1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJepang

Makin Banyak Generasi Muda Jepang Segan Menikah

26 Agustus 2022

Sebanyak 25 persen warga Jepang pada usia 30-an tidak punya rencana untuk menikah. Analis mengatakan perkembangan ini disebabkan tekanan finansial yang makin kuat dan keinginan hidup tanpa banyak kewajiban sosial.

Setasiun metro di Tokyo, Jepang
Makin banyak generasi muda Jepang ingin punya lebih banyak waktu untuk dirinyaFoto: Kiichiro Sato/AP Photo/picture alliance

Pada usia 37, Sho mengatakan dia cukup puas. Dia memiliki pekerjaan dengan gaji cukup untuk menjalani hidup dengan nyaman, dia memiliki teman-teman yang dia temui secara teratur, dan punya berbagai hobi serta cukup waktu untuk menikmatinya. Dia belum punya iseri, dan baginya itu baik-baik saja.

Sho adalah salah satu dari semakin banyak orang Jepang berusia 30-an yang belum pernah menikah dan tidak memiliki niat untuk menikah. Dan itu adalah penyebab keprihatinan pemerintah karena populasi Jepang menyusut dan makin tua.

Menurut laporan pemerintah dari tahun 2022, sekitar 25,4% wanita berusia 30-an dan 26,5% pria dalam kelompok usia yang sama mengatakan mereka tidak ingin menikah. Di kelompok usia 20-an, 19% pria dan 14% perempuan juga mengatakan tidak memiliki rencana untuk menikah.

Angka pernikahan turun

Menurut laporan itu, pada 2021 di Jepang terdaftar 514.000 pernikahan, angka tahunan terendah sejak akhir Perang Dunia II. Tahun 1970 masih tercatat ada 1,029 juta pernikahan.

Para perempuan yang mengikuti survei mengatakan bahwa mereka menghindar dari pernikahan karena mereka ingin menikmati kebebasan mereka, meniti karier yang memuaskan, dan tidak ingin dibebani peran ibu rumah tangga tradisional.

Para pria mengatakan mereka juga ingin menikmati kebebasan pribadi, tetapi banyak juga yang mengatakan khawatir atas ketidakamanan pekerjaan dan tidak mampu mendapatkan cukup uang untuk menopang keluarga.

Sho, yang enggan mengungkapkan nama belakangnya, mengatakan dia senang tidak menikah. "Saya dapat melakukan hal-hal yang saya inginkan, dan saya tidak perlu memikirkan orang lain. Saya dapat begadang bermain game komputer atau menonton film apa pun di bioskop yang saya inginkan, atau saya bisa bertemu teman-teman. Aku suka itu."

Masalah kemampuan bersosialisasi

Aya Fujii, psikolog yang memberikan dukungan kesehatan mental untuk program bantuan yang dijalankan pemerintah di Tokyo, menunjukkan bahwa angka kelahiran Jepang telah menurun sejak 1970-an, tetapi masalahnya sekarang menjadi jauh lebih akut.

"Ada beberapa alasan yang saya lihat di masyarakat," kata Aya Fujii kepada DW. "Salah satunya adalah bahwa tidak seperti di negara lain, upah di sini pada dasarnya tetap sama selama bertahun-tahun. Dan itu berarti banyak anak muda melihatnya sebagai beban keuangan yang terlalu berat untuk mencoba memiliki keluarga."

Lebih banyak perempuan yang juga memilih untuk tetap bekerja daripada meninggalkan pekerjaan ketika berkeluarga.

"Saya juga melihat banyak anak muda sekarang menyukai buku komik manga dan acara anime. Mereka lebih suka itu daripada bertemu dan berbicara dengan orang-orang dari kehidupan nyata," kata Fujii. "Karakter di manga dan anime tidak membantah atau mengeluh."

"Saya pikir banyak anak muda sekarang kurang memiliki keterampilan sosial, dan itu menjadi lebih buruk karena banyak keluarga hanya memiliki satu anak sekarang, sehingga anak tumbuh dewasa tidak berinteraksi atau mengembangkan keterampilan sosial yang dia perlukan dalam kehidupan sehari-hari," tambahnya.

Fujii yakin tren ini tidak akan berubah dalam waktu dekat, sekalipun pemerintah Jepang melakukan berbagai upaya. "Pada akhirnya, orang Jepang berusia 20-an dan 30-an yang tidak dapat berkomunikasi dengan lawan jenis akan lebih sulit menemukan pasangan, dan pola populasi yang menyusut di negara ini akan terus berlanjut," katanya.

(hp/pkp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait