan Tung, 44 tahun, dalam kasus penyiksaan pekerja asal Indonesia termasuk Erwiana Sulistyaningsih.
Hakim Amanda Woodcook hari Selasa (10/02/15) memutuskan di Hongkong, Law bersalah dalam 18 dari 20 butir dakwaan, antara lain memukul, menciderai dan mengintimidasi Erwiana.
Kasus Pekerja Rumah Tangga (PRT) Erwiana Sulistyaningsih menjadi sorotan media internasional tahun lalu, ketika dia dipulangkan ke Indonesia dalam keadaan lemah, dengan luka bakar di sekujur tubuhnya sehingga harus dirawat di rumah sakit. Kasus itu mengejutkan publik Hongkong dan membangkitkan kemarahan di Indonesia.
"Ini pesan bagi semua rumah tangga, bahwa jika Anda hidup cukup beruntung dalam sebuah masyarakat, sehingga Anda bisa mempekerjakan seorang pekerja rumah tangga, mereka tetap dilindungi oleh hukum," kata juru bicara polisi David Cameron kepada wartawan usai persidangan.
Disiksa dan dikurung
"Dia, untuk menggunakan kata yang lebih baik, menjadi tawanan di rumah itu," kata Hakim Amanda Woodcook merujuk kepada Erwiana yang memberi kesaksian bahwa dia mengalami penganiayaan selama bekerja pada Law Wan Tung yang punya dua anak.
Dia benar-benar terisolasi, dan ini menerangkan mengapa penindasan itu bisa berlangsung begitu lama tanpa dia mampu menghindar atau memberitahu orang lain," lanjut Woodcook.
Anak Terlantar dari "Negeri Tanpa Orangtua"
Ribuan anak-anak di Republik Moldova harus mengurus diri sendiri tanpa orang tua yang bekerja di luar negeri untuk mencari nafkah. Kisahnya kini didokumentasikan oleh seorang fotografer Jerman.
Foto: Andrea Diefenbach
"Negeri Tanpa Orangtua"
Olga, Sabrina dan Carolina harus mengurus diri sendiri selama tiga tahun. Selama itu ibunya bekerja sebagai perawat di Italia. Ia terpaksa tidur di atas tempat tidur lipat di koridor rumah majikannya. "Negeri tanpa orangtua" karya fotografer Andrea Diefenbach, menceritakan kisah anak-anak di Republik Moldova yang hidup terpisah dari orang tuanya.
Foto: Andrea Diefenbach
Kepala Keluarga Berusia 12 Tahun
Olga yang tertua di antara saudaranya, "mengambilalih tugas ibu. Membuat keju, memanggang roti dan memastikan kedua adiknya pergi besekolah," kata Diefenbach. Kemandirian yang lahir dari kemiskinan itu mendominasi foto yang dibuat oleh sang fotografer.
Foto: Andrea Diefenbach
"Mama, jangan lupakan kami!"
Begitulah kalimat yang sering diucapkan Carolina setiap kali berbicara dengan ibunya lewat telepon. "Pada dasarnya anak-anak itu bisa hidup dengan situasi seperti ini," ujar Diefebach. "Tapi keluarga mulai mengalami keretakan. Dampaknya mungkin baru akan terasa setelah 20 tahun, ketika anak-anak ini menjadi dewasa," imbuhnya.
Foto: Andrea Diefenbach
Bantuan dari Nenek
Orangtua Cătălina juga bekerja di luar negeri. Tapi ia beruntung karena diurus oleh sang nenek. Keutuhan keluarga kerap menjadi barang langka di negara bekas Uni Sovyet itu. Menurut Bank Dunia, seperempat penduduk Moldova mencari rejeki di luar negeri. Kebanyakan tidak memiliki izin tinggal yang legal.
Foto: Andrea Diefenbach
Pesan Sayang dari Kejauhan
Orangtua secara berkala mengirimkan paket kepada anak-anaknya. Terkadang berisikan Popcorn, atau apel yang dibeli di sebuah supermarket di Italia. "Rasanya mungkin tidak seenak apel segar dari Moldova, tapi paket ini adalah satu-satunya kesempatan orangtua untuk menunjukkan rasa sayangnya."
Foto: Andrea Diefenbach
Tujuh Tahun Terpisah
Ludmilla, yang melakoni enam pekerjaan sebagai petugas kebersihan di Italia, harus hidup berpisah dari putranya, Slavek selama tujuh tahun. Karena tidak memiliki izin tinggal, kebanyakan orangtua tidak bisa mengunjungi anak-anaknya. Karena sekali melintas perbatasan, mereka terancam tidak bisa kembali. Ludmilla sebaliknya mendapat izin tinggal dan bisa mengundang sang anak untuk tinggal bersamanya
Foto: Andrea Diefenbach
Membanting Tulang di Negeri Orang
Alyona dan Vanya menafkahi kedua anaknya dengan bekerja sebagai buruh panen di ladang melon di Italia. Mereka berbicara setiap hari lewat telepon. Jika hujan turun, pekerjaan pun menghilang dan mengurangi upah harian yang sejak awal sudah minim.
Foto: Andrea Diefenbach
Menjaring Simpati
"Saya berharap, lewat foto-foto ini penduduk makmur di Eropa Barat bisa merenung, apakah mungkin pembantu asing mereka punya anak dan seperti apa kehidupannya," kata Andrea Diefenbach. "Kasih sayang orangtua bisa menjaring simpati semua orang."
Foto: Andrea Diefenbach
Berkelana dengan Sebuah Foto
Orangtua yang berkisah lewat Diefenbach "tidak punya pilihan," selain melihat foto anaknya untuk mengobati rasa rindu. "Mereka tidak tahu, bagaimana bisa membeli perlengkapan sekolah untuk semester depan." Republik Moldova adalah salah satu negara termiskin di Eropa, dengan pendapatan rata-rata 200 Euro per bulan.
Foto: Andrea Diefenbach
"Tanpa Emosi Palsu"
Untuk proyeknya "Negeri tanpa Orangtua", Andrea Diefenbach mendapat penghargaan "N-Ost" 2012 silam. "Gambar-gambarnya berkesan kuat tanpa emosi palsu dan menunjukkan kesenjangan ekonomi di Eropa," kata anggota juri, Lars Bauernschmitt, Professor Fotografi Jurnalistik dan Dokumenter di Hannover.
Foto: Andrea Diefenbach
Memahami Kehidupan
Andrea Diefenbach juga memublikasikan bukunya di Moldova. "Banyak orang terkejut bagaimana kerasnya kehidupan sanak saudaranya di luar negeri. Karena mereka cuma mengenal paket berisikan makanan dan baju baru," ujarnya.
Foto: Andrea Diefenbach
11 foto1 | 11
Law ditahan aparat keamanan Hongkong Januari 2014. Dia dinyatakan tidak bersalah dalam dua butir dakwaan yang berkaitan dengan perlakuannya terhadap pekerja rumah tangga lain.
Proses pengadilan berlangsung selama enam minggu dengan mendengarkan saksi-saksi. Tingginya sanksi hukum akan ditetapkan 27 Februari mendatang. Sanksi maksimalnya adalah tujuh tahun penjara.
Mendapat keadilan
Erwiana Sulistyaningsih yang hadir dalam persidangan mengaku bersyukur dan bahagia setelah hakim menyatakan mantan majikannya bersalah.
"Saya sangat senang, karena akhirnya saya mendapat keadilan dari Hongkong," kata Erwiana kepada wartawan, sambil berterimakasih kepada semua pihak yang sudah mendukungnya.
Di persidangan, Erwiana mengenakan kaos hitam dengan slogan "JUSTICE" (keadilan) dan "END SLAVERY!" (akhiri perbudakan). Ia diampingi para aktivis buruh migran.
"Ini kemenangan untuk Ewiana", kata Aaron Ceradoy, koordinator Asia Pacific Mission for Migrants, dengan penuh semangat. Komunitas buruh migran bisa menggunakan momen ini untuk memperkuat posisi mereka menuntut perubahan kebijakan, tambahnya.
Organisasi hak asasi Amnesti Internasional menyebutkan, keputusan pengadilan menunjukkan kegagalan Pemerintah Hong Kong dalam melindungi perempuan dari kekerasan dan eksploitasi.
Ada sekitar 300 ribu buruh migran asing di Hongkong, sebagian besar berasal dari Filipina dan Indonesia.